Liputan6.com, Jakarta - Mantan Menteri Sosial, Idrus Marham, menjalani sidang lanjutan dengan agenda pembacaan pleidoi di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat, Kamis (28/3/2019). Idrus menyerahkan nota pleidoi setebal 85 halaman.
Namun, saat tengah menyampaikan pleidoi, Idrus ditegur Ketua Majelis Hakim, Yanto. Pasalnya, apa yang disampaikan Idrus di depan persidangan tak sesuai dengan teks dalam nota pleidoi yang telah diserahkan kepada hakim.
Baca Juga
Yanto menyampaikan, pleidoi yang dibacakan harus sesuai dengan yang telah tertulis. Karena jika apa yang disampaikan secara lisan tak akan bisa dijadikan pertimbangan majelis hakim.
Advertisement
Dalam penyampaiannya, Idrus Marham memaparkan berbagai prestasinya selama menduduki berbagai jabatan di organisasi maupun pemerintahan. Dia juga menceritakan kisah hidupnya yang datang dari sebuah kampung di Sulawesi Selatan.
"Jadi, kita tetap berpegangan pada yang ini (nota pleidoi). (Bacanya) yang (sudah) tertulis saja. Jadi, nanti yang seperti terdakwa sampaikan tadi, 'Saya sebagai menteri pola kerjanya seperti ini, ini, ini' kan disampaikan lisan. Tatkala nanti enggak ada di pertimbangan kita, jangan kemudian ditanya ke mana hilangnya karena itu enggak tertulis di sini (nota pleidoi)," jelas Yanto.
Dalam kesempatan itu, Idrus Marham hanya membaca sebagian isi atau inti pleidoinya dalam bab per bab. Kemudian dia melanjutkan dengan memberikan keterangan secara lisan. Keterangan secara lisan itu tak tertulis di dalam nota pleidoi.
"Penjabarannya kan enggak ada di sini (nota pleidoi). Jangan sampai komplain di kemudian hari, yang saya jabarkan mana kok enggak ada. Sementara yang dipegang yang ini. Sepakat ya. Jadi, pleidoi bapak yang di sini ya," jelas Yanto.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Tak Dicatat
Dalam hukum acara, seharusnya dalam penyampaian pleidoi hanya membaca apa yang telah tertuang dalam nota pleidoi yang telah diserahkan kepada majelis hakim. Karena dalam nota tertulis itulah yang akan dijadikan pertimbangan. Sementara dalam agenda penyampaian pleidoi, tak ada agenda mencatat keterangan terdakwa.
"Di sini acaranya pleidoi, tertulis. Jadi enggak ada catat-mencatat lagi di sini. Kalau mau ditambahkan, ditulis saja di sini (dalam nota pleidoi)," ujarnya.
"Kalau mau ditambahkan boleh, silakan ditulis," pungkas Yanto.
Idrus Marham terjerat perkara korupsi Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang (PLTU MT) Riau-1. Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (JPU KPK) sebelumnya menuntut Idrus hukuman lima tahun penjara dan denda Rp 300 juta subsider empat bulan kurungan.
Idrus bersama mantan Wakil Ketua Komisi VII Eni Maulani Saragih diyakini menerima hadiah berupa uang total Rp 2,250 miliar dalam perkara suap proyek PLTU Riau-1. Uang itu diduga mengalir ke musyawarah nasional luar biasa (Munaslub) Partai Golkar 2017.
Uang suap itu diduga diberikan agar bos Blackgold Natural Resources Limited, Johannes Budisutrisno Kotjo, mendapat proyek Independent Power Producer (IPP) PLTU MT Riau-1. Proyek tersebut rencananya akan dikerjakan PT Pembangkitan Jawa Bali Investasi (PT PJBI), Blackgold Natural Resources dan China Huadian Engineering Company Ltd, perusahaan yang dibawa oleh Kotjo.
Perbuatan Idrus dinilai melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Reporter: Hari Ariyanti
Advertisement