Pengamat: Yang Setuju Pilkada Kembali ke DPRD, Enggak Bisa Move On

Sejumlah tokoh nasional menilai pemilihan kepala daerah (pilkada) sebaiknya dikembalikan ke tangan DPRD.

oleh Yunizafira Putri Arifin Widjaja diperbarui 20 Apr 2018, 06:43 WIB
Diterbitkan 20 Apr 2018, 06:43 WIB
Ilustrasi pilkada serentak (Liputan6.com/Yoshiro)
Ilustrasi pilkada serentak (Liputan6.com/Yoshiro)

Liputan6.com, Jakarta - Sejumlah tokoh nasional menilai pemilihan kepala daerah (pilkada) sebaiknya dikembalikan ke tangan DPRD. Sebab pada praktiknya, pilkada langsung masih dianggap memiliki sejumlah masalah.

Mereka menilai pilkada di tangan DPRD lebih baik. Terlebih, DPRD merupakaan perwakilan dari rakyat.

Namun, Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) FH Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono menyatakan kalangan yang setuju atas wacana pengembalian pilkada ke DPRD berarti tidak bisa move on. Dia mengatakan rakyat masih menghendaki pemilihan secara langsung.

"Isu yang dilontarkan sama. DPRD representasi rakyat jadi mereka punya legitimasi untuk milih. Kalau kata anak zaman sekarang, mereka (yang setuju) masih enggak bisa move on," ucap Bayu, di diskusi Ancaman Daulat Rakyat: Pemilihan Kepala Daerah Melalui DPRD, di Kantor APHTN-HAN, Jalan Kramat VI, Jakarta Pusat, Kamis 19 April 2018.

Selain itu, dia menilai argumen yang digunakan sejumlah kalangan untuk mengembalikan pilkada kepada DPRD tidak dapat dibenarkan. Salah satunya, tentang alasan pilkada secara langsung menghasilkan pejabat korupsi.

Menurut dia, pilkada melalui DPRD juga tidak dapat menjanjikan kepala daerah bersih dari skandal tersebut. Contohnya, ketika pilkada masih dipilih oleh DPRD pada rentang waktu 1999-2004.

"Oke kita coba lihat ke belakang, tahun 1999-2004 bukan berarti tidak ada yang bersih. Dulu juga cukup signifikan. Seperti Bupati Kendal, kasus APBD tahun 2003-2004. Jadi alasan ini tidak bisa dipakai ulang," ujar Bayu.

Senada dengan pernyataan tersebut, pada kesempatan yang sama, Ketua Bawaslu Abhan menganalogikan persoalan yang muncul selama pilkada sebagai tikus dan pilkada langsung sebagai rumah yang ditinggali tikus-tikus tersebut. 

Maka, logika yang dibangun, seharusnya membasmi tikus-tikus yang tinggal dalam rumah itu, bukan justru menghancurkan rumahnya.

"Kalau rumahnya banyak tikus. Ya, tikus-tikus itu yang harus kita basmi, bukan si rumah demokrasi pilkada langsung yang harus dihancurin," kata Abhan.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

Ketidaksanggupan Partai Politik

Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Ansari juga menentang dikembalikannya pilkada kepada DPRD. Feri mengatakan, kedaulatan berada di tangan rakyat. Karenanya, menjadi tidak pas jika muncul wacana pemilihan kepala daerah kembali ke tangan DPRD.

"Daulat itu di tangan rakyat. Jadi itu penting jadi garis besar apakah dipilih langsung atau tidak langsung. Untuk apa membuat KPU dan Bawaslu. Jelas, bahwa tidak matching soal (dikembalikan ke) DPRD," ucap Feri.

Selain itu, lanjut dia, jika partai politik setuju dengan wacana pengembalian hak pilih kepada DPRD, parpol tersebut dapat diartikan tidak sanggup membina kadernya untuk bersaing dalam pilkada. Juga, wacana itu, kata dia, jika disahkan justru dapat merubah sistem regenerasi kepemimpinan nasional yang telah ada saat ini. 

Selain ketiga narasumber tersebut, hadir juga narasumber lainnya dalam diskusi ini, yaitu Ketua KPU Arief Budiman. Selain itu, hadir juga Ketua Umum Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APTHN-HAN) Mahfud MD sebagai keynote speaker.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya