Liputan6.com, Jakarta - Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Alvon Kurnia Palma mengatakan, pengelola Rumah Sakit Harapan Bunda dapat terjerat kasus vaksin palsu setelah oknum dokter dan suster, yang masing-masing berinisial I ditetapkan sebagai tersangka pengedar vaksin palsu.
Alvon berujar, terdapat undang-undang yang mengatakan suatu badan atau institusi dapat dijerat hukum untuk mempertanggungjawabkan perbuatan anggotanya. Jika rumah sakit mengaku lalai, berarti patut diduga rumah sakit juga melakukan pelanggaran yang berdampak merugikan orang lain.
"Institusi harus bertanggung jawab terhadap tindakan pidana yang dilakukan anggota institusinya. Kalau rumah sakit mengaku (kecolongan), patut diduga dikualifikasikan terjadi tindak pidana kalau lalai," tegas Alvon di RS Harapan Bunda Jakarta Timur, Sabtu 16 Juli 2016.
Namun, sebelum mengambil langkah hukum lebih jauh, Alvon ingin mempelajari terlebih dulu sejauh mana kelalaian pihak rumah sakit hingga vaksin palsu beredar bebas selama 4 bulan di RS Harapan Bunda.
Alvon berharap Aliansi Korban Vaksin Palsu RS Harapan Bunda yang meminta pendampingan hukum segera menyerahkan informasi, data diri penerima vaksin palsu dan kronologi kesehatan si penerima setelah divaksin palsu.
"Kita lihat apakah sesuai data yang kita punya dengan yang di rumah sakit. Kalau diubah data, pihak rumah sakit bisa dikenakan pidana," ujar Alvon.
RS Harapan Bunda mengaku pihaknya menjadi korban oknum dokter yang mengedarkan vaksin palsu di lingkungan rumah sakitnya.
Pernyataan itu dilontarkan Direktur Utama RS Harapan Bunda dokter Fina saat orangtua korban vaksin palsu menuntut rumah sakit bertanggungjawab atas kesehatan anak mereka.
"Kami mengaku kecolongan. Kami tidak pernah membeli vaksi dari distributor CV AM (Azka Medical), kami selalu beli dari distributor resmi," kata Fina dalam konferensi pers di RS Harapan Bunda Jakarta Timur, Sabtu 16 Juli 2016.