Liputan6.com, Jakarta - Kasus kematian Wayan Mirna Salihin dengan terdakwa Jessica Kumala Wongso masih bergulir di persidangan. Saat ini giliran kubu Jessica yang berkesempatan menghadirkan saksi-saksi yang meringankan terdakwa.
Dua ahli patologi forensik yang telah dihadirkan, yakni ‎Beng Beng Ong (dari Brisbane, Australia) dan Djaja Surya Atmadja (dari RSCM) menyebut, sulit menentukan penyebab kematian Mirna. Apalagi, tak ada autopsi menyeluruh pada jasad putri Edi Darmawan Salihin itu.
Pada sidang ke-19, Djaja sempat membuka kemungkinan dilakukannya autopsi terhadap Mirna meski sudah berbulan-bulan dimakamkan. Hal itu didasarkan pada pengalaman Djaja yang pernah memeriksa jasad korban perang dunia di Papua yang telah meninggal 50 tahun hingga 60 tahun lalu.
Advertisement
Ide itu langsung ditentang oleh ahli forensik RSCM Prof Budi Sampurna yang pernah dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU) di persidangan ke-16. Sekretaris Dewan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FK UI) itu mengatakan, tidak tepat jika jenazah Mirna diautopsi untuk memastikan kematiannya akibat sianida.
"Pada saat ini tidak tepat rekomendasi melakukan autopsi (terhadap jasad Mirna)," ujar Budi dalam keterangan tertulisnya, Jakarta, Rabu (14/9/2016).
Berdasarkan penelitian, kata Budi, sianida akan segera menghilang dari organ hati dalam satu hari, dari organ ginjal dalam tiga hari, dan dari otak dan paru dalam 14 hari pasca-kematian. Penelitian lain juga menyebutkan senyawa sianida akan hilang dari darah setelah tiga hari pasca-kematian.
"Dengan demikian, dapat dipahami bahwa kemungkinan pada jasad ini telah terjadi degradasi atau penghancuran sianida pasca-kematian," papar anggota Ikatan Dokter Indonesia (IDI) ini.
Apalagi jasad Mirna telah diawetkan dengan sejenis formalin. Menurut dia, pengambilan sampel toksikologi seharusnya dilakukan sesegera mungkin karena adanya perubahan atau penghancuran sianida pasca-kematian serta sebelum dilakukan pengawetan.
"Sebab, formalin dalam cairan embalming dapat merusak sianida," jelas Budi.
Sianida Masuk Tubuh Mirna
Budi menuturkan, autopsi memang salah satunya bertujuan untuk membuktikan apakah di dalam jasad korban terdapat racun sianida, juga ‎untuk memastikan apakah racun tersebut sudah masuk dalam sirkulasi atau organ tubuh. Namun ternyata, ditemukannya 0,2 mg/liter sianida di dalam lambung Mirna sudah dapat memberikan penjelasan, tanpa dilakukan autopsi.
Pada kasus ini, lanjut dia, pemeriksaan forensik telah menunjukkan adanya racun sianida dalam es kopi Vietnam yang diminum Mirna. Kemudian minuman tersebut telah masuk ke dalam lambung, terserap ke dalam sirkulasi tubuh, dan racun sianida telah bekerja hingga menimbulkan gejala.
"Dari pemeriksaan forensik, telah ditemukan bukti bahwa dalam kopi minuman Mirna terdapat ion CN (sianida) dan ion Na (kadar tinggi), caffein, serta pH-nya 13," jelas Budi.
Selain itu, lanjut dia, fakta yang menunjukkan bahwa kopi tersebut diminum terbukti dengan ditemukannya caffein dalam isi lambung Mirna, korosi di dinding lambung, serta ditemukannya ion Na 960 mg/L dan ion CN 0,2 mg/L dalam isi lambung.
Fakta berikutnya, bahwa kopi tersebut sudah terserap masuk ke dalam sirkulasi dan dimetabolisme, terbukti caffein sudah terdapat dalam empedu dan urin. Secara logika, kandungan CN dalam kopi juga telah terserap ke dalam sirkulasi dan dimetabolisme.
"Petunjuknya adalah bahwa kandungan ion Na yang cukup tinggi, sedangkan ion CN-nya sangat rendah. Padahal fakta sebelumnya jelas telah meminum kopi yang mengandung sianida," jelas anggota Perhimpunan Dokter Forensik Indonesia‎ itu.
Kasus kematian Mirna menyedot perhatian besar publik. Penyebab meninggalnya Mirna yang diduga kuat dari racun sianida di es kopi Vietnam yang dipesankan Jessica di Kafe Olivier pada Rabu 6 Januari 2016 lalu masih menjadi misteri.
Hingga saat ini, belum ada bukti yang benar-benar menunjukkan bahwa Jessica memasukkan racun sianida ke dalam gelas kopi Mirna. ‎Proses persidangan pun masih berjalan hingga saat ini, sebanyak 20 kali.