3 Tahapan Urai Konflik ala Kapolri Tito Karnavian

Kapolri menyatakan konflik berkepanjangan di sejumlah wilayah Tanah Air berawal dari tak adanya pencegahan dan pemulihan yang lambat.

oleh Muslim AR diperbarui 05 Agu 2016, 02:51 WIB
Diterbitkan 05 Agu 2016, 02:51 WIB
20160804-Kapolri dan Din Syamsuddin Duduk Bareng Bahas Konflik di Indonesia-Jakarta
Kapolri Jenderal Tito Karnavian (kiri) ketika memberikan paparan dalam Dialog Bersama Kapolri di Kantor CDCC, Jakarta, Kamis (4/8). Dialog tersebut membahas tentang konflik yang terjadi di beberapa wilayah di Indonesia. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Kapolri Jenderal Tito Karnavian menyatakan konflik berkepanjangan di sejumlah wilayah Tanah Air berawal dari tak adanya pencegahan dan pemulihan yang lambat.

Ia menceritakan bagaimana konflik Poso, dan munculnya gerakan radikal dari Santoso. Tito menilai, terlambatnya proses pemulihan membuat konflik Poso serupa api dalam sekam.

"Bekas pesantren yang terbakar, Gereja yang dibakar di sana (Poso) bahkan masih ada sampai sekarang. Seharusnya, itu segera dibangun kembali," ujar Tito di acara dialog antar-umat beragama di Kantor Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) di Jakarta Pusat, Kamis 4 Agustus 2016.

Pimpinan tertinggi korps Bhayangkara itu mengakui, selama ini pihaknya masih lemah dalam pencegahan. Polisi hanya sering terlibat dalam proses pemulihan, namun itupun tak maksimal.

"Kita lemah sekali pada pencegahan, kita lemah mengidentifikasi potensi-potensi konflik. Pada jaman Orde Baru, leading sektor itu dari militer, tapi kemudian di era Reformasi terjadi paradigma baru, leading sector-nya di Polri," jelas Tito.

Pihaknya yang menjalankan amanat undang-undang untuk penghentian kekerasan dan pemulihan, tak akan mampu berjalan sendiri. Apalagi, menurut Tito, dalam proses pemulihan ada tiga tahap.

"Yang pertama itu rekonsiliasi, yakni mendamaikan pihak-pihak terkait, lalu rehabilitasi untuk korban yang luka, terpinggirkan, meninggal ini harus ditangani khusus karena ini menimbulkan dendam. Terakhir rekonstruksi," ucap tito.

Dalam proses rekonsiliasi saja, Tito menyebutkan hanya terjadi di kalangan eksekutif dan pimpinan agama saja. Sedangkan, masyarakat di kelas bawah tak ikut serta didamaikan. Apalagi, di tahap pemulihan dengan rehabilitasi. Para korban, baik yang luka, terpinggirkan dan meninggal dunia tak dipulihkan mental dan fisiknya. "Ini yang memicu dendam," kata Tito.

Sementara dalam tahap rekonstruksi, Tito berharap para pemimpin daerah dan pemuka agama turun serta dengan cepat membangun tempat-tempat bekas kerusuhan. Gereja, klenteng, vihara dan masjid yang dibakar atau dihancurkan selama kerusuhan, harus segera dibangun kembali agar ingatan masyarakat cepat pulih dengan melihat tak adanya bekas kerusuhan.

"Stakeholder harus turut serta. Waktu kerusuhan di Tanjungbalai kemarin, saya langsung temui pemuka-pemuka agamanya, agar klenteng dan vihara yang dirusak itu segera dibangun kembali," kata Tito.

Untuk menanggulangi lemahnya kepolisian dalam pencegahan, Tito berharap Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) lebih proaktif. Dari pengalamannya di beberapa daerah, Tito menyimpulkan dengan aktifnya FKUB, potensi konflik bisa diredam. Tapi, persoalan dana operasional tentu jadi alasan klasik.

"Saya sudah berkonsultasi dengan Kemendagri, bahwa FKUB berjalan ada yang tidak, yang tidak berjalan karena mereka beralasan tidak ada anggaran, jadi mereka loyo," kata Tito Karnavian.

Dengan tak berjalannya fungsi FKUB dalam meredam konflik antar agama, maka biaya yang bakal dikeluarkan lebih besar dari biaya operasional untuk FKUB. Mulai dari biaya pemulihan bangunan, serta kerugian materil dan inmateril akibat konflik.

"Ketika FKUB tidak bisa menjalankan fungsinya di tingkat grassroot, pencegahan lebih baik daripada penyelesaian setelah peristiwa berunsur SARA terjadi, lebih banyak kerugiannya," jelas Tito.

Sementara itu, untuk institusi Polri sendiri, upaya pencegahan yang tengah diupayakan Tito dengan lebih meningkatkan kegiatan intelijen.

"Fungsi pemetaan konflik harus segera dijalankan oleh Intelijen dan Bhabinkamtibmas sebagai usaha pencegahan gerakan radikal yang dikuatirkan menyebar di masyarakat," jelas Tito.

Dan untuk mencegah konflik meluas, Polri langsung menjadikan konflik hanya ditingkat lokal. Seperti di kasus kerusuhan di Tanjungbalai. Tito, langsung terjun ke lapangan dan menjadikan konflik itu sebatas di Tanjungbalai saja.

"Mekanismenya gini, kalau ada masalah antar warga, diselesaikan dulu oleh Babinkamtibmas, tak sanggup bawa ke polsek, Polsek bawa ke polres, polres bawa ke polda, polda bawa ke mabes, mabes bawa ke presiden, tak sanggup juga kita bawa ke Tuhan," ucap Tito.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya