LPSK: UU Terorisme Perbanyak Hak Korban

Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyambut baik Undang-Undang Antiterorisme (UU Terorisme) yang baru disahkan DPR.

oleh Liputan6.com diperbarui 27 Mei 2018, 17:09 WIB
Diterbitkan 27 Mei 2018, 17:09 WIB
Tok, DPR Resmi Sahkan Revisi UU Terorisme
Menkumham Yasonna Laoly hadir di Rapat Paripurna di Jakarta, Jumat (25/5). DPR menyetujui RUU atas UU 15/2003 tentang Penetapan Perppu 1/2002 tentang Pemberantasan Terorisme. (Liputan6.com/JohanTallo)

Liputan6.com, Jakarta - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menyambut baik Undang-Undang Antiterorisme (UU Terorisme) yang baru disahkan DPR. Lantaran, undang-undang tersebut dinilai memperkuat hak korban.

"Sebelumnya hak korban terorisme hanya dua, kompensasi dan restitusi. Dalam UU terbaru, bentuk hak korban diperbanyak", kata Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai dalam siaran pers LPSK, Minggu (27/5/2018)

LPSK, yang juga menjadi pihak yang terlibat dalam perumusan UU Terorisme tersebut, melihat pada praktik penanganan korban terorisme ada banyak kebutuhan korban selain kompensasi dan restitusi, yakni adanya rehabilitasi bagi korban sangat penting. Hal ini mengingat korban terorisme hampir pasti mengalami trauma baik medis maupun psikologis.

"Ini yang harus dipulihkan, dan alhamdulillah hak korban tersebut juga menjadi salah satu poin dalam UU yang baru. Ini merupakan kemajuan bagi upaya layanan kepada korban terorisme," kata Semendawai, seperti dilansir dari Antara.

Pada kasus-kasus terorisme, sebelum UU Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, bahkan posisi korban terorisme sangat lemah karena bukan termasuk tindak pidana yang mendapat prioritas perlindungan dan layanan oleh LPSK.

Namun, pada UU tersebut korban terorisme masuk menjadi korban yang mendapat prioritas perlindungan dari LPSK. Dengan begitu, saat terjadi serangan teror layanan kepada mereka agak sulit diberikan, tetapi persoalan tersebut terjawab pada pada UU Anti-Terorisme yang baru.

"Hak korban dari masa tanggap darurat sudah diatur dengan jelas. Ini menunjukkan bahwa UU ini fokusnya tidak hanya pada pelaku, melainkan juga kepada korban", ucap Semendawai.

Selain rehabilitasi medis dan psikologis, rehabilitasi psikososial juga menjadi salah satu hak baru bagi korban yang ada dalam UU Antiterorisme yang baru.

Rehabilitasi psikososial menjadi penting karena korban yang selamat maupun keluarganya tetap harus bisa melanjutkan kehidupannya secara wajar, misalnya tetap melanjutkan pendidikan maupun tetap memiliki mata pencaharian setelah menjadi korban terorisme.

LPSK menyebut, pada beberapa kasus korban merupakan tulang punggung keluarga, sehingga keluarga menjadi kehilangan orang yang penting dalan kelanjutan hidupnya sehari-hari ataupun jika selamat, mereka sulit untuk bekerja atau beraktivitas seperti sebelum menjadi korban.

Apalagi UU ini juga mengukuhkan LPSK sebagai lembaga yang melakukan upaya pemenuhan hak-hak korban terorisme.

"UU ini sangat operasional di mana diatur dan ditunjuk pula siapa yang memenuhi hak korban. LPSK siap melakukan mandat ini, apalagi memang sebelumnya kami sudah menangani korban terorisme", ujar Semendawai.

Siap Dukung Implementasi

LPSK juga siap mendukung implementasi UU tersebut sesuai kewenangan yang dimiliki LPSK. LPSK melihat bahwa kedua UU tersebut tidak tumpang tindih, tetapi saling menguatkan.

"Sehingga layanan pemenuhan hak korban terorisme akan semakin optimal," ujar Semendawai.

Selain mempertimbangkan hak korban, dalam UU tersebut juga sudah memperhatikan perlindungan kepada saksi kasus terorisme. Hal itu sejalan dengan amanat yang didapatkan LPSK dari UU Perlindungan Saksi dan Korban.

"Maka UU ini sangat penting dalam mendukung perlindungan kepada saksi dan ahli yang memberikan keterangan untuk kasus terorisme, dan memperkuat layanan kepada korban," Semendawai memungkasi.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya