Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyebut dugaan korupsi E-KTP pada 2011-2012 tak hanya melibatkan dua tersangka. Ada keterlibatan pihak lain yang harus dimintai pertanggungjawabannya. Namun, penyidik KPK butuh waktu untuk menjerat pihak lain tersebut.
"Fakta E-KTP ada kerugian negara Rp 2,3 triliun. Apakah itu hanya pergi ke dua orang itu saja? Saya bisa jawab tidak. Karena kalau Rp 2,3 triliun itu hanya dinikmati dua orang itu lalu kita jawab iya, kita pasti diketawain. Kalau begitu siapa saja? Itu yang belum bisa kami jawab. Ada waktunya untuk jawab itu," ucap Wakil Ketua KPK, Laode M Syarief, di Jakarta, Jumat (18/11/2016).
Baca Juga
Menurut dia, KPK juga tengah mengupayakan pengembalian uang negara Rp 2,3 triliun yang hilang tersebut. Namun, hampir pasti mustahil seluruh uang negara itu bisa dikembalikan 100 persen.
Advertisement
"Hampir mustahil, tidak bisa diambil semua. Kalau jumlah barang susutnya sudah banyak. Tapi kita tetap mengupayakan pengembalian uang negara itu," kata Laode.
Oleh karena itu, dia meminta semua pihak bersabar soal akhir pengusutan kasus ini. Selain sudah lama terjadi, kategorisasi kasus tersebut relatif besar dan rumit.
"Semua orang oleh penyidik KPK menganggap mengetahui tentang proses-proses, mulai dari awal sampai eksekusi E-KTP, pasti akan dimintai keterangan oleh KPK. Memang agak melelahkan karena kasus ini lama, tapi ini intensif. Maka masih memerlukan waktu," kata Laode.
Sebelumnya, KPK telah menetapkan dua orang tersangka pada kasus dugaan korupsi proyek E-KTP pada 2011-2012 di Kemendagri. Keduanya, yakni bekas Dirjen Dukcapil Kemendagri, Irman dan mantan Direktur Pengelola Informasi Administrasi Kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri, Sugiharto.
Irman dan Sugiharto dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 (UU Tipikor) juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Baik Irman maupun Sugiharto, dalam sengkarut proyek senilai Rp 5,9 triliun itu diduga telah menyalahgunakan kewenangan sehingga merugikan keuangan negara sampai Rp 2,3 triliun.