Komisi Yudisial: Salah Ketik Putusan Itu Tanggung Jawab Hakim

KY akan mengukur sejauh mana tanggung jawab dan seberapa besar kontribusi kesalahan hakim. Selain itu, akan tetap dijatuhi sanksi.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 06 Apr 2017, 16:15 WIB
Diterbitkan 06 Apr 2017, 16:15 WIB
20160106-Ilustrasi-Gedung-Komisi-Yudisial-Hel
Ilustrasi Gedung Komisi Yudisial (Liputan6.com/Helmi Fitriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Putusan Mahkamah Agung (MA) atas pengajuan uji materi dua Tata Tertib DPD memicu kontroversi. Hal ini lantaran ada salah ketik dalam putusan tersebut yang sulit dipahami.

Meskipun belum diketahui apakah ini disebabkan oleh kesalahan hakim agung atau panitera, Komisi Yudisial berpandangan salah ketik merupakan tanggung jawab majelis hakim yang memeriksa uji materi tersebut.

"Ada banyak modus dan bentuk pelanggaran yang bisa dibahasakan dominan terjadi, di antaranya adalah salah ketik. Dalam istilah doktrin hukum acara, kesalahan pengetikan tersebut disebut clerical error. Tentu saja salah ketik di sini adalah bentuk temuan yang tetap menjadi tanggung jawab hakim dan letaknya ada di dalam putusan," ucap juru bicara KY Farid Wajdi saat dikonfirmasi, Kamis (6/4/2017).

Menurut dia, salah ketik seringkali terbagi menjadi dua bagian besar, pertama salah ketik yang tidak memiliki dampak signifikan, biasanya terjadi pada kepala putusan.

"Dan salah ketik dengan dampak signifikan dominan terjadi pada pertimbangan hakim dan amar putusan," kata Farid.

Menurut dia, KY akan mengukur sejauh mana tanggung jawab dan seberapa besar kontribusi kesalahan hakim. Selain itu, pihak yang bersalah akan tetap dijatuhi sanksi.

"Dari mulai ringan untuk yang tidak memiliki dampak dan sedang, sampai dengan berat untuk yang memiliki dampak siginifikan. Bagi KY tidak bisa dianggap sebagai kesalahan sepele, karena seringkali berujung pada nasib para pencari keadilan," tutur Farid.

Dua Kesalahan Putusan

Sebelumnya, putusan atas permohonan uji materi Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Nomor 1 Tahun 2016 yang mengatur masa jabatan Pimpinan DPD menjadi 2,5 tahun, dan Tata Tertib DPD Nomor 1 Tahun 2017 tentang diberlakukannya 2,5 tahun masa jabatan pimpinan DPD pada periode 2014-2019 menuai masalah.

Dalam putusannya, Mahkamah Agung menyatakan, kedua peraturan tersebut harus dicabut dan tidak bisa diberlakukan. Namun, dalam bunyi amar putusan terdapat kesalahan fatal.

Dalam amar putusan perkara Nomor 20 P HUM/2017 terdapat kesalahan di amar Nomor 3 yang berbunyi:

Memerintahkan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk mencabut Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 tanggal 21 Februari 2017 tentang Tata Tertib.

Demikian pula dalam amar putusan perkara Nomor 38 P/HUM/2016 yang berbunyi:

Memerintahkan kepada Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk mencabut Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tanggal 10 Oktober 2016 tentang Tata Tertib.

Untuk kedua putusan, terdapat dua kesalahan. Pertama, yang disuruh mencabut putusan adalah Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau DPRD, padahal yang diperkarakan adalah DPD.

Kedua, yang diperintahkan MA untuk dicabut adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2017 dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016. Padahal, yang dicabut adalah Tata Tertib DPD Nomor 1 Tahun 2016 dan Tata Tertib DPD Nomor 1 Tahun 2017, bukan undang-undang.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya