Jalan Berliku Patrialis Akbar Jadi Hakim Konstitusi

Patrialis Akbar diajukan Presiden SBY sebagai satu-satunya calon hakim MK dari unsur pemerintah pada 2009.

oleh Luqman Rimadi diperbarui 26 Jan 2017, 15:12 WIB
Diterbitkan 26 Jan 2017, 15:12 WIB
Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar
Hakim Mahkamah Konstitusi Patrialis Akbar

Liputan6.com, Jakarta - Hakim Konstitusi Patrialis Akbar terjaring operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). OTT tersebut diduga terkait suap pembahasan judicial review atau uji materi undang-undang (UU).

Sebelum menjadi hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Patrialis lebih dulu dikenal sebagai politikus Partai Amanat Nasional (PAN). Di partai berlambang matahari terbit itu, Patrialis sempat menduduki kursi anggota DPR selama dua periode, yakni 1999–2004 dan 2004–2009.

Puncak karier Patrialis sebagai kader PAN terjadi saat ia ditunjuk menjadi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Patrialis hanya menyandang jabatan tersebut selama 2 tahun, yaitu 2009-2011.

Dua tahun vakum, nama Patrialis tiba-tiba kembali muncul. Dia diajukan Presiden SBY sebagai satu-satunya calon hakim MK dari unsur pemerintah menggantikan Achmad Sodiki yang pensiun.

Selasa, 13 Agustus 2013 Patrialis Akbar mengucap sumpah jabatannya sebagai hakim konstitusi untuk masa jabatan 2013-2018. Jabatan itu sekaligus melengkapi kariernya dengan menduduki posisi di tiga lembaga tinggi negara, yaitu anggota parlemen, menteri, dan hakim konstitusi. 

Dua Kali Gagal

Jauh sebelum disumpah sebagai hakim Konstitusi, pada 2009, menjelang akhir masa jabatan sebagai anggota Komisi III DPR, Patrialis sempat mengikuti seleksi sebagai calon hakim konstitusi dari unsur legislatif menggantikan posisi Jimly Assidiqie. Namun Patrialis gagal di tahap fit and proper test.

Empat tahun, tepatnya Februari 2013, Patrialis kembali mencoba ikut seleksi hakim konstitusi untuk menggantikan Mahfud MD. Namun, saat seleksi berjalan ia mengundurkan diri dan batal mengikuti fit and proper test di DPR.

Pengangkatan Patrialis ini juga bukan tanpa sorotan. Banyak kalangan mengkritik sekaligus meragukan Patrialis bisa berkinerja dengan baik sebagai hakim konstitusi. Apalagi sebelumnya dia adalah seorang politikus.

Salah satu pengkritik datang dari Ketua MK saat itu, Akil Mochtar. Akil mengkritik penunjukan langsung SBY terhadap Patrialis.

Jauh sebelum Patrialis Akbar diangkat, Akil menjelaskan, chemistry dan harmonisasi di antara sembilan hakim konstitusi telah terbangun sejak lima tahun terakhir. Suasana dan hubungan kerja di MK pun sudah begitu kondusif.

Karena itu, dia tidak mau hal-hal tersebut runtuh karena kehadiran orang baru. "Selama lima tahun chemistry sudah terbangun. Selama ini hubungan kerja juga sangat kondusif," ujar Akil.

Digugat ke PTUN

Kritik dan protes juga datang dari sejumlah LSM, mereka mempertanyakan keputusan Presiden SBY itu. Sebut saja Indonesia Corruption Watch (ICW), YLBHI, dan Elsam yang merespons cepat pengangkatan Patrialis itu dengan membentuk Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK.

Mereka dengan tegas menolak kehadiran Patrialis Akbar sebagai calon hakim konstitusi.

Setidaknya ada dua hal yang menjadi keberatan para LSM itu terkait pengangkatan Patrialis. Pertama, prosedur pemilihan yang dianggap menyalahi UU MK. Kedua, profil Patrialis dinilai kurang memenuhi persyaratan.

Sejumlah elemen masyarakat tidak menerima Patrialis. Mereka kemudian menggugat pembatalan Surat Keputusan Presiden tentang pengangkatan Patrialis sebagai hakim konstitusi.

Melalui beberapa persidangan, PTUN DKI Jakarta memutuskan mengabulkan gugatan terhadap Surat Keputusan Presiden tentang pengangkatan hakim konstitusi Patrialis Akbar dan Maria Farida Indrati.

Berdasarkan putusan tersebut, jabatan keduanya sebagai hakim konstitusi harus batal demi hukum.

Patrialis pun melakukan perlawanan, merespons putusan itu, dia mengajukan banding. Upaya ini pun berbuah hasil, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN)membatalkan keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang menyatakan Keputusan Presiden Nomor 87/P tahun 2013 tentang pengangkatan Patrialis dan Maria sebagai hakim Konstitusi keliru dan bertentangan dengan Pasal 19 UU Nomor 24 Tahun 2003 juncto Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK).

Selang tiga tahun menjabat Hakim MK, Patrialis tersandung kasus hukum. Pada Rabu, 25 Januari 2017 malam, KPK menangkap Patrialis dalam sebuah operasi tangkap tangan (OTT) yang kabarnya dilakukan di sebuah hotel di Jakarta Barat.

Ketua KPK Agus Rahardjo membenarkan adanya Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap hakim Mahkamah Konstitusi, Patrialis Akbar.

"Benar, informasi sudah kami terima terkait adanya OTT yang dilakukan KPK di Jakarta," kata Agus melalui pesan pendek kepada Liputan6.com, Kamis (26/1/2017), di Jakarta.

Menurut Agus, penyidik KPK tidak hanya mengamankan Patrialis, tetapi juga beberapa orang lain. "Ada sejumlah pihak yang diamankan saat ini. Terkait dengan lembaga penegak hukum," ucap dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya