Survei: HAM di Indonesia Tumbuh Tanpa Hak Kebebasan Individu

Peneliti Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) menemukan adanya timpang pengetahuan dan sikap soal HAM di Indonesia.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 20 Jan 2019, 16:41 WIB
Diterbitkan 20 Jan 2019, 16:41 WIB
Peneliti Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) menemukan adanya timpang pengetahuan dan sikap soal HAM di Indonesia. (Liputan6.com/Nanda Perdana)
Peneliti Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) menemukan adanya timpang pengetahuan dan sikap soal HAM di Indonesia. (Liputan6.com/Nanda Perdana)

Liputan6.com, Jakarta - Kultur Hak Asasi Manusia (HAM) di masyarakat Indonesia mendapat perhatian dari peneliti Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D). Lewat survei, mereka menemukan adanya timpang pengetahuan dan sikap soal HAM.

Peneliti P2D sekaligus Dosen Sosiologi UNJ, Robertus Robet mengungkap tingkat kognitif atau pengetahuan masyarakat Indonesia tentang pengertian HAM terbilang tinggi.

"79 persen tahu apa itu HAM. Kalau kita lihat apakah dalam konstitusi kita sudah mengakomodasi HAM? 72 persen mengatakan sudah. Artinya ada pengetahuan minimal. Apakah menjamin HAM warga merupakan tugas negara? 91 persen menjawab iya. Artinya kesadaran individu soal HAM kuat," tutur Robet di Cikini, Jakarta Pusat, Minggu (20/1/2019).

Dari tiga poin mendasar itu, 46 persen responden pun menyatakan bahwa HAM telah sejalan dengan tradisi kebiasaan di lingkungannya dan 41 persen menjawab agak sesuai.

Masuk ke ranah agama pun dominan. 53 persen responden menyatakan bahwa HAM memiliki kesesuaian dengan agama yang dianut dan 36 persen menyebut agak sesuai.

"Artinya hampir 90 persen cenderung mengatakan sesuai. Apakah HAM sesuai dengan budaya Indonesia, 47 persen menjawab sesuai dan 43 persen agak sesuai," jelas dia.

Namun, 63 persen responden tidak mengetahui soal mekanisme yang tersedia untuk menjamin HAM mereka. Masyarakat banyak tahu soal keberadaan instansi Komnas HAM, tetapi tidak mengetahui fungsinya.

"62 persen tahu, 38 persen tidak. Apakah tahu tugas Komnas HAM? 85 persen tidak dan hanya 15 persen yang tahu," kata Robert.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Isu LGBT

Lebih lanjut, temuan persepsi HAM itu menjadi tidak simetris dengan sensibilitas masyarakat terhadap isu HAM yang kerap menjadi perdebatan publik. Soal kelompok Lesbian, Gay, Transgender, Biseksual (LGBT) misalnya yang masih mendapat resistensi yang tinggi.

Sebanyak 51 persen responden tidak setuju dan 22 persen kurang setuju dengan keberadaan LGBT di lingkungannya. 77 persen pun menolak HAM mengakomodir kelompok LGBT. Kemudian soal hukuman mati, 31 persen responden setuju dan 31 persen menyatakan agak setuju dengan pemberlakuannya.

Padahal, saat ditanya apa saja yang masuk dalam kategori HAM, 43 persen menjawab hak untuk hidup. 22 persen menjawab kebebasan memilih keyakinan dan agama, kesamaan di hadapan pemerintah dan hukum, mendapatkan pendidikan yang layak.

20 persen responden menjawab kebebasan menyatakan pendapat, mendapat kesehatan yang baik, dan tidak diperlakukan diskriminatif. 15 persen merupakan hak berserikat dan berkumpul.

"Jadi mayoritas kita tahu apa itu HAM, apa itu hak hidup, tapi secara paradoktikal juga setuju hukuman mati," bebernya.

 

Perbedaan Agama

Pertanyaan juga menyasar ke isu perbedaan agama. 50 persen setuju dan 36 persen agak setuju di lingkungannya ada beragam pemeluk agama dan keyakinan. Juga 41 persen setuju dan 36 persen agak setuju dengan pendiriam rumah ibadah agama apapun.

"Tapi kalau sudah menyangkut tubuh berbeda. Soal pernikahan beda agama, 70 persen tidak setuju. Kemudian apakah setuju negara memberi konpensasi korban pelanggaran HAM masa orde baru, 24 persen setuju dan 34 persen agak setuju," terang Robet.

Dari temuan tersebut, masyararakat Indonesia sebenarnya sadar bahwa HAM itu penting, dijamin oleh negara, tahu keberadaan instansi Komnas HAM meski tidak detail paham fungsinya. Namun mereka menolak hal yang dijamin oleh HAM itu sendiri yaitu kebebasan individu.

"Di Indonesia tumbuh situasi unik di mana HAM tumbuh tanpa liberalisme politik, tanpa hak kebebasan individu. Jadi HAM kita itu tumbuh dalam gagasan berkembang, akademik hadir, tapi dia tumbuh tanpa pendasaran normatif, tanpa disertai pengakuan hak individual," Robet menandaskan.

Survei tersebut melibatkan 2.040 responden dari 34 Provinsi di Indonesia baik desa maupun perkotaan. Metode yang digunakan adalah stratified random sampling dengan margin of error sebesar 2,3 persen di tingkat konfiden 95 persen.

Survei itu dilakukan selama bulan Oktober 2018 dengan tiga indikator dasar yaitu pemahaman atau kognisi, sensibilitas atau kepekaan nurani, dan tindakan atau modus. Wawancara yang digunakan tatap muka dengan mendatangi tiap rumah dan pertanyaan langsung dibacakan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya