Liputan6.com, Jakarta - Butuh kerja keras bagi anggota Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror untuk mengendus dugaan teror. Segala cara dilakukan, dari menyamar hingga menguntit gerak-gerik para terduga teroris ke mana pun mereka bergerak.
Saat petunjuk sudah didapat, eksekusi tak bisa langsung dilakukan. Sebab, syarat adanya bukti permulaan yang cukup, wajib dipenuhi. Padahal, bisa jadi para terduga sedang merencanakan konspirasi jahat.
Advertisement
Baca Juga
"Mereka terancam dikenakan tuduhan melanggar HAM. Lalu bisa dilaporkan ke Propam (divisi profesi dan pengamanan), bisa dilaporkan ke yang lain-lain. Ini yang bahaya," ujar Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia (UI) Ridwan Habib kepada Liputan6.com, Selasa (15/5/2018).
Padahal, pengumpulan informasi intelijen tak semudah membalik telapak tangan. Butuh waktu hingga berbulan-bulan dan belum tentu berhasil.
Tak jarang, akibatnya bisa ke kehidupan pribadi petugas. "Tugas ke lapangan, berpindah-pindah tempat dan memakan waktu tak sebentar membuat aparat tak bisa bertemu dengan keluarga. Keluarga, terutama istri, tidak kuat dengan tekanan, hingga bisa berujung perceraian," kata Ridwan.
Pasal 28 Undang-Undang tentang Terorisme yang berlaku saat ini menyatakan, penyidik dapat melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang diduga keras melakukan tindak pidana terorisme berdasarkan bukti permulaan yang cukup untuk paling lama 7x24 jam atau tujuh hari.
Aturan tersebut dinilai menyusahkan aparat. Itu mengapa, menurut Ridwan, revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme harus segera disahkan.
Isu terkait revisi UU Terorisme mengemuka belakangan pasca-insiden ledakan lima bom di Surabaya dan Sidoarjo, Jawa Timur. Kejadian teror tersebut tak berselang lama setelah pecahnya kerusuhan di Rutan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat.
"Kalau nanti kemudian data intelijen bisa dianggap bukti yang cukup, maka akan menguntungkan, karena orang-orang yang sudah dideteksi yang menjadi bagian dari calon terorisme bisa ditangkap sebelum mereka merencanakan sesuatu," kata dia.
Sementara, masa penahanan 7x24 jam, diusulkan untuk ditambah menjadi 14 hari. Waktu tersebut memungkinkan penyidik mencari informasi yang lebih banyak.
"Lalu, mekanisme berikutnya adalah mengatur peran TNI-Polri sehingga kemudian TNI bisa maksimal melakukan operasi. Tidak perlu ragu-ragu ketika dibutuhkan bantuannya memberantas terorisme," kata dia.
Ridwan mengatakan, dengan disahkannya revisi ini, akan mengurangi dan juga mempercepat operasi penanganan teroris.
"Kalau itu berhasil disahkan, maka akan ada kelonggaran yang memudahkan kerja di lapangan," kata Ridwan.
Sementara itu, pengamat terorisme dari The Community Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya berpendapat, adalah tidak tepat mengambing hitamkan regulasi dalam situasi seperti ini,
"Dengan UU sekarang ini pihak keamanan bisa menangkap banyak (teroris) hari ini. Itu catatan penting," kata dia kepada Liputan6.com, Selasa (15/5/2018).
Harits mengatakan, jika dianggap mendesak, revisi tetap harus mengedepankan rasionalitas.
Desakan untuk menyegerakan revisi UU Terorisme sebelumnya disampaikan oleh sejumlah tokoh. Salah satunya Presiden Jokowi.
Jokowi mengatakan RUU Antiterorisme itu telah diajukan pemerintah sejak dua tahun lalu. Dia pun mendesak agar DPR dan kementerian untuk segera menyelesaikan pembahasan tersebut.
"Yang berhubungan dengan revisi undang-undang tindak pidana terorisme, sudah kami ajukan pada Februasi 2016 lalu, untuk segera diselesaikan secepatnya," kata Jokowi di Jakarta, Senin, 14 April 2018 lalu.
Jokowi juga meminta agar RUU tersebut diselesaikan pada masa sidang mendatang. Menurutnya, RUU antiterorisme itu sebagai payung hukum bagi aparat untuk memberantas terorisme.
"Kalau nanti di akhir sidang (DPR) Juni belum rampung, saya akan keluarkan Perppu," ujar Jokowi di JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat, Senin (14/5/2018).
Di sisi lain,Wakil Ketua DPR Fadli Zon membantah revisi UU pemberantasan terorisme mangkrak. Justru, yang selalu menunda pengesahan adalah dari pihak pemerintah.
"Saya kira kami sudah berkoordinasi dengan pimpinan dari pansus antiteroris ini, itu berkali-kali bahkan belasan kali pemerintah melakukan penundaan. Dan terakhir pada waktu masa sidang lalu juga melakukan penundaan lagi," kata dia kepada Liputan6.com.
Dia mengatakan, tinggal sedikit lagi revisi undang-undang terorisme ini, yaitu di masa sidang yang akan datang selesai. Dia mengatakan, bab mengenai peran TNI dan Polri dalam penanganan terorisme sudah selesai.
Senada, Wakil Ketua DPR Agus Hermanto menambahkan, tidak ada satu pun fraksi yang menunda penyelesaian Revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme.
"Itu enggak betul. Tidak pernah ada dalam hal ini fraksi menunda-nunda. Karena kebutuhan untuk semuanya, semua fraksi ingin revisi ini bisa selesai," kata Agus di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (15/5/2018).
Menurutnya, semua fraksi di DPR sepakat segera membawa revisi tersebut ke sidang paripurna. Namun, pemerintah meminta menunda.
"Khusus RUU ini memang pada saat penutupan masa sidang, pansus ingin paripurna keputusan. Namun, pemerintah ingin tunda karena ada hal-hal yang diseragamkan frasa terorisme sehingga paripurna tidak dilakukan," ungkap dia.
Saksikan juga video menarik berikut ini:
'Tersandera' Definisi Teroris?
Ketua Pansus RUU Terorisme Muhammad Syafi'i mengatakan, pemerintah lah yang menunda-nunda pengesahan revisi tersebut. Dari pihak DPR, kata dia, berjalan lancar dan sudah berjalan 99,9 persen.
"100 persen itu kendala dari pemerintah, iya tinggal mereka menyelesaikan PR yang mereka minta untuk merumuskan definisi terorisme tinggal itu aja sih mbak," kata dia kepada Liputan6.com.
Dia pun mengatakan, pemberantasan terorisme tidak terhambat dengan belum disahkannya revisi tersebut.
"Oh itu enggak ada hubungan sama sekali," ucap Syafii.
Dia mengatakan, pengesahannya pun tergantung dari pemerintah. Pembahasan revisi ini, kata dia, akan dibahas setelah masa reses DPR.
Ketua DPR Bambang Soesatyo atau Bamsoet memastikan tidak akan mengulur pembahasan RUU Antiterorisme. Dia menargetkan revisi akan segera disahkan pada masa sidang Mei ini.
"Presiden minta RUU Antiterorisme selesai paling lambat Juni. Kami di DPR menegaskan siap untuk ketuk palu Mei ini. Tinggal pemerintah menyelesaikan masalah di internalnya agar satu suara dalam menyikapi revisi UU antiterorisme ini," kata Bambang dalam keterangan tertulis, Jakarta, Selasa (15/5/2018).
Bamsoet meminta kepolisian tegas tanpa takut melanggar hak asasi manusia (HAM) menuntaskan kasus terorisme. Aparat kepolisian bisa langsung menangkap dan memeriksa jika dirasa ada dugaan kuat dan bukti yang cukup tanpa menunggu teroris melancarkan aksi.
"Kepentingan bangsa dan negara harus didahulukan. Kalau ada pilihan antara HAM atau menyelamatkan masyarakat, bangsa dan negara, saya akan memilih menyelamatan masyarakat, bangsa dan negara," ucap Bamsoet.
Ketua Panja Revisi UU Terorisme dari Pemerintah, Eny Nurbaningsih menjelaskan, membuat rumusan definisi sebuah UU tentang tindak pidana itu bukan perkara yang sederhana. Karena, menyangkut tindak pidana, apalagi tindak pidana terorisme.
"Dia tidak boleh ada tafsir lain apapun harus sangat jelas kemudian dalam rumusan yang benar benar dibaca tanpa ada kemudian orang ada pemikiran yang lain," kata Eny kepada Liputan6.com.
Dia mengatakan, dalam UU yang lama tidak ada definisi terorisme. Definisi mengenai terorisme baru ada di dalam revisi.
"Kalau kita ingin mendefinisikan, bukan pemerintah tidak mau mendefinisikan. Hanya mendefinisikan itu memang sulit sekali, sulitnya kenapa, karena tidak ada di dunia ini definisi yang tunggal tentang apa itu terorisme. Enggak ada," ucapnya.
Dia mengatakan, yang menyatakan kesulitan definisi terorisme bukan dirinya tapi para aparat penegak hukum. Sebab, merekalah yang akan menggunakan UU ini. Pemerintah, kata dia, mencoba merumuskannya berdasarkan delik inti dari Pasal 6 dan Pasal 7 UU Nomor 15 Tahun 2003.
"Jadi kita harus hati-hati sekali apa itu terorisme," kata dia.
Dia pun mengatakan, pemerintah telah sepakat definisi terorisme berikut ini:
Perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal, dan atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional.
"Ini pun di-challenge aparat penegak hukum, misalnya cuma tiga atau empat orang berarti itu bukan terorisme? Begitu, jadi definisinya sulit," kata dia.
Eny mengatakan, DPR menyerahkan kepada pemerintah mengenai definisi terorisme. Namun, mereka meminta ditambahkan dengan frase tentang tujuan ideologi dan atau tujuan politik.
Keinginan DPR untuk memasukkan tujuan ideologi atau tujuan politik pada definisi terorisme agak menyulitkan. Pemerintah mengusulkan agar itu tidak usah dimasukkan ke definisi, tapi dituangkan dalam penjelasan umum.
Belum sepakatnya tujuan ideologi dan politik masuk definisi inilah, lanjut Eny, yang membuat pemerintan belum sepakat sehingga pengesahan revisi UU tertunda.
"Kalau masuk ke sini kerepotannya adalah, apa ukurannya? Kan kita bicara soal UU tindak pidana terorisme. Yang jelas, kan dalam UU itu ada prinsip dasar, ada kejelasan di dalam perumusan, dan harus jelas tanpa ada tafsir yang lain, itu yang repot dirumuskan. Kalau enggak ada lepas, kan repot," kata Eny.
Advertisement
Tak Perlu Perppu
Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) berpendapat pemerintah tidak perlu menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) tentang Terorisme. Tanpa Perppu pun para pelaku teroris akan dihukum.
"Enggak perlu Perppu. Sebenarnya tanpa itu pun kan dijalankan," kata JK di kantornya, Jalan Medan Merdeka Utara, Selasa (15/5/2018).
Karena itu, dia meminta kepada masyarakat agar menunggu DPR merampungkan revisi UU Nomor 5 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dia juga berharap pihak DPR bisa merampungkan pada akhir bulan ini atau Juni.
"Iya, kita harapkan bulan Mei atau Juni ini bisa selesai," kata JK.
Dia juga menilai upaya pemerintah untuk melibatkan TNI untuk mengatasi para teroris bertujuan baik. Dengan melibatkan TNI dan Polri, JK menilai akan ada upaya lebih kuat untuk memberantas terorisme.
"Mungkin peristiwa di Jakarta dan Surabaya menjadi pendorong tuntutan. Semua punya peran, polisi pasti, TNI juga punya kemampuan. Digabungin lah karena ini terlalu luas. Polisi punya polsek, TNI punya koramil, jadi dilibatkan semua kan bagus," kata JK.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly memastikan pemerintah akan mempercepat pembahasan rancangan RUU Antiterorisme bersama DPR dalam masa sidang selanjutnya.
"Nanti pembukaan masa sidang langsung kita tancap gas," kata Yasonna di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (15/5/2018).
Menurut Yasonna, pemerintah dan DPR sudah sepakat dengan DPR terkait revisi UU tersebut. Bahkan, kata dia, draf yang diajukan pemerintah tinggal dibahas dalam sidang di DPR.
"Kami sudah sepakat kemarin, saya sudah pimpin rapat dengan pemerintah, kami sudah sepakat semua tidak ada lagi perbedaan pendapat terhadap pemerintah, tinggal sekarang kita mendorong," ucap politikus PDI Perjuangan itu.
Sebenarnya, sambung Yasonna, pembahasan RUU Antiterorisme ini memang memiliki sejumlah kendala. Misalnya, ada perbedaan pendapat antara pemerintah dan DPR tentang pasal-pasal dalam draf RUU itu.
"Jadi sudah dua tahun awalnya itu kan di sana, belakangan ini baru ada sedikit dinamika. Kalau pemerintah dalam rapat yang lalu sudah oke. Akhirnya kemudian diprovokasi lagi oleh, pandangan itu diprovokasi oleh beberapa teman di Panja DPR. Jadi tertunda. Sekarang harus diselesaikan," tambah Menteri Yasonna.