Melchias Mekeng Sebut Dirinya Difitnah Terima Suap E-KTP

Melchias Mekeng mengungkapkan, selama menjadi anggota dewan, dia tidak pernah menjadi anggota Komisi II DPR.

oleh Taufiqurrohman diperbarui 16 Mar 2017, 11:15 WIB
Diterbitkan 16 Mar 2017, 11:15 WIB
120119amelchias-mekeng.jpg

Liputan6.com, Jakarta - Nama politikus Golkar Melchias Mekeng disebut dalam dakwaan kasus e-KTP. Dalam dakwaan itu dia disebut menerima uang sebesar 1,4 juta dolar Amerika Serikat. Saat dikonfirmasi, Mekeng membantah hal tersebut, bahkan ia merasa difitnah.

"Jelas tidak benar. Saya menjadi korban fitnah keji yang dilakukan Saudara Andi Agustinus atau Narogong, yang seumur hidup saya tidak saya kenal dan tidak pernah bertemu," kata Mekeng kepada Liputan6.com di Jakarta, Kamis (16/3/2017).

Mekeng mengungkapkan, selama menjadi anggota dewan, ia tidak pernah menjadi anggota Komisi II DPR. Sama juga ketika dirinya menjadi Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR sekitar dua tahun, tidak pernah dirinya terlibat pembahasan anggaran proyek e-KTP.

"Selama duduk di DPR, saya berada di Komisi XI bidang ekonomi, keuangan dan perbankan, e-KTP tak pernah dibahas di Komisi XI karena bukan bidangnya. Saya menjadi Ketua Banggar pada Juli 2010 hingga mengundurkan diri 12 Agustus 2012," ungkap dia.

Mekeng menambahkan, proyek e-KTP merupakan usulan pemerintah yang anggarannya dibahas dan diputuskan bersama-sama oleh Kemendagri dan Komisi II DPR, karena memang itu pasangan mitra kerjanya

"Di dalam UU yang mengatur tentang tata cara bersidang atau rapat, dikatakan bahwa setiap keputusan yang sudah diputuskan oleh komisi termasuk Komisi II tak boleh diubah oleh siapa pun, termasuk Banggar," ujar Mekeng.

Ia menjelaskan, tugas Banggar DPR hanya membahas postur APBN, dengan Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia yang berisi tentang penerimaan negara seperti pajak, dan menghitung berapa defisit anggaran yang harus ditutup oleh pinjaman atau utang.

"Jadi adalah naif dan tidak masuk akal untuk memberikan uang begitu besar kepada saya, yang tidak ada kuasa untuk menghentikan program tersebut karena di Banggar hanya memutuskan gelondongan besar tentang penerimaan negara dan belanja pemerintah pusat dan daerah," tegas mantan Ketua Banggar DPR ini.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya