HEADLINE: Modus Kekinian Judi Online, Bisnis Haram Berkedok Gim

Fenomena judi online di Indonesia bak serigala berbulu domba. Bisnis haram disulap bak permainan biasa.

oleh Gde Dharma Gita Diyaksa diperbarui 02 Des 2017, 00:05 WIB
Diterbitkan 02 Des 2017, 00:05 WIB
Judi Online
Para agen memberikan layanan personal chat pada calon pemain judi online (Liputan6.com/Balgoraszky Arsitide Marbun)

Liputan6.com, Jakarta - Situs judi online bergentayangan di dunia maya. Menjerat korbannya dengan permainan baccarat, poker, koprok, roulette, taruhan bola, blackjack, kiukick, balap kuda, sampai sabung ayam yang disiarkan secara langsung via livestreaming.

Aksesnya pun sangat mudah, bisa lewat komputer jinjing bahkan telepon seluler. Pemain cukup mendaftar, top up saldo, taruhan bisa segera dimulai. Recehan hingga jutaan rupiah dipertaruhkan. Saat pemain kalah, bandar pun girang.

Judi online ternyata bisnis besar. Nilainya sampai triliunan rupiah. Kepala Unit IV Subdit Cyber Crime Polda Metro Jaya, Kompol Fian Yunus mengatakan, fenomena judi online kian menjamur. Modus kekinian jauh lebih canggih dari sebelumnya.

Kompol Fian mengatakan, pada tahun 2010, polisi dengan mudah dapat melacak keberadaan sindikat judi online di Indonesia. Saat itu, akses internet belum sebebas dan semudah saat ini. "Pemainnya menggunakan warnet untuk mengakses situs judi," kata Kompol Fian Yunus kepada Liputan6.com di Jakarta, Kamis (30/11/2017).

Bandar menggunakan semacam SMS gateaway untuk menyebar pesan singkat menggunakan broadcast messages ke sekian ribu nomor telepon. Penerima yang tergoda diarahkan ke situs judi. "Saat itu rata-rata yang direkrut sebagai agen itu adalah pihak warnet," kata dia.

Agar lolos dari pelacakan polisi, sindikat judi online menggunakan cara operasi berbeda. Mereka memindahkan server ke sejumlah negara tetangga, seperti Kamboja, Thailand, Filipina dan Singapura.

"Mereka sewa server di sana, buat server di sana. Kemudian mereka memasukkan konten-konten berbahasa Indonesia sehingga bisa diakses oleh orang Indonesia," tambah dia.

Berdasarkan hasil penyelidikan, polisi menemukan fakta bahwa ada sejumlah WNI yang menjadi dedengkot sindikat judi online lintas negara. Mereka memboyong anak buah dari Indonesia untuk dipekerjakan di luar negeri.

Pekerja dari Indonesia direkrut untuk mengerjakan tugas operasional, dari maintenance, pembaruan (update), atau menjadi semacam customer service.

Kemudian, pekerja itu pulang ke Indonesia dan menjadi agen di dalam negeri. Tugas mereka pun bertambah, yakni wajib menghimpun rekening bodong.

Caranya, dengan memberikan iming-iming uang pada sejumlah orang, agar memberikan identitasnya untuk membuka rekening baru untuk menampung uang dari para pemain.

"Uang yang ditawarkan antara Rp 1,5 juta sampai Rp 5 juta. Tapi sekarang naik menjadi Rp 2,5 juta hingga Rp 7,5 juta untuk mendapatkan satu rekening," kata Kompol Fian.

Para agen akan mengganti rekening-rekeningnya tersebut secara berkala. Satu rekening hanya akan dipakai dalam hitungan bulan. Tujuannya, untuk menghindari pelacakan polisi.

Kompol Fian mengakui, untuk menangkapnya otak dan pemodal bisnis ilegal judi online bukan perkara gampang. 'Telinga dan mata' mereka ada dimana-mana. Saat ditargetkan mereka pun kabur.

"Kalau mereka sudah tahu sedang diawasi, mereka tidak pulang. Hanya berpindah-pindah negara untuk memperpanjang visa," kata Fian.

Polisi juga menggandeng Kementerian Komunikasi dan Informatika untuk memblokir situs-situs judi online yang dapat diakses di internet. Namun, otak dibalik bisnis judi online selicin belut. Mereka punya cara untuk mengelak. Caranya, dengan membuat situs-situs baru berkonten serupa dengan yang sudah diblokir.

"Konten websitenya sama, hanya namanya yang beda. Sehingga mereka lepas dari pemblokiran yang dilakukan dari Kemkominfo. Setelah lepas, mereka bisa tetap bisa menjalankan operasinya," kata Kompol Fian.

Pada 2015 ada 5 kasus yang ditangani Sub Direktorat Cyber Crime Polda Metro Jaya. Sementara, pada 2016 ada tiga kasus.

Pada 19 Januari 2017 Subdit Cyber Crime Polda Metro Jaya membekuk agen judi online yang bermarkas di Jakarta Pusat. Penangkapan tersebut merupakan hasil pengembangan dari penyelidikan sindikat yang bermarkas di Kamboja.

Mereka diancam dengan pasal berlapis yakni, pasal 27 ayat (2) jo pasal 45 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan atau Transaksi Elektronik (ITE), pasal 3, 4, 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dan atau pasal 303 KUHP tentang Perjudian. Ancaman hukumannya mencapai 6 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 1 miliar.

Kompol Fian menegaskan, praktik judi online adalah kejahatan lintas negara. Untuk memberantas hingga ke akar-akarnya, kerja sama antarpihak mutlak dibutuhkan termasuk dengan Bea Cukai, Imigrasi, PPATK, dan Aseanapol atau polisi ASEAN.

Apalagi, dia menambahkan, judi online tak boleh diremehkan. Padahal jika terus diabaikan, dalam jangka panjang perekonomian negara akan terancam.

"Bayangkan jika pemasukan dari judi online Rp 1 triliun per bulan lalu digunakan untuk pembangunan properti di Indonesia,apa tidak keok itu properti lain yang setengah mati cari pinjaman kredit," kata Kompol Fian. 

 

Bisnis Haram Berkedok Permainan

Fenomena judi online di Indonesia bak serigala berbulu domba. Kecanggihan teknologi membuat bandar mampu menyulap bisnis haramnya menjadi tampak seperti permainan.

Dari muda hingga tua, semua dapat mengakses dengan mudah. Hingga tak sadar permainan itu siap mengeruk kantong para pemainnya.

Menurut pakar keamanan siber, Pratama D.Persadha, hal itu juga yang membuat judi online semakin banyak peminatnya. Judi online dikemas cantik, membuat penjudi seolah hanya sekadar menjalankan sebuah permainan. Mereka tak merasa melakukan tindakan yang melanggar hukum atau yang diharamkan.

"“Bandar judi semakin berkembang, dia akan membuat suatu sistem yang bagus. Sistem yang bagus ini ketika di-share, kepada orang, dia merasa seperti orang main gim,” kata Pratama D Persadha kepada Liputan6.com.

Bahkan menurut Pratama, karena perkembangan teknologi, mental judi sudah mulai dibentuk sejak masa kanak-kanak. Mereka dicekoki permainan-permainan yang melibatkan taruhan.

Meski tidak menggunakan uang asli, namun hal tersebut, menurut Pratama, dapat membuat sang anak ketagihan hingga berlanjut ke perjudian yang sesungguhnya.

"Jadi mereka diajari untuk main judi dari kecil. Ketika teredukasi untuk bermain judi, akhirnya mereka terbiasa," kata Pratama.

Di sisi lain menurut Pratama, perkembangan teknologi juga membuat penyebaran judi di Indonesia sulit dibendung.

"Dari indikator banyaknya iklan judi online di internet, menunjukan memang pengguna di Indonesia itu sangat banyak," kata Pratama.

Padahal tahun 2017 setidaknya sudah 3.273 situs judi online dilaporkan ke Kementerian Komunikasi dan Informatika. Sebanyak 1.584 situs di antaranya sudah diblokir.

Kesulitan itu lantaran para bandar judi online sudah menyusun strategi dengan rapi. Mereka memanfaatkan celah hukum di Indonesia dengan membangun pusat kendali bisnisnya di negara yang melegalkan judi.

Sedangkan di Indonesia, para bandar hanya merekrut orang sebagai agen. Agen-agen itu yang nantinya melayani pemain-pemain di Indonesia.

Biasanya mereka terang-terangan mengiklankan bisnis judi onlinenya melalui internet. Banyak diantaranya juga membuka layanan personal chat. Secara rutin mereka juga memberitahukan nomor rekening yang biasanya digunakan untuk menerima transfer uang dari pemain.

Saat mereka tertangkap, bandar akan merekrut agen-agen baru. Begitu seterusnya. Sementara aparat penegak hukum tidak dapat menindak bandar-bandar judi online yang ada di negara-negara di mana judi dianggap legal. Hal ini membuat rantai bisnis judi online di Indonesia tidak bisa dipotong.

"Mereka (bandar) menggunakan hukum di luar negeri, servernya ada di sana, sementara kita tidak punya kekuatan untuk menjangkau mereka (bandar), itu jadi masalah," kata pria yang pernah tergabung dalam Lembaga Sandi Negara itu.

'Uang Setan Dimakan Iblis'

Judi online itu ibarat candu. D jadi saksi hidupnya. Sudah lima tahun pemuda itu terjerat judi online berbentuk permainan poker. Sudah sejak SMA ia memainkannya, awalnya hanya coba-coba.

"Lihat teman-teman selalu ada uang buat beli rokok segala macam, selalu ada, jadi penasaran dari mana duitnya," kata D kepada Liputan6.com.

Ia pun kemudian mengunduh aplikasi judi online, menyetor KTP, nomor rekening, nomor ponsel, dan uang Rp 50 ribu. Setelah itu, judi poker online dapat dimainkan.

Tak butuh modal besar untuk berjudi poker online. Pemainnya juga bisa menjalankan permainan terlarang itu di ponsel, kapan saja, dan di mana saja. Kemudahan-kemudahan itupun sontak membuat D sulit lepas dari jerat candu judi poker online.

Namun, menurut D, yang membuatnya sulit insaf adalah rasa tidak pernah puas dan tidak pernah kapok.

Saat kalah ia penasaran, ketika menang ia pun ketagihan. Suatu ketika D rugi Rp 2 juta. Bukannya mundur, mahasiswa itu malah merasa tertantang. Ia rela utang ke sana ke mari demi bisa meneruskan permainan. "Saya merasa harus main lagi, buat mengembalikan modal saat kalah," kata D.

Hal yang sama juga pernah dialami N. Untungnya, karyawan swasta itu kini sudah tobat. Menurut dia, tak ada untungnya bermain judi online.

"Uang hasil judi itu seperti uang setan dimakan iblis, habis enggak ada hasilnya," kata N kepada Liputan6.com.

Hidup N pernah berantakan gara-gara judi online. Saat itu ia masih duduk di bangku kuliah. Barang-barangnya habis terjual untuk modal taruhan dan melunasi utang.

N bahkan sempat beberapa kali membohongi orangtuanya demi mendapat uang kiriman tambahan. Sementara itu lilitan utang makin membuatnya tak bisa berkutik.

"Dulu sampai uang kiriman dari orang tua bulan ini, buat bayar utang bulan kemarin. Seperti itu seterusnya demi," kata N dengan raut muka berkerut.

Menurut N, pemain judi online hanya akan berputar pada satu siklus. Ada saat kalah, ada saat menang.

Saat menang, pemain mengunakan uang hasil berjudi untuk melunasi utang-utangnya akibat kalah taruhan.

Setidaknya siklus itu sudah N rasakan selama 5 tahun hingga akhirnya ia menutup akun judi online-nya.

"Berhenti judi online sekitar tahun 2016. Di situ saya mikir, menang tidak, kalah iya, malu juga sama teman-teman pinjam duit," kata N dengan kepala tertunduk.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya