KPK Periksa Sekda Kowane Terkait Kasus Gubernur Sultra Nur Alam

Akal-akalan maksudnya soal backdated atau memundurkan tanggal surat perizinan yang tak sesuai dengan tanggal surat dikeluarkan.

oleh Oscar Ferri diperbarui 09 Sep 2016, 14:56 WIB
Diterbitkan 09 Sep 2016, 14:56 WIB
20151013-Gedung-Baru-KPK
Tampilan depan gedung Komisi Pemberantasan Korupsi yang baru di Jl Gembira, Guntur, Jakarta, Selasa (13/10/2015). Gedung tersebut dibangun di atas tanah seluas delapan hektar dengan nilai kontrak 195 miliar rupiah. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Sekretaris Daerah Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, Cecep Trisnajayadi. Cecep diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Gubernur Sultra, Nur Alam dalam kasus dugaan korupsi penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan Surat Keputusan Izin Usaha Pertambangan (IUP).

Pelaksana Harian Kepala Biro Humas KPK, Yuyuk Andriati menjelaskan, Cecep dikorek keterangannya seputar administrasi penerbitan IUP di daerah Kabupaten Konawe.

"Yang bersangkutan digali keterangannya soal kemungkinan-kemungkinan dugaan mengenai administrasi perizinan (tambang) terkait daerah (Konawe) tersebut‎," ujar Yuyuk di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (9/9/2016).

Lebih lanjut Yuyuk menerangkan, administrasi perizinan yang dimaksud soal dugaan "akal-akalan" berkaitan penerbitan IUP di Kabupaten Konawe. Akal-akalan itu, maksudnya soal backdated atau memundurkan tanggal surat perizinan yang tak sesuai dengan tanggal surat itu dikeluarkan. Sehingga, diduga ada penyalahgunaan IUP yang diterbitkan tak sesuai peruntukannya karena ada manipulasi tanggal tersebut.

"Dugaannya seperti itu, backdated. Jadi penyalahgunaan izinnya (terkait backdated) akan dikonfirmasi oleh penyidik," ucap Yuyuk.

Nur Alam Tersangka

KPK resmi menetapkan Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam sebagai tersangka kasus dugaan korupsi penyalahgunaan wewenang persetujuan dan penerbitan SK IUP kepada PT Anugrah Harisma Barakah (AHB) di Kabupaten Buton dan Kabupaten Bombana, Sultra. Diduga, Gubernur Sultra periode 2008-2013 dan 2013-2018 itu melakukan penyalahgunaan wewenang dalam menerbitkan SK yang tidak sesuai aturan perundang-perundangan yang berlaku.

Selaku Gubernur Sultra, Nur Alam mengeluarkan tiga SK kepada PT AHB dari tahun 2008-2019. Yakni, SK Persetujuan Pencadangan Wilayah Pertambangan, SK Persetujuan IUP Eksplorasi, dan SK Persetujuan Peningkatan IUP Eksplorasi Menjadi IUP Operasi Produksi. Diduga ada kickback atau imbal jasa yang diterima Nur Alam dalam memberikan tiga SK tersebut.

Atas perbuatannya, KPK menjerat Nur Alam dengan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

PT AHB diketahui merupakan perusahaan tambang yang melakukan penambangan nikel di Kabupaten Buton dan Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara.‎‎ Perusahaan tersebut melakukan kegiatan penambangan di bekas lahan konsensi PT Inco.

PT AHB juga diketahui berafiliasi dengan PT Billy Indonesia. Hasil tambang nikel oleh PT Billy Indonesia kemudian dijual kepada Richcorp International Limited, perusahaan yang berbasis di Hongkong. Perusahaan yang bergerak di bisnis tambang tersebut kemudian diduga mengirim uang sebesar US$ 4,5 juta atau sekitar Rp 60 miliar kepada Nur Alam lewat sebuah bank di Hongkong.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya