Liputan6.com, Jakarta - Empat kepala daerah yang digadang-gadang menjadi lokasi Ibu Kota baru diundang ke Istana Kepresidenan untuk menjelaskan keunggulan wilayahnya masing-masing. Mereka berdiskusi bersama Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro.
Keempatnya yakni Gubernur Sulawesi Barat (Sulbar) Ali Baal Masdar, Gubernur Kalimantan Selatan (Kalsel) Sahbirin Noor, Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng) Sugianto Sabran, dan Gubernur Kalimantan Timur (Kaltim) yang diwakili Kepala Bidang Prasarana Wilayah Bappeda (Kaltim), Yusliando.
Pada kesempatan itu, Gubernur Kalimantan Tengah (Kalteng) Sugianto Sabran mengusulkan tiga daerah di wilayahnya kepada Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk dijadikan Ibu Kota baru.
Advertisement
Tiga daerah itu adalah, Kota Palangka Raya dengan luas area sekitar 66 ribu hektare, Kabupaten Katingan dengan luas area sekitar 120 ribu hektare, dan Kabupaten Gunung Mas dengan luas area sekitar 121 ribu hektare.
"Kita siapkan, saya jawab waktu itu sekitar 300-500 ribu hektare. Kenapa disiapkan 300-500 ribu hektare? Pak menteri tadi menyampaikan bahwa kita butuh cuma 40 ribu hektare (untuk Ibu Kota)," kata Sugianto dalam diskusi media di Kantor Staf Kepresidenan Jakarta, Senin (6/5/2019).
Dia mengaku pernah ditanya Presiden Jokowi soal potensi Kota Palangka Raya sebagai pusat pemerintahan. Namun, saat itu, dia tidak menyarankannya.
"Saya jawab, mohon maaf Pak Presiden, kemungkinan tidak fleksibel lagi karena perkembangan zaman, kelahiran bertambah, perekonomian," tutur Sugianto.
Menurut dia, Kalteng memiliki wilayah yang 1,5 kali lebih luas dari Pulau Jawa sehingga dinilai sangat potensial untuk membangun Ibu Kota baru. Kalteng, lanjut dia, memiliki 11 daerah aliran sungai (DAS) dengan ratusan sungai kecil yang mengalir.
"Ini juga akan menjadi keunggulan dari Ibu Kota pusat pemerintahan kalau betul nanti akan dipercaya Presiden menjadi pusat pemerintahan. Kalau Kalteng diberikan kepercayaan, kami siap intinya," ucap Sugianto.
Selain itu, Sugianto menjamin masalah ketersediaan pangan dan pertahanan tak akan menjadi masalah bila Ibu Kota dipindahkan ke wilayah di Kalteng.
Dia juga menyatakan masyarakat Dayak selalu terbuka apabila nantinya Ibu Kota baru akan berada di wilayah Kalteng.
"Dengan pemindahan itu tentu akan ada pemerataan pembangunan dan ekonomi akan tumbuh. Secara tidak langsung akan datang investor yang biasanya senang ke penduduknya banyak," tutur Sugianto.
Sementara itu, Gubernur Sulawesi Barat Ali Baal Masdar mengatakan, provinsinya sudah menyiapkan lahan untuk pemindahan Ibu Kota ke luar Jakarta, yang tidak merusak ekosistem alam.
"Kalau di Sulbar lokasinya sudah ada, tidak merusak yang lain," kata Ali, di Jakarta, Senin (6/5/2019).
Menurut Ali, pemerintah akan mendorong pembangunan Ibu Kota baru dilakukan dengan cepat dan mudah. "Di sana ya tinggal beli peralatan saja. Di sana berbukit, bergurun tinggal digusur. Beli peralatan saja," ujarnya.
Sekretaris Daerah Provinsi Sulbar Muhammad Idris menambahkan, Sulbar terletak di tengah, sehingga strategis dan memadai untuk menjadi pertimbangan lokasi pemindahan ibu kota negara.
"Kriteria pertama, di tengah. Kalau kita lihat Sulbar di tengah dari timur-barat, utara ke selatan. Kalo kita lihat dari SDA salah satunya adalah bagaiaman degradasi di Jakarta yang ditakutkan dan Sulbar sangat memadai," tutur dia.
Dari sisi kepadatan penduduk, Sulbar ini merupakan daerah kosong dengan jumlah penduduk 1,5 juta untuk 6 Kabupaten.
"Di Kota Mamuju sebagai ibu kota provinsi sekrang ini, jumlah penduduk kabupaten itu cuma 300 ribu. Jumlah penduduk kotanya tidak lebih dari 50 ribu. Cukup menjadi Ibu Kota. Dari segi konstruksi sosial penduduk, Sulbar itu cukup tidak memiliki resiko untuk jadi ibu kota negara," tandasnya.
Skenario Ibu Kota Baru
Sementara itu, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Brodjonegoro memastikan Ibu Kota baru yang tengah dikaji tidak didesain sebesar Jakarta. Bahkan, menurut dia, secara skenario Ibu Kota baru dirancang hanya dihuni untuk 900 ribu sampai 1,5 juta penduduk.
Hal ini dikatakan Bambang dalam diskusi media di Kantor Staf Kepresidenan Jakarta, Senin (6/5/2019). Bambang menjelaskan, jumlah penduduk Ibu Kota baru nanti tak masuk dalam 10 kota dengan penduduk terbesar di Tanah Air.
"Dalam skenario kami hanya ada dua pilihan, untuk 1,5 juta (penduduk) atau hanya 900 ribu (penduduk)," kata Bambang.
Dia menuturkan, pemerintah fokus untuk membuat Ibu Kota baru sebagai pusat pemerintahan dan dapat menumbuhkan kegiatan ekonomi di wilayah tersebut. Bambang menyebut, pusat pemerintahan memiliki nilai ekonomi yang tak kecil.
"Pusat pemerintahan bagaimana pun itu punya nilai ekonomi yang tidak kecil, yang akan bisa kemudian menjadi faktor yang menumbuhkan ekonomi di sekitar wilayah Ibu Kota baru tersebut," jelas dia.
Mantan Menteri Keuangan itu mengatakan, pemindahan Ibu Kota tak akan menghentikan pembangunan di Jakarta. Nantinya, Jakarta tetap menjadi pusat bisnis dan keuangan.
"Karena ide Jakarta sebagai pusat bisnis. Tetapi pemerintahan ditambah kedutaan, eksekutif, legislatif, yudikatif, tentunya akan berada di Ibu Kota baru," tutur dia.
Bambang lalu mencontohkan Brasil yang berhasil memindahkan Ibu Kota dari Rio de Janeiro ke Brasilia. Bambang menyebut Brasilia dibangun hanya untuk sebagai pusat pemerintahan. Kini Brasilia menjadi kota ketiga terbesar di Brasil.
"Artinya upaya untuk menumbuhkan kegiatan ekonomi di pedalaman Amazon paling tidak berhasil ya. Berhasil tidak hanya di pantai selatan tetapi juga di pedalaman Amazon, khususnya di sekitar Kota Brasilia," ujarnya.
Yang jelas, lanjut Bambang, kriteria Ibu Kota baru untuk Indonesia dilihat dari segi kesiapan infrastruktur dan ketersediaan sumber daya alam. Kriteria pertama adalah lokasi yang strategis secara geografis.
"Karena kita lokasinya strategis secara geografis. Indonesia wilayah yang sangat luas. Dari barat ke timur kalau di Eropa itu dari London sampai ke Turki, kalau di Amerika itu dari LA sampai New York. Jadi, dengan wilayah yang lebar, maka kita melihat wilayah ideal adalah yang di tengah," ujar Bambang.
Bambang juga menginginkan agar lokasi baru nanti minim pembebasan lahan. Selain itu, lokasi baru harus bebas dari bencana.
"Tersedia sumber daya air yang cukup, ini sangat penting. Dan kami juga ingin menciptakan efisiensi. Wilayah ibu kota baru ini dekat dengan wilayah yang existing secara ekonomi. Tidak usah membangun bandara baru, dan akses jalannya relatif sudah tersedia," jelasnya.
Bambang menjelaskan kriteria lokasi ibu kota baru perlu dekat dengan laut, soalnya negara ini adalah negara maritim. Keterjangkauan dengan laut perlu menjadi pertimbangan.
"Lokasinya kami harapkan tidak terlalu jauh dari pantai. Indonesia negara maritim artinya konektivitas laut itu penting," kata Bambang.
Dalam aspek pertahanan, kriteria yang perlu ada pada calon ibu kota baru adalah tingkat konflik sosial yang minimal. Konflik sosial yang dimaksud adalah yang terjadi antara warga lokal dan pendatang.
"Harus juga bisa menjaga agar potensi konflik sosial itu rendah. Masih punya budaya terhadap para pendatang," kata Bambang.
Bambang menjelaskan, ibu kota nanti punya konsep 'smart, green, and beautiful city' atau 'kota yang pintar, hijau, dan indah'. Kota dengan konsep seperti itu bakal meningkatkan daya saing ibu kota secara regional ataupun internasional.
Terkait dengan pemindahan ibu kota ini, dia menyebut perlu ada dukungan politik yang kuat dalam bentuk undang-undang. Peraturan yang ada sekarang masih menetapkan Daerah Khusus Ibu Kota untuk Jakarta.
"Jadi dari awal, nantinya harus ada dukungan politik dari bentuk perundang-undangan. Kan sekarang DKI dasarnya Jakarta, jadi ibu kota ada UU DKI-nya," ucap Bambang.
Lebih lanjut dia menuturkan, penyusunan undang-undang baru menjadi bagian dari penyiapan awal rencana pemindahan ibu kota. Pemerintah, menurut Bambang, akan berkoordinasi dengan DPR terkait hal ini.
"DPR sifatnya pasti konsultatif, tapi nantinya harus ada persetujuan undang-undang. Kan ada undang-undang daerah khusus ibu kota, ada," ungkap Bambang.
Advertisement
Anggaran Besar
Bambang juga pernah mengungkapkan, estimasi biaya yang diperlukan untuk pembangunan Ibu Kta baru seluas 40 ribu hektare di luar Pulau Jawa mencapai Rp 466 triliun.
"Kita mencoba membuat estimasi besarnya pembiayaan di mana skenario satu diperkirakan sekali lagi akan membutuhkan biaya Rp 466 triliun atau USD 33 miliar," kata Bambang.
Luas lahan 40 ribu hektare dibutuhkan jika jumlah penduduk mencapai 1,5 juta jiwa yang terdiri dari seluruh aparatur sipil negara yang bekerja di kementerian dan lembaga, tingkat legislatif dan yudikatif serta pelaku ekonomi dan anggota TNI dan Polri turut migrasi ke ibu kota baru.
"Dengan penduduk 1,5 juta di mana pemerintahan akan membutuhkan 5 persen lahan, ekonomi 15 persen, sirkulasi infrastruktur 20 persen, permukiman 40 persen dan ruang terbuka hijau 20 persen. Diperkirakan dibutuhkan lahan minimal 40 ribu hektare untuk membuat ibu kota baru, itu skenario yang pertama," jelas Bambang.
Sementara untuk skenario kedua dengan keperluan luas lahan yang lebih kecil, yakni 30 ribu hektare, dikalkulasi membutuhkan biaya Rp 323 triliun atau USD 23 miliar.
Untuk skenario kedua, jumlah orang yang bermigrasi yakni 870 ribu jiwa terdiri dari aparatur sipil negara kementerian dan lembaga, tingkat legislatif dan yudikatif, aparat TNI dan Polri, dan pelaku ekonomi.
Penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam proses pemindahan ibu kota negara akan diminimalkan.
Menurut Bambang, APBN hanya akan dipakai untuk membiayai infrastruktur dasar yang proyeknya tidak bisa dikerjakan swasta atau pihak lainnya.
"Dari segi pembiayaan, kita tidak akan menggunakan APBN. Kalaupun pakai, akan diminimalkan jumlahnya untuk membiayai infrastruktur dasar," ungkapnya.
Tidak hanya mengandalkan APBN, biaya pemindahan ibu kota negara juga akan bersumber dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), perusahaan swasta dan melalui skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU).
Untuk rencana anggaran sendiri akan diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) setelah ada keputusan dari Presiden. Bambang menyatakan, proses pemindahan ibu kota tentu harus melewati proses politik dan perlu disiapkan undang-undang khusus.
Untuk penentuan lokasi masih harus melewati rapat-rapat koordinasi. Saat ini, pemaparan kajian baru dilakukan oleh Bappenas.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, anggaran pemindahan ibu kota masih menunggu kajian pasti dari Bappenas dan Kementerian PUPR. Hal ini untuk memastikan anggaran yang dikeluarkan tidak jauh berbeda dengan negara lain yang melakukan pemindahan ibu kota.
"Isu tersebut kita akan lihat dulu karena perencanannya secara matang kan belum. Sementara untuk undang-undang APBN 2020 kan sekarang ini sedang direncanakan. Jadi nanti kita lihat Bappenas, Menteri PUPR sudah melihat dari pengalaman negara lain di dunia, ada modus-modus atau cara-cara di dalam pembiayaan yang berbeda," ujarnya Selasa kemarin.
"Jadi untuk saat ini kita akan menunggu sampai perncanaan itu matang, dan kalo perencanaan itu matang berarti estimasi dari anggarannya akan jauh lebih akurat, baru kita pikirkan bagaimana teknis untuk pembiayaannya," sambungnya.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menambahkan, perancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 masih akan tetap berjalan pada Mei mendatang. Walaupun saat ini belum dapat dipastikan apakah anggaran pemindahan Ibu Kota akan dimasukkan ke dalam postur tersebut.
"Secara siklus APBN 2020 harus sudah kita siapkan dan bulan Mei nanti juga sudah mulai akan membahas awal dgn DPR terkait rancangan APBN 2020," tandasnya.