Keuskupan Agung Jakarta: Paus Akui Palestina

KAJ mengecam sikap Presiden AS Donald Trump yang melakukan klaim sepihak Yerusalem sebagai Ibu kota Israel.

oleh Moch Harun Syah diperbarui 25 Des 2017, 17:08 WIB
Diterbitkan 25 Des 2017, 17:08 WIB
Dihadiri Ribuan Jemaat, Uskup Agung Jakarta Pimpin Misa Pontifikal Natal
Uskup Agung Jakarta Ignatius Suharyo memimpin prosesi Misa Pontifikal Natal di Gereja Katedral, Jakarta, Senin (25/12). (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Keuskupan Agung Jakarta menyatakan sikapnya terhadap isu Yerusalem merujuk apa yang digariskan Paus Paulus. Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo menyatakan sikap itu juga senapas dengan Pemerintah Indonesia.

"Sebagai warga katolik, kita tinggal ikut Paus Paulus dan itu jelas eksplisit ke Palestina. Dan pemerintah Indonesia sudah tegas menyatakan itu. Kita tidak setuju dan tidak bertentangan dengan sikap pemerintah," kata Ignatius di Gereja Katedral, Jakarta Pusat, Senin (25/12/2017).

KAJ mengecam sikap Presiden AS Donald Trump yang melakukan klaim sepihak Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Ignatius Suharyo mengatakan, sebagai anggota PBB, harusnya Trump tunduk dengan resolusi PBB terkait Yerusalem.

Ia juga mengkritik negara-negara lain yang belakangan mengekor keputusan Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel.

"Kita sepakat juga dengan PBNU, intinya sebagai warga dunia semestinya negara-negara yang jadi anggota PBB itu tunduk dengan resolusi PBB," ujar Ignatius.

 

Butuh Waktu Lama

Angkat Bicara, Pejabat Dunia Kecam Kebijakan Trump Soal Yerusalem
Paus Fransiskus saat berada di Aula Paul VI di Vatikan (6/12). Paus Fransiskus menyerukan agar status quo Yerusalem dihormati untuk menghindari konflik lebih lanjut. (AP Photo / Alessandra Tarantino)

Ia menilai, konflik Israel dan Palestina sudah berlangsung terlalu lama. Menurutnya, perjalanan menuju solusinya juga masih panjang.

"Ini masalah lama, tahunan. Dan pasti akan membutuhkan waktu yang panjang juga untuk menyudahinya," ujar dia.

Menurut Ignatius, ketegangan keduanya juga hanya bisa diselesaikan oleh mereka sendiri. Satu-satunya jalan yang masih bisa diharapkan, kata dia, yaitu bertemunya Palestina dan Israel.

Dia menegaskan, keduanya harus duduk atas dasar kemanusiaan.

"Masalah kemanusiaan ini, bukan agama, ini politik. Ini masalah lama pasti akan membutuhkan waktu yang panjang," dia memungkasi.

128 Negara Tolak Keputusan Amerika Serikat

Sidang darurat Majelis Umum PBB yang digelar pada Kamis, 21 Desember 2017.
Sidang darurat Majelis Umum PBB yang digelar pada Kamis, 21 Desember 2017. (Kim Haughton/United Nations via AP)

Dari 193 negara anggota PBB, sebanyak 128 negara menolak keputusan Amerika Serikat terkait pengakuan Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Sementara itu, 9 negara setuju dan 35 lainnya memilih abstain.

Sebelumnya, resolusi penolakan Yerusalem sebagai ibu kota Israel telah diveto oleh Amerika Serikat dalam sidang Dewan Keamanan PBB yang beranggotakan 15 negara Senin lalu. Skor saat itu 1 melawan 14. AS tidak dapat memveto resolusi majelis umum.

Dalam pidatonya jelang pemungutan suara di Majelis Umum PBB, Duta Besar AS untuk PBB, Nikki Haley menekankan bahwa Amerika Serikat adalah satu-satunya kontributor terbesar untuk PBB dan badan-badan di bawahnya. Sebagai balasannya, ia meminta dukungan.

"Keputusan tersebut sesuai dengan UU AS yang dikeluarkan pada 1995," kata dia seperti dikutip dari Independent.

Ia bersikukuh, keputusan AS yang mengklaim Yerusalem sebagai ibu kota Israel, tak akan merusak upaya perdamaian. "Amerika Serikat akan mengingat hari saat diasingkan di PBB karena memperjuangkan kedaulatannya."

Haley menambahkan, AS akan menempatkan kedutaannya di Yerusalem. "Pemungutan suara ini akan menentukan bagaimana Amerika memandang PBB, dan bagaimana kami memandang negara-negara yang tidak menghormati AS di PBB."

Di sisi lain, Menteri Luar Negeri Palestina, Riyad al-Maliki menegaskan, negara-negara anggota PBB tak sedang memusuhi AS.

"Kita bertemu hari ini bukan untuk memusuhi Amerika Serikat, namun karena sebuah keputusan yang dianggap sebagai agresi,' kata dia.

Ia menambahkan, keputusan tersebut tidak akan memengaruhi status Yerusalem.

Sebaliknya, klaim AS bahwa Yerusalem ibu kota Israel, memengaruhi status Amerika Serikat sebagai mediator perdamaian.

"Sejarah akan mencatat nama. Mengabadikan nama-nama mereka yang memilih untuk sebuah hal yang benar."

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya