Jejak Pemilu Serentak 2019, Keputusan Efisiensi Berujung Tragedi

Pelaksanaan pemilu secara serentak diputuskan Mahkamah Konstitusi pada Januari 2014 atas permohonan Koalisi Masyarakat Sipil.

oleh Liputan6.com diperbarui 26 Apr 2019, 08:32 WIB
Diterbitkan 26 Apr 2019, 08:32 WIB
Simulasi Pemilu 2019
Warga memasukkan jarinya ke dalam botol berisi tinta saat simulasi pemungutan dan pencoblosan surat suara Pemilu 2019 di Taman Suropati, Jakarta, Rabu (10/4). Simulasi dilakukan untuk meminimalisir kesalahan dan kekurangan saat pencoblosan pemilu pada 17 April nanti. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta - Pelaksanaan pemilu secara serentak diputuskan Mahkamah Konstitusi pada Januari 2014 atas permohonan dari Koalisi Masyarakat Sipil. Pada saat itu diputuskan pelaksanaan Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) digelar serentak mulai 2019.

Pada 2014, Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden (Pilpres) dilaksanakan secara terpisah. Pelaksanaan pemilu secara terpisah itu dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD).

Pelaksanaan Pilpres yang kala itu dilakukan setelah Pileg dinyatakan tidak sesuai dengan semangat UUD 1945 dan makna pemilihan umum yang dimaksud Pasal 22E ayat (1), (2) dan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945.

Atas dasar itu, Perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil, Effendi Gazali, menyatakan permohonan uji materi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pemilu Serentak terhadap Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (UU Pilpres).

Mahkamah Konstitusi (MK) kemudian mengabulkan permohonan itu dan menyatakan penyelenggaraan Pileg dan Pilpres secara serentak mulai diberlakukan pada 2019, bukan pada 2014. Sebab saat itu keputusan Pemilu Serentak dibuat saat menjelang Pemilu 2014, sehingga tidak memungkinkan untuk dilaksanakan secara bersama.

Menurut Mahkamah, apabila putusan MK langsung diterapkan setelah putusan diucapkan, tahapan Pemilu 2014 yang saat itu telah dan sedang berjalan akan terganggu atau terhambat dan akan kehilangan dasar hukum.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Keuntungan Pemilu Serentak

TPS di Kota Banda Aceh
Seorang warga berada di bilik suara saat pemungutan suara ulang pemilu 2019 di TPS-6 Desa Lamteumen Timur, Banda Aceh, Aceh, Kamis (25/4). Pemungutan suara ulang karena adanya penggunaan formulir C6 pemilih yang telah meninggal dunia pada pemilu 17 April lalu. (CHAIDEER MAHYUDDIN/AFP)

Berdasarkan keputusan tersebut, ada keuntungan-keuntungan yang didapat dengan menyelenggarakan pemilu secara serentak. Anggota Komisi III DPR Trimedya Panjaitan mengungkap salah satu keuntungannya, yakni untuk mengefisiensikan sejumlah hal, baik dari sisi anggaran maupun waktu.

"Spirit-nya kan mereka berpikir bahwa untuk efisiensi, maka pileg dan pilpres disatukan," ujar Trimedya di Gedung MK, Jakarta, Kamis, 23 Januari 2014.

Selain efisiensi, ada keuntungan lain dari pemilu serentak seperti yang diungkapkan Pakar Psikologi Politik Universitas Indonesia, Hamdi Muluk. Dengan sistem penyelenggaran pemilu 2014 lalu, presiden selalu "tersandera" dengan koalisi yang dibangun dalam dukungan saat pencalonannya.

Karena itu, lanjut Trimedya, dengan pemilu serentak, maka sisi presidensial akan diperkuat. Sehingga "penyanderaan" presiden terhadap koalisi tak lagi terjadi.

"Sistem presidensial itu harus diperkuat. Dan selama ini presiden selalu 'tersandera' koalisi," ujarnya.

Sejalan dengan pernyataan Trimedya, pengamat politik Ray Rangkuti juga melihat banyak keuntungan pelaksanaan pemilu serentak. Keuntungan yang utama adalah efesiensi dana pelaksanaan pemilu, menjaga psikologi pemilih, hingga meminimalisasi kemungkinan konflik sosial akibat ketegangan politik berkepanjangan.

"Ini implikasi langsung dari pelaksanaan pemilu serentak," kata Ray, 23 Januari 2014 .

Selain itu, kata Ray, ada implikasi lain yang tak kalah pentingnya yakni adanya perubahan kultur demokrasi yang terbangun. Setidaknya, kultur koalisi parpol yang selama ini didasarkan terhadap alasan prgamatis dan temporal. Dengan pemilu serentak, perlahan koalisi akan menuju ke arah koalisi parmanen.

 

Korban Jiwa

Jokowi Unggul di TPS Kolong Tol Kawasan Penjaringan
Petugas memeriksa surat suara Pemilu 2019 saat penghitungan di kawasan Penjaringan, Jakarta Utara, Rabu (17/4). Pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo atau Jokowi-Ma'ruf Amin unggul di TPS kolong tol kawasan Penjaringan. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Setelah keputusan yang dibuat tahun 2014 lalu, pelaksanaan Pemilu 2019 akhirnya dilakukan secara serentak dengan memilih lima pemimpin sekaligus, yakni Presiden dan Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota.

Pada eksekusinya, Pemilu Serentak 2019 memang mencapai beberapa keuntungan yang diprediksi sebelumnya. Namun ditemukan sejumlah tragedi yang bertentangan dari sisi kemanusiaan.

Pelaksanaan Pemilu 2019 dinilai terlalu berat hingga menyebabkan sejumlah pihak sakit hingga meninggal setelah bertugas. Terhitung hingga 25 April 2019, pihak yang gugur meliputi 144 Petugas KPPS, 33 Pengawas Pemilu, dan 16 Polisi.

Banyaknya surat suara yang harus dicoblos memakan banyak waktu dalam proses penghitungan sehingga membuat petugas kelelahan. Apalagi jumlah partai politik dan jumlah calon legislatif mencapai puluhan hingga ratusan.

Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini menyarankan agar penyelenggaraan pilpres dan pileg kembali dipisah. Sebab, pemilu serentak dinilai memberikan banyak beban kepada penyelenggara pemilu.

"Ternyata betul, meski KPU telah melakukan sejumlah langkah untuk mendistribusi beban kerja, tetap saja penyelenggaraan, pemungutan suara, dan penghitungan jadi beban yang amat berat bagi petugas dilakukan," ungkap Titi Minggu 21 April 2019.

Selain itu, Titi juga mengingatkan pentingnya penggunaan rekapitulasi suara secara online. Menurutnya, rekapitulasi secara online bisa meringankan beban menulis para petugas teknis di tempat pemungutan suara (TPS).

"Dari penelusuran di lapangan, ternyata kelelahan itu tidak hanya dipicu oleh beban penyelenggaraan pemungutan suara yang sudah berat. Tapi ada juga kontribusi problematika logistik yang mereka hadapi," ucapnya.

Kasus lainnya yang ditemukan adalah keterlambatan dan kekurangan logistik. Sehingga, menguras energi para petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).

"Misalnya beberapa logstik datang terlambat lalu kemudian kurang, itu kan menambah energi dan beban untuk para petugas KPPS. Jadi ini uang harus dievaluasi dan dikoreksi ke depan," tambah Titi.

 

Pemilu 2019 Harus dievaluasi

Dua TPS di Tangerang Selatan Lakukan Pencoblosan Ulang
Warga memasukkan surat suara saat pemungutan ulang Pemilu 2019 di TPS 71 Kelurahan Cempaka Putih, Kecamatan Ciputat Timur, Tangerang Selatan, Rabu (24/4). Pencoblosan ulang dilakukan lantaran ditemukannya pelanggaran oleh Bawaslu saat pemilu serentak pada 17 April 2019 lalu (merdeka.com/Arie Basuki)

Ahli Hukum Tata Negara Mahfud Md berharap Presiden Indonesia yang terpilih nanti segera merevisi Undang-Undang Pemilu. Menurutnya, banyak sekali hal yang perlu dievaluasi dari Pemilu 2019.

"Siapa pun presidennya, apakah itu Pak Prabowo atau Pak Jokowi, itu pada bulan Oktober membuat Prolegnas (Program Legislasi Nasional). Saya minta, tahun pertama kami akan minta agar segera mengevaluasi dan merevisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, karena banyak hal yang harus ditinjau," ujar Mahfud di gedung KPU, Rabu, 24 April 2019 2019.

Melihat kejadian banyaknya petugas KPPS meninggal dunia karena kelelahan, Mahfud menyebutkan UU Pemilu saat ini masih banyak harus dikoreksi.

"Harus ditinjau lagi yang dimaksud pemilu serentak itu apa sih? Apakah harus harinya sama? Atau petugas lapangan harus sama, sehingga tidak bisa berbagi beban? Atau bagaimana? Itu kita evaluasi lagi. Ataukah harinya bisa dipisah, atau panitia di tingkat lokal, panitianya bisa dipisah, tetapi dengan kontrol yang ketat," jelasnya.

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) itu juga meminta presiden terpilih segera mengatur sistem pemilu yang lebih sehat.

"Sistem pemilu itu apakah mau proporsional terbuka atau tertutup, gitu. Karena ini menjadi masalah, menjadi yang sekarang ini, di mana sistem mencoblos nama dan partai itu jual-beli suara di internal partai banyak terjadi. Itu dilakukan di antara mereka sendiri saling jual-beli begitu, dan itu tidak sehat bagi demokrasi kita," ujarnya.

Sementara itu, terkait peraturan pemilu presidential threshold sebesar 20 persen, Mahfud menilai syarat 20 persen perlu dikaji ulang. Ia menilai angka itu terlalu tinggi.

"Perlu dipikirkan UU pemilihan berikutnya tentang presidential threshold. Saya setuju threshold harus ada, tapi apa harus 20 persen? Nah, itu perlu ditinjau melihat pengalaman sekarang, polarisasinya begitu tajam dan panas," katanya.

 

Reporter: Dewi Larasati

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya