Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan nama-nama calon anggota legislatif eks napi kasus korupsi. Jumlahnya ada 49 orang, terdiri atas caleg DPRD dan DPD.Â
Ketua KPU Arief Budiman mengungkapkan, pemberitahuan nama-nama caleg mantan koruptor tersebut sudah sesuai dengan aturan yang berlaku.
Baca Juga
"Ketentuan Pasal 182 dan Pasal 240 UU Nomor 7 Tahun 2017 mensyaratkan calon legislatif dengan status mantan terpidana untuk mengumumkan statusnya secara terbuka kepada publik," kata Arief di Gedung KPU RI, Rabu (30/1/2019) malam.
Advertisement
Salah satu nama yang muncul adalah Muhammad Taufik, caleg DPRD DKI Jakarta dari Partai Gerindra.
Taufik diketahui pernah tersandung kasus korupsi saat menjabat Ketua KPU DKI Jakarta. Ia divonis 18 bulan penjara pada 27 April 2004 karena merugikan negara Rp 488 juta dalam kasus korupsi pengadaan barang dan alat peraga Pemilu 2004.
Saat dihubungi sebelum daftar tersebut dirilis, dia menanggapi negatif rencana pengumuman dari KPU.
Menurut dia, KPU harusnya lebih fokus pada hal lain, seperti masalah debat capres ketimbang mengumumkan nama caleg eks koruptor.
"Lebay KPU. Enggak perlu lah gitu. Urusin saja DPT, urusin debat. (Calegnya) sudah umumin sendiri-sendiri, jadi KPU fokus saja dengan program ke depan," ujar Taufik saat dihubungi Liputan6.com, Rabu (30/1/2019).
Apalagi, lanjut dia, tanpa dilakukan oleh KPU pun, pihaknya sejak dulu sudah mengumumkan kepada publik tentang rekam jejaknya di dunia politik. Ditambah, dia sangat meyakini komitmen partai dan Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto terhadap pemberantasan korupsi.
"Kuat dong komitmennya. Gerindra sendiri yang minta KPK diperkuat. Pak Prabowo bilang sendiri dalam debat lho," tambah Taufik.
Suara berbeda datang dari Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo. Dia mengatakan, dengan adanya pengumuman ini, dia berharap pemilih bisa mengambil sikap dalam Pemilu 2019 mendatang.
"Berharap pemilih tidak memilih yang bersangkutan (caleg eks koruptor)," ujar Agus saat dihubungi Liputan6.com, Rabu siang.
Di tempat terpisah, Sekretaris Jenderal Partai Golkar Lodewijk Freidrich Paulus juga menanggapi positif langkah yang diambil KPU. Dia melihat, apa yang dilakukan KPU semata-mata untuk mencegah dan memberantas perilaku korupsi.
"Saya pikir langkah yang dilakukan KPU ini adalah upaya pencegahan dari korupsi. Kita harus apresiasi dan hargai sebagai langkah dan tindakan yang baik," ujar Lodewijk saat ditemui Liputan6.com di Kantor DPP Partai Golkar, Jakarta Barat, Rabu siang.
Dia tak menampik, Partai Golkar juga masuk dalam daftar parpol yang mengusung caleg eks koruptor. Namun, para caleg itu semuanya dicalonkan untuk tingkat DPRD serta berdomisili di daerah, sehingga luput dari perhatian pengurus pusat.
"Karena (caleg) kabupaten dan kota di luar kontrol DPP. Kami tak bisa kontrol karena tak bisa intervensi Sistem Informasi Pencalonan (Silon) yang dibuat KPU," jelas Lodewijk.
Untuk meminimalisir masuknya caleg eks koruptor, lanjut dia, DPP Partai Golkar sebenarnya sudah memperketat persyaratan seorang caleg untuk maju dari partai berlambang pohon beringin itu. Namun, cara itu tetap saja bisa diakali oleh caleg bersangkutan.
"Yang kami bisa adalah membuat aturan untuk caleg provinsi. Kami sampaikan harus mendapat legalisir dari DPP. Namun, ada celah-celah yang dimanfaatkan orang karena tidak cukup data," jelas Lodewijk.
Terlepas dari semua itu, ujar dia, Golkar pada dasarnya sepakat dengan langkah yang diambil KPU dalam hal komitmen pemberantasan korupsi. Buktinya, lanjut dia, Golkar punya pakta integritas dengan seluruh caleg, termasuk pengurus.
"Kedua, kami sebagai partai satu-satunya yang membuat surat edaran di Fraksi DPR RI, dilarang korupsi, termasuk dalam mengelola keuangan, itu hanya Partai Golkar. Ketiga, Golkar punya tagline, 'Bersih Maju dan Menang'. Jadi, kita mendukung (KPU) sepenuhnya," tegas Lodewijk.
Sementara itu, Direktur Populi Center Usep S Ahyar menyayangkan langkah KPU yang dinilainya terlambat. Menurut dia, pengumuman ke publik harusnya dilakukan saat awal masa pendaftaran caleg ke KPU.
"Caleg eks koruptor seharusnya dari awal diumumkan. Keputusan soal ini bisa dibilang terlambat karena menurut saya enggak akan banyak berpengaruh juga. Harusnya di awal awal saat mendaftar pencalegan," jelas Usep saat dihubungi Liputan6.com, Rabu petang.
Karena pengumuman dilakukan menjelang digelarnya Pemilu 2019, dia melihat apa yang dilakukan KPU akan dilihat dengan cara berbeda, bukan lagi sekadar komitmen untuk pemberantasan korupsi.
"Kalau sekarang malah dicurigai bahwa ini ada kepentingan partai tertentu atau ada kepentingan kubu tertentu di Pilpres 2019 untuk meningkatkam elektabilitas dan seterusnya," papar Usep.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Dampak untuk Parpol
Tak kurang dari Wakil Presiden Jusuf Kalla dan Ketua DPR Bambang Soesatyo memberikan dukungannya atas langkah Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan nama-nama caleg eks koruptor ke publik.
Menurut JK, dengan pengumuman itu berarti KPU telah menepati janji untuk menandai siapa saja caleg yang pernah tercatat terjerat korupsi. Selain itu, dia menilai hal tersebut sangat efektif untuk pemilih sebelum menentukan pilihan di Pemilu 2019.
"Itu janji KPU juga (mengumumkan nama caleg eks koruptor). Jadi dalam pemilu kan semua memilih yang terbaik, karena terpidana tentu ada catatannya. Tinggal masyarakat memilih atau tidak," kata JK di Kantornya, Jalan Medan Merdeka Utara, Selasa 29 Januari 2019.
Banmbang Soesatyo yang karib disapa Bamsoet bersuara senada. Dia menegaskan, mengumumkan nama-nama caleg eks koruptor itu sudah menjadi domain KPU sebagai penyelenggara pemilu.
"Silakan saja, itu adalah kewenangan dari penyelenggara pemilu," kata Bamsoet di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta.
Namun, apakah langkah KPU ini akan berdampak pada pemilih di Pemilu 2019, yang akan terlihat pada menurunnya elektabilitas parpol yang mengusung caleg tersebut? Direktur Populi Center Usep S Ahyar meragukan itu.
"Kalau untuk pemilih, tidak akan terlalu berdampak, karena ini sudah di tengah-tengah (jelang pemilu), sudah tidak terlalu signifikan untuk berpindah ke partai lain," jelas Usep.
Dia beralasan, sebenarnya publik sudah tahu tentang keberadaan caleg eks koruptor dan partai mana saja yang mengusung mereka. Apalagi kalau caleg itu ada di dapilnya, dipastikan publik sekitar mengetahui rekam jejak yang bersangkutan.
"Mungkin saja kalau ada pergeseran kecil di antara caleg di internal partai itu, tapi kalau pergerakan partai-partai saya kira enggak, karena masyarakat itu memahami bahwa tidak ada partai yang bersih dari korupsi, hanya levelnya saja yang berbeda," ujar Usep.
Dia beralasan, dari sejumlah survei tentang korupsi, disebutkan yang paling banyak terjadi di lembaga DPR. Otomatis publik akan mengaitkan hal ini dengan parpol, karena DPR diisi oleh politisi yang berasal dari beragam parpol.
"Jadi masyarakat itu mayoritas memandang parpol enggak ada yang bersih. Diumumkan seperti apa pun paling dianggap publik sudah biasa," tegas Usep.
Bahkan, lanjut dia, parpol yang menurut data KPU tidak mengusung caleg eks koruptor pun belum tentu akan dianggap sebagai partai yang bersih. Pengalaman menunjukkan, janji parpol saat kampanye kerap berbeda dengan kenyataan setelah pemilu.
"Pemahaman soal korupsi ini juga tidak lepas dari sejarah masa lalu, bahwa ada partai baru yang mengusung tagline antikorupsi dan tolak korupsi, ketika telah berkuasa ya korupsi juga. Ini agak susah memulihkan dari pemikiran masyrakat, butuh bertahun-tahun untuk membersihkan parpol dari koruptor," papar Usep.
Karena itu, dia mengaku heran parpol tetap memaksakan diri mengajukan caleg eks koruptor kendati menyatakan sebagai parpol yang antikorupsi. Ketika ditanyakan apakah hal itu disebabkan kaderisasi yang tak lancar atau adanya utang budi parpol terhadap caleg bersangkutan, dia membenarkan.
"Itu dua-duanya saya kira, terutama kaderisinya yang mandek. Banyak pencalonan di beberpa daerah yang diambil justru bukan dari internal partai, tapi dari luar partai dengan alasan kader partai yang diajukan elektabilitasnya kurang memadai," jelas Usep.
Yang jelas, menurut dia, rekrutmen caleg yang dilakukan parpol selama ini memang kurang bagus. Bisa jadi karena melihat pada besarnya pendanaan dari seseorang atau karena kedekatan sang caleg dengan pengurus partai yang oligarkis.
"Banyak rekrutmen dilakukan tertutup dengan syarat yang lebih banyak menyoal ketersediaan logistik dari masing-masing calon, sementara para koruptor itu umumnya punya uang," papar Usep.
Namun, apakah parpol yang memiliki kader atau caleg yang terjerat korupsi dipastikan bakal merosot elektabilitasnya, dia tak bisa memastikan.
"Golkar dan PDIP itu kadernya banyak yang terjerat korupsi, tapi elektabilitasnya biasa saja. Beda dengan PKS dan Partai Demokrat, ketika kadernya terlibat korupsi, elektabilitas langsung turun. Jadi itu tergantung pada momentum dan posisi kader itu di partainya," pungkas Usep.
Advertisement
Caleg Eks Koruptor Versi ICW dan KPU
Berikut daftar nama 49 caleg eks koruptor versi KPU:
Partai Golkar
1. Hamid Usman (Caleg DPRD Provinsi Maluku Utara. Dapil Maluku Utara 3, nomor urut 1)
2. Desy Yusnandi (Caleg DPRD Provinsi Banten. Dapil Banten 6, nomor urut 4)
3. H. Agus Mulyadi (Caleg DPRD Provinsi Banten. Dapil Banten 9, nomor urut 5)
4. Petrus Nauw (Caleg DPRD Provinsi Papua Barat. Dapil Papua Barat 2, nomor urut 12)
5. Heri Baelanu (Caleg DPRD Kabupaten Pandeglang. Dapil Pandeglang 1, nomor urut 9)
6. Dede Widarso (Caleg DPRD Kabupaten Pandeglang. Dapil Pandeglang 5, nomor urut 8)
7. Saiful T Lami (Caleg DPRD Kabupaten Tojo Una Una. Dapil Tojo Una Una 1, nomor urut 12)
8. Edy Muldison (Caleg Kabupaten Blitar. Dapil Blitar 4, nomor urut 1)
Partai Gerindra
1. Moh Taufik (Caleg DPRD Provinsi DKI Jakarta. Dapil DKI 3, nomor urut 1)
2. Herry Jones Johny Kereh (Caleg DPRD Provinsi Sulawesi Utara. Dapil Sulawesi Utara 1, nomor urut 2)
3. Husen Kausaha (Caleg DPRD Kabupaten Belitung Timur. Dapil Maluku Utara 4, nomor urut 2)
4. Ferizal (Caleg DPRD Kabupaten Belitung Timur. Dapil Belitung Timur 1, nomor urut 1)
5. Mirhammuddin (Caleg DPRD Kabupaten Belitung Timur. Dapil Belitung Timur 2, nomor urut 1)
6. Hi.Al Hajar Syahyan (Caleg DPRD Kabupaten Tanggamus. Dapil Tanggamus 4, nomor urut 1)
Partai Berkarya
1. Mieke L Nangka (DPRD Provinsi Sulawesi Utara 2 Nomor urut 4)‎
2. ‎Arief Armain (DPRD Provinsi Maluku Utara 4 nomor urut 1)‎
3. Yohanes Marinus Kota (DPRD‎ Kabupaten Endi 1 nomor urut 1).
4. Andi Muttarmar Mattotorang (DPRD Kabupaten Bulukumba 3 nomor urut 9‎)
Partai Hanura
1. Welhemus Tahalele (DPRD Provinsi Maluki Utara 3, nomor urut 2)
2. Mudasir (DPRD Provinsi Jawa Tengah 4 nomor urut 1)‎
3. Akhmad Ibrahim (DPRD Provinsi Maluku Utara 3 nomor urut 5)‎
4. YHM Warsit (DPRD Kabupaten Blora 3 nomor urut 1)
5. Moh. Nur Hasan (DPRD Kabupaten Rembang 4 nomor urut 1)
‎Partai Demokrat
1. Jones Khan, (DPRD Kota Pagar Alam 3, Nomor urut 1)
2. Jhony Husban, (DPRD Kota Cilegon 1, Nomor urut 4)
3. Syamsudin, (DPRD Kabupaten Lombok Tengah 5, Nomor 6)
4. Darmawati Dareho, (DPRD Kota Manado 4, Nomor 1)
PDI Perjuangan
1. Abner Reinal Jitmau, (DPRD Prov Papua Barat 2, Nomor urut 12)
Partai Keadilan Sejahtera
2. Maksum DG Mannassa, (DPRD Kab/Mamuju 2, Nomor urut 2)
Partai Bulan Bintang
1. Nasrullah Hamka, (DPRD Prov Jambi 1, Nomor urut 10)
Partai Garuda
1. Ariston Moho. (DPRD Kabupaten Nias Selatan. Dapil Nias Selatan 1/Nomor urut 3)
2. Yulius Dakhi. (DPRD Kabupaten Nias Selatan. Dapil Nias Selatan 1/Nomoro urut 1)
Partai Perindo
1. Smuel Buntuang (Caleg DPRD Provinsi Gorontalo. Dapil Gorontalo 6/ Nomor urut 1)
2. Zulfikri (DPRD Kota Pagar Alam 2. Dapil Kota Pagar Alam, nomor urut 1)
PKPI
1. Joni Kornelius Tondok. (Caleg DPRD Kabupaten Toraja Utara. Dapil Toraja Utara 4/ No. 1)
2. Mathius Tungka (Caleg DPRD Kabupaten Poso. Dapil Poso 3/ Nomor urut 2)
PAN
1. Abdul Fattah (DPRD Provinsi Jambi. Dapil Jambi 2/ Nomor urut 1)
2. Masri (DPRD Kabupaten Belitung Timur. Dapil Belitung Timur 1/ Nomor urut 2)3. Muhammad Afrizal (DPRD Kabupaten Lingga. Dapil Lingga 3 / Nomor urut 1)4. Bahri Syamsu Arief (DPRD Kota Cilegon. Dapil Kota Cilegon 2/ Nomor urut 1)
DPD
1. DPD Provinsi Aceh, Abdullah Puteh Nomor 21
2. DPD Provinsi Sumatera Utara, Abdillah Nomor 39
3. DPD Provinsi Bangka Belitung, Hamzah Nomor 35
4. DPD Provinsi Sumatera Selatan, Lucianty Nomor 41
5. DPD Kalimantan Tengah, Ririn Rosyana Nomor 41
6. DPD Sulawesi Tenggara, La Ode Bariun Nomor 68
7. DPD Provinsi Sulawesi Tenggara, Masyhur Masie Abunawas Nomor 69
8. DPD Provinsi Sulawesi Tenggara, A Yani Muluk Nomor 67
9. DPD Provinsi Sulawesi Utara, Syachrial Kui Damapolii Nomor 40.
Sebelumnya, dalam daftar nama yang dirilis Indonesia Corruption Watch (ICW), terdapat 11 partai politik yang mengusung caleg eks koruptor.
Berikut adalah daftar versi ICW yang dirilis pada 5 Januari 2019:
1. Partai Golkar
Hamid Usman (DPRD Maluku Utara)
Desy Yusandi (DPRD Banten)
Agus Mulyadi R (DPRD Banten)
Heri Baelanu (DPRD Pandeglang)
Dede Widarso (DPRD Pandeglang)
Saiful T Lami (DPRD Tojo Una-Una)
Edy Muklison (DPRD Blitar)
2. Partai Gerindra
Mohamad Taufik (DPRD DKI Jakarta)
Herry Jones Kere (DPRD Sulawesi Utara)
Husen Kausaha (DPRD Maluku Utara)
Al Hajar Syahyan (DPRD Tanggamus)
Ferizal (DPRD Belitung Timur)
Mirhammuddin (DPRD Belitung Timur)
3. Partai Hanura
Midasir (DPRD Jawa Tengah)
Welhelmus Tahalele (DPRD Maluku Utara)
Akhmad Ibrahim (DPRD Maluku Utara)
Warsit (DPRD Blora)
Moh Nur Hasan (DPRD Rembang)
4. Partai Amanat Nasional
Abdul Fattah (DPRD Jambi)
Masri (DPRD Belitung Timur)
Muhammad Afrizal (DPRD Lingga)
Bahri Syamsu Arief (DPRD Cilegon)
5. Partai Demokrat
Jones Khan (DPRD Pagar Alam)
Jhony Husban (DPRD Cilegon)
Syamsudin (DPRD Lombok Tengah)
Darmawaty Dareho (DPRD Manado)
6. Partai Berkarya
Meike Nangka (DPRD Sulawesi Utara)
Arief Armaiyn (DPRD Maluku Utara)
Yohanes Marianus Koa (DPRD Ende)
7. Partai Perindo
Samuel Buntuang (DPRD Gorontalo)Zukfikri (DPRD Pagar Alam)
8. Partai Garuda
Yulius Dakhi (DPRD Nias Selatan)
Ariston Moho (DPRD Nias Selatan)
9. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
Matius Tungka (DPRD Poso)
Joni Cornelius Tondok (DPRD Toraja Utara)
10. Partai Bulan Bintang
Nasrullah Hamka (DPRD Jambi)
11. Partai Keadilan Sejahtera
Maksum DG Mannassa (DPRD Mamuju)