Mengenal Peradilan Anak Terlibat Pelanggaran Hukum

Peradilan anak berbeda dengan peradilan pidana pada umumnya dengan terdakwa orang dewasa. Apa dan bagaimana prosesnya?

oleh Liputan6.com diperbarui 20 Jul 2018, 10:45 WIB
Diterbitkan 20 Jul 2018, 10:45 WIB
Wali Kota Bogor Bima Arya marah kepada pelajar pelaku tawuran (Liputan6.com/Achmad Sudarno)
Wali Kota Bogor Bima Arya marah kepada pelajar pelaku tawuran (Liputan6.com/Achmad Sudarno)

Liputan6.com, Jakarta - Duduk di kursi tengah sebagai terdakwa, disaksikan majelis hakim, jaksa penuntut umum dan kuasa hukum merupakan situasi menegangkan bagi siapa pun tak terkecuali orang dewasa. Siapa pun yang melanggar hukum, sedianya mendapat hukuman adil dan sesuai menurut hukum.

Sudah tak asing lagi, terdakwa di kursi pesakitan adalah orang dewasa. Namun bukan berarti tindakan pelanggaran hukum hanya dilakukan orang dewasa. Anak berusia di bawah 16 tahun pun tak luput melakukan tindak pidana.

Dalam dunia peradilan, terdapat peradilan anak yang itu sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Proses peradilan tentu berbeda dengan peradilan pidana pada umumnya dengan terdakwa orang dewasa.

Hal mendasar pembeda peradilan anak adalah sebutan kata terdakwa. Di peradilan anak, tidak ada kata terdakwa melainkan pelaku kenakalan anak.

“Di peradilan anak, bukan terdakwa tapi pelaku anak, bukan juga kejahatan anak tapi kenakalan anak,” kata Ketua Pengadilan Negeri Cibinong Klas IA, Lendriaty Janis kepada awak media saat melakukan kunjungan di Pengadilan tersebut bersama EU-UNDP Sustain, Kamis (19/7).

Dari Undang-Undang SPPA peradilan anak lebih menekankan proses diversi. Yakni proses seperti mediasi antara pelaku kenakalan anak dengan korban. Diversi wajib dilakukan terhadap pelaku kenakalan anak yang ancaman hukumannya dibawah tujuh tahun.

“Diversi untuk hukuman di bawah tujuh tahun,” ujarnya.

 

Proses Diversi

Wali Kota Bogor Bima Arya marah kepada pelajar pelaku tawuran (Liputan6.com/Achmad Sudarno)
Wali Kota Bogor Bima Arya marah kepada pelajar pelaku tawuran (Liputan6.com/Achmad Sudarno)

Proses diversi dilakukan di satu ruangan berukuran 3 x 3 meter. Di dalam ruangan diversi terdapat meja bundar dengan beberapa kursi.

Di ruangan tersebut, ujar Lendriaty, berisi pihak kepolisian, penuntut umum, tokoh agama, dan keluarga korban. Di sana pihak berkepentingan mencoba memulihkan keadaan seperti semula, sebelum kenakalan anak terjadi, dengan mencari jalan tengah atas kesepakatan bersama.

Di dalam ruang diversi, terdapat ruang kecil bernama Kaukus. Itu bertujuan jika pendalaman lebih lanjut dilakukan terhadap anak yang menjadi korban.

Dari proses diversi ada yang berhasil dan ada tidak berhasil. Jika diversi berhasil maka perkara tidak perlu dilanjutkan lagi alias tutup buku. Status pelaku kenakalan anak pun tidak berubah sebagaimana sebelum kenakalan terjadi.

“Diversi ini tujuannya menciptakan keadilan. Kalau diversi selesai hakim akan membuat keputusan entah nanti itu ganti rugi atau permohonan maaf atau lainnya. (Pelaku kenakalan anak) tidak ada catatan apa-apa jika diversi berhasil,” ujar Hakim Tira Tirtona yang mendapat sertifikasi sebagai hakim peradilan anak.

Jika diversi berhasil dilakukan, bagaimana diversi yang gagal?

Tira mengatakan, proses peradilan akan berlanjut sebagaimana peradilan pada umumnya. Hanya saja, masa sidang tidak selama seperti peradilan pidana umum orang dewasa.

“Kalau diversi tidak berhasil kita akan balik lagi ke sini (sidang perkara) tapi peradilan anak itu berbeda dengan masa penahanan 10+15 hari. Rata-rata sebelum dua minggu sidang sudah selesai,” ujarnya.

Nuansa peradilan anak juga berbeda seperti peradilan umumnya. Jika pelaku pidana adalah orang dewasa dan korbannya adalah anak-anak dan ia mengalami trauma maka sidang dilakukan dengan teleconference. Teknisnya, majelis hakim, penuntut umum, terdakwa ditemani penasihat hukumnya duduk di ruang sidang, sementara korban berada di ruang terpisah.

Di ruang sidang tersebut ada satu layar yang telah tersambung dengan ruang korban. Sehingga, majelis hakim, terdakwa dan penuntut umum tetap bisa berkomunikasi dengan korban dan melihatnya melalui layar. Sementara si korban hanya bisa berkomunikasi dengan melalui mic yang telah tersambung ke ruang sidang.

“Kita tetap bisa berkomunikasi tapi kita bisa melihat korban sedangkan korban tifak bisa melihat kita,” ujarnya.

Selain proses peradilan yang berbeda, ruang tahanan pelaku kenakalan anak juga dinamakan ruang tunggu anak, didalamnya terdapat rak berisikan beberapa buku cerita dan pelajaran.

Sebagaimana labilnya psikologis, toilet yang berada di dalam ruang tunggu anak diatur sedemikian rupa dengan pintu terbuka sebagian. Hal itu dilakukan sebagai antisipasi hal-hal tidak nekat terjadi.

“Ini pintu bagian atas dan bawah sedikit terbuka sengaja begini karena kita takut mungkin pelaku kenakalan anak depresi jalani peradilan lalu dia melakukan hal-hal nekat jadi bisa kita pantau,” ujar Humas PN Cibinong Kelas IA, Bambang.

 

Reporter: Yunita 

Saksikan tayangan video menarik berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya