KPK Pindahkan Penahanan Auditor BPK, Kenapa?

Rochmadi dipindahkan dari rumah tahanan (rutan) Polres Jakarta Timur ke Rutan KPK di gedung lama, Kavling C-1, Kuningan, Jakarta Selatan.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 01 Jun 2017, 14:39 WIB
Diterbitkan 01 Jun 2017, 14:39 WIB
Ilustrasi KPK
Ilustrasi KPK (AFP Photo)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memindahkan penahanan Auditor Utama Keuangan Negara III Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Rochmadi Saptogiri. Rochmadi dipindahkan dari rumah tahanan (rutan) Polres Jakarta Timur ke Rutan KPK di gedung lama, Kavling C-1, Kuningan, Jakarta Selatan, pada Rabu 31 Mei 2017 malam.

"Ya benar, kemarin dilakukan pemindahan tahanan untuk tersangka RS (Rochmadi Saptogiri) ke Rutan Cabang KPK," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Jakarta, Kamis (1/6/2017).

Pemindahan tersebut dilakukan untuk lebih memudahkan penyidikan terhadap tersangka kasus suap pemberian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari auditor BPK kepada Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT).

"Pemindahan dilakukan karena terdapat kebutuhan penyidikan," kata Febri.

Selainuntuk memudahkan penyidikan, pihak KPK merasa harus lebih menjaga para tahanannya agar tidak sembarang ditemui oleh orang lain.

"Pemindahan dilakukan agar proses penyidikan ini bisa lebih dilakukan secara efektif dan meminimalisasi persentuhan dengan pihak-pihak lain di luar pihak yang berhak sesuai peraturan yang ada," terang Febri.

Sebelumnya, Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah dan anggota Komisi III DPR Masinton Pasaribu secara diam-diam membesuk Rochmadi. Padahal, status Rochmadi merupakan tahanan baru yang tak bisa dikunjungi oleh siapapun.

Hal itu merujuk pada Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor E.22.PR.08.03 tahun 2001 tentang prosedur tetap pelaksanaan tugas pemasyarakatan, tahanan baru akan menjalani Masa Pengenalan, Pengamanan, Penelitian Lingkungan (Mapenaling).

Apalagi, kedatangan Fahri dan Masinton tak mendapat izin terlebih dahulu dari KPK.

Berawal dari OTT

KPK sebelumnya melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) di dua tempat, yakni di gedung Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan kantor Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT).

KPK menemukan uang Rp 40 juta di ruangan Eselon I BPK, Ali Sadli. Uang itu diduga kuat terkait suap pada kasus yang berkaitan dengan pemberian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) pada laporan keuangan lembaga tersebut. Uang Rp 40 juta yang diduga merupakan bagian total komitmen Rp 240 juta karena pada awal Mei sudah diserahkan Rp 200 juta.

KPK pun menemukan Rp 1,145 miliar dan 3 ribu dolar AS di brankas Rochmadi. Namun, uang itu belum diketahui apakah terkait dengan tindak pidana korupsi atau tidak.

Atas OTT tersebut, KPK menetapkan empat tersangka yaitu sebagai pemberi suap adalah Irjen Kemendes PDTT Sugito dan pejabat eselon III Kemendes Jarot Budi Prabowo. Mereka disangka dengan Pasal 5 ayat 1 huruf atau huruf b atau Pasal 13 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 KUHP jo Pasal 55 ayat-1 ke-1 KUHP.

Sedangkan sebagai pihak penerima suap adalah auditor utama keuangan negara III BPK, Rochmadi Saptogiri yang merupakan pejabat eselon I dan auditor BPK Ali Sadli. KPK menyangkakan Pasal 12 huruf a atau pasal 12 huruf b atau pasal 11 atau 5 ayat 2 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHP jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP kepada keduanya.

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya