Liputan6.com, Jakarta Nama salah satu hakim persidangan Jessica Kumala Wongso, Partahi Tulus Hutapea, disebut-sebut dalam sidang dakwaan kasus korupsi yang menjerat seorang advokat, Yani, yang bekerja di ‎Wiranatakusumah Legal & Consultant.
Kasus suap itu diduga untuk memuluskan atau mempengaruhi putusan perkara perdata nomor 503/PDT G/2015/PN JKT PST.‎ Perkara itu merupakan gugatan wanprestasi yang diajukan PT Mitra Maju Sukses (PT MMS) terhadap PT Kapuas Tunggal Persada (PT KTP), yang didaftarkan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 29 Oktober 2015.
Dalam persidangan perdata tersebut, Partahi mengetuai persidangan dan beranggotakan hakim Casmaya. Keduanya adalah hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Advertisement
Dugaan suap ini bermula ketika Raoul selaku pengacara PT KTP mengontak Santoso pada 4 April 2016. Saat itu, dia menyampaikan agar bisa memenangkan perkara perdata tersebut. Dia juga menyampaikan agar Santoso bisa melobi Partahi dan Casmaya, untuk menolak gugatan dari PT MMS.
"Setelah beberapa kali dilakukan proses persidangan, pada 4 April 2016 Raoul Adhitya Wiranatakusumah menghubungi Muhammad Santoso. Raoul menyampaikan keinginannya untuk memenangkan perkara tersebut dan agar majelis hakim menolak gugatan dari PT MMS," ujar Jaksa Pulung Rinandoro saat membaca dakwaan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jakarta, Rabu 12 Oktober 2016 kemarin.
Selanjutnya, Raoul yang hendak pergi ke luar negeri lebih dulu mengenalkan Santoso kepada stafnya, Yani. Tujuannya, agar Raoul tetap bisa memonitor perkembangan proses hukum PT MMS versus PT KTP melalui Yani.
Raoul kemudian menemui Santoso pada 17 Juni 2016 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dia menjanjikan SGD 25 ribu dengan maksud ‎majelis hakim yang diketuai Partahi menolak gugatan PT MMS. Raoul juga menjanjikan SGD 3 ribu kepada Santoso, untuk kompensasi perannya melobi Partahi dan kawan-kawannya.
Usai kesepakatan dengan Santoso, Yani menemui Raoul untuk mengambil uang Rp 300 juta dari rekening Raoul. Uang sebanyak itu kemudian ditukarkan dalam mata uang dolar Singapura dan menjadi SGD 30 ribu dalam pecahan SGD 1.000.
"Kemudian Raoul memerintahkan Yani memisahkan duit pelicin itu menjadi SGD 25 ribu dan SGD 3 ribu. Uang SGD 25 ribu disimpan di amplop putih bertuliskan 'HK'. HK itu merupakan kode bagi hakim yang diperuntukkan kepada Partahi dan Casmaya," kata jaksa Pulung dalam pembacaan dakwaan.
Sementara, uang SGD 3.000 disimpan di amplop putih bertuliskan SAN yang merupakan kode untuk Santoso. Sisanya, SGD 2 ribu dikantongi Yani.
Lalu majelis hakim Partahi bersama kawan-kawannya pada 30 Juni 2016 memutus tidak dapat menerima gugatan PT MMS kepada PT KTP.‎ Usai putusan itu, Santoso menghubungi Yani untuk menanyakan janji pemberian uang itu.
Yani merespons telepon Santoso dan sepakat bertemu untuk menyerahkan uang. Kesepakatan penyerahan uang‎ dilakukan di ruang kerja Yani di kantor Wiranatakusumah Legal & Consultant.
"Disepakati, Muhammad Santoso akan mengambil uang tersebut di tempat kerja terdakwa," ujar Pulung.
Usai kesepakatan itu, Santoso bergegas menuju kantor Wiranatakusumah Legal & Consultant di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, pada sore hari atau beberapa jam setelah putusan dibacakan majelis hakim Partahi Cs.
Setelahnya, tim Satgas KPK menangkap tangan Santoso di perempatan lampu merah Matraman, Jakarta Timur, yang saat itu tengah menumpang ojek.
Atas perbuatannya, Yani didakwa dengan ancaman pidana sebagaimana diatur Pasal 6 ayat 1 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.