HEADLINE: Tendang Balik 5 Kontainer ke AS, RI Nyatakan Perang ke Sampah Impor?

Indonesia telah mengirim balik 5 kontainer sampah ke negara asalnya, Amerika Serikat. Tak sudi jadi tempat pembuangan.

oleh Ika DefiantiYopi Makdori diperbarui 21 Jun 2019, 00:01 WIB
Diterbitkan 21 Jun 2019, 00:01 WIB
65 kontainer sampah di Batam. Liputan6.com/Ajang Nurdin
65 kontainer sampah di Batam. Liputan6.com/Ajang Nurdin

Liputan6.com, Jakarta - Indonesia menjadi salah satu negara buangan sampah daur ulang dari Eropa dan Amerika sejak China menutup keran impor limbah tersebut mulai 2017. Namun, sampah impor ternyata mengandung bahaya. 

Ternyata, tak sedikit material yang didatangkan bercampur dengan bahan berbahaya dan beracun (B3). Misalnya, isi lima kontainer yang diimpor PT AS di Jawa Timur. 

Berdasarkan Pemberitahuan Impor Barang (PIB) dan izin dari Kementerian Perdagangan,lima kontainer itu seharusnya hanya boleh memuat scrap kertas dengan kondisi bersih tidak terkontaminasi limbah B3 dan tidak tercampur sampah.

Namun, apa yang tertera di dokumen tak sama kenyataan. Isi peti kemas itu campur aduk tak karuan. Ada kemasan minyak goreng, botol bekas infus, sepatu jebol, wadah oli, popok bekas, botol minum plastik, hingga keran air.

Awal teridentifikasinya kontainer yang tertahan ini bermula dari kecurigaan pihak Ditjen Bea dan Cukai. Saat masuk ke pelabuhan, kontainer-kontainer milik PT AS tersebut dialihkan ke jalur merah, yang berarti memerlukan pemeriksaan lanjut.

"Dalam pemeriksaan bersama KLHK, dalam 5 kontainer tersebut ditemukan impuritas atau limbah lainnya antara lain sepatu, kayu, pampers, kain, kemasan makanan minuman dan sejumlah keran plastik dalam jumlah yang cukup besar," kata Karo Humas KLHK, Djati Witjaksono Hadi dalam keterangan tertulisnya yang diterima Liputan6.com, Jakarta, Kamis (20/6/2019).

Karena itu, pemerintah Indonesia mengambil keputusan tegas dengan mengembalikan lima kontainer sampah impor ke negara asalnya, Amerika Serikat.

Re-ekspor itu dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal bea dan Cukai pada Minggu 16 Juni 2019.

"Re-ekspor ini menjadi pembuktian bahwa Indonesia telah berkomitmen menjaga wilayahnya agar tidak tercemar dengan masuknya sampah atau limbah dari negara lain," ujar Djati.

Soal masuknya sampah ke wilayah NKRI telah diatur melalui Undang-Undang No 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. Sedangkan pengaturan pelarangan masuknya limbah B3 diatur melalui Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Adapun pengaturan perpindahan lintas batas limbah secara Internasional juga telah diatur melalui Konvensi Basel yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Keputusan Presiden No 61 Tahun 1993, di mana vokal poin dari konvensi Basel tersebut adalah Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya, KLHK.

Urusan sampah dan limbah menjadi persoalan serius di Indonesia. Presiden Joko Widodo berencana membawa persoalan tersebut ke forum internasional, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke-34 di Thailand.

"Berkaitan dengan combating marine debris, yang berkaitan dengan ‎sampah laut ini juga menjadi isu yang perlu kita angkat," kata Jokowi dalam rapat terbatas persiapan kunjungan kerja Presiden RI ke KTT ASEAN di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (19/6/2019).

Infografis Indonesia Kirim Balik Sampah Impor
Infografis Indonesia Kirim Balik Sampah Impor (Liputan6.com/Triyasni)

Ketua Koalisi Kawal Lingkungan Hidup Indonesia (Kawali) Puput TD Putra mengapresiasi sikap pemerintah mengembalikan lima kontainer sampah ke negara asalnya. Dia berharap, kebijakan itu tidak hanya sebatas simbolisasi.

"Memang sudah seharusnya KLHK harus bersikap tegas, karena sampah impor ini kan kita inventarisasi banyak terjadi di Jawa Timur, Bekasi, Karawang itu banyak sekali sampah impor. Sedangkan kita sudah mengurangi sampah plastik, ini kita malah impor plastik," ujar Puput kepada Liputan6.com.

Meski begitu, sikap tegas pemerintah mengembalikan lima kontainer sampah ke negara asalnya masih dianggap belum cukup. Sebab, sanksi belum diberikan kepada para pemain sampah impor yang diduga melanggar regulasi lingkungan. Apalagi material yang masuk bukan hanya plastik, tapi juga limbah B3.

"Ini jelas-jelas ada pelanggaran berat," kata dia.

Puput menyatakan, tidak ada kata terlambat meski Indonesia baru mengeluarkan kebijakan mengembalikan sampah impor ke negara asalnya setelah beberapa negeri jiran, seperti Malaysia dan Filipina melakukan hal serupa lebih dulu. Selama pemerintah tegas dan komitmen menjalankan aturan.

"China ini kan berani bersikap tegas, China berani menyetop dan dampak dari China itu akhirnya Indonesia dijadikan tempat pembuangan alternatif dari sampah Eropa," ucapnya.

Pengamat hubungan internasional dari Universitas Jenderal Soedirman, Agus Haryanto mengatakan, pengiriman lima kontainer sampah impor ke negara asalnya merupakan simbol bahwa Indonesia tegas menolak dijadikan tempat sampah internasional.

Namun begitu, dia berharap kebijakan tersebut bukan hanya sebagai pencitraan pemerintah. Dia mengajak semua publik ikut mengawasi agar persoalan tersebut tidak berulang.

Dia menilai, kebijakan tersebut tidak terlalu berdampak pada hubungan bilateral antarnegara. Apalagi perpindahan lintas batas limbah secara Internasional telah diatur melalui Konvensi Basel.

Namun pengembalian sampah ke negara asal juga harus dibarengi dengan sikap tegas pemerintah menerapkan aturan ekspor-impor. Pemerintah juga diminta memperbaiki regulasi untuk meminimalisasi celah pemain limbah nakal.

"Itemnya harus diperjelas, apa saja item yang ditolak sehingga publik bisa melihat dan bisa memantau bersama-sama. Saya kira dengan begitu, nanti kredibilitas pemerintah akan naik," kata Agus kepada Liputan6.com.

Sebelumnya, Menteri LHK Siti Nurbaya telah meminta Menteri Perdagangan merevisi Permendag No 31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non-Bahan Berbahaya dan Beracun guna mencegah masuknya sampah plastik impor ilegal.

"Kalau tidak legal, pasti itu aspek pengawasan saja. Kita memang berharap banyak di Bea Cukai, tapi dari sisi pencegahan kita sudah minta ke Menteri Perdangangan (Mendag) untuk merevisi Permendag 31 Tahun 2016," kata Siti seperti dilansir Antara, Senin 10 Juni 2019.

Revisi ini, menurut dia, perlu dilakukan untuk melakukan penegasan secara spesifik HS Code-HS Code dari barang apa saja yang bisa masuk Indonesia.

"Ini sudah dirapatkan juga beberapa kali di Menko Ekuin (Menteri Koordinator Bidang Perekonomian). Saya sudah surati Mendag dan kementeriannya sedang memproses revisi Permendag tersebut," kata Siti.

Masuknya sampah-sampah plastik secara ilegal ke Indonesia sebenarnya bukan baru pertama terjadi. Pada 2015-2016, Indonesia juga sempat melakukan reekspor puluhan kontainer.

Siti menyebut pada 2016 sekitar 40 kontainer sampah plastik telah dipulangkan ke negara asalnya.

Saksikan juga video menarik berikut ini:

Sampah Impor di Batam dan Jatim

65 kontainer sampah di Batam. Liputan6.com/Ajang Nurdin
65 kontainer sampah di Batam. Liputan6.com/Ajang Nurdin

Tumpukan sampah impor juga ditemukan di Kota Batam, Kapulauan Riau. Setidaknya ada 65 kontainer limbah impor yang terindikasi mengandung bahan berbahaya dan beracun (B3). Wakil Wali Kota Batam Amsyakar Achmad meminta sampah tersebut dikembalikan ke negara asalnya.

"Berdasarkan Perda No 11 Tahun 2013 mengamanatkan limbah plastik dalam dan luar negeri harus kita tolak," kata Amsyakar usai Paripurna di Kantor DPRD Batam, Senin (17/6/2019).

Amsyakar mengatakan, pihaknya sedang menunggu uji labor dari Bea Cukai bersama Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK). Prinsipnya untuk soal sampah Pemkot Batam sudah melalui mekanisme Permendagri di peraturan Menteri Perdagangan.

Berdasarkan analisa sementara, limbah plastik yang dibawa 65 kontainer itu terindikasi mengandung limbah B3. Karena itu, Pemkot Batam mewajibkan pelaku usaha mengembalikan kontainer berisi limbah ke negara asalnya.

Saat ini, Ditjen Bea Cukai Batam bersama tim gabungan tengah memeriksa dan mengambil sampel dari 65 kontainer sampah tersebut. Pengambilan sampel dilakukan sebelum sampah tersebut dikembalikan ke negara asal.

Kepala Seksi Penindakan Kantor Bea dan Cukai (BC) Batam, Febian Cahyo Wibowo mengatakan, hasil uji lab sampel limbah akan diumumkan dalam 3 hari.

"Hasilnya nanti usai pengambilan sampel selesai, apakah yang 65 kontainer mengandung B3, ya atau tidaknya tunggu aja," kata dia kepada Liputan6.com di Batam, Rabu sore (19/6/2019).

Dia menuturkan hasil uji laboratorium akan diserahkan ke Kementerian Lingkungan Hidup. Adapun berdasarkan peraturan, jika limbah yang mengandung B3 harus dikembalikan ke daerah asal dengan batas waktu 90 hari semenjak barang itu tiba.

Dari proses pemeriksaan, dari 54 kontainer tersebut mengandung limbah plastik. Sementara berdasarkan manifes, sampah tersebut berasal dari Amerika dan Eropa. Ini terdiri dari sampah rumah tangga, juga farmasi karena ditemukan botol obat.

Sementara Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Batam Herman Rozi menuturkan bahwa sampah dalam kontainer tersebut mengeluarkan bau menyengat.

"Kita lihat dan rasakan isi kontainer mengeluarkan bau, cuma (detektor) belum menemukan radiaktif, untuk hasil kita tunggu hasil lab bea cukai," tuturnya.

Sebelumnya dalam pernyataan sikap, pengusaha yang tergabung dalam Aexipindo Batam membantah telah mengimpor sampah yang mengandung B3 ke Batam.

Asosiasi menganggap isi dari 65 kontainer yang didatangkan dari Inggris, Kanada, Amerika dan Australia serta sejumlah negara Eropa lainya itu bukan dari limbah, melainkan bahan baku.

Impor bahan plastik ini telah sesuai dengan Permendag Nomor 31 Tahun 2016 yang mengatur tata cara impor bahan baku limbah non-B3.

Impor barang tersebut juga sudah melalui proses yang panjang mulai dari membuka Purchase Order, Sucofindo, Infeksi dan pembayaran.

Anggota DPRD Batam Lik Khai meminta kepada semua pihak turun langsung dan melihat kasus dugaan limbah plastik masuk ke Batam ini. Hal ini mengingat sisi kemanusiaan dan dampak yang ditimbulkan pada masa yang akan datang oleh limbah tersebut.

Selain itu, masuknya limbah tersebut perlu dipertanyakan. Pihaknya sangat yakin tidak ada izin yang memberikan restu masuknya limbah baik itu B3 maupun non-B3 ke Batam.

"Dan itu jelas-jelas sangat melanggar Undang-undang. Dan harus dicek benar, apakah mereka memiliki izin atau tidak. Kalau memang mereka memegang izin limbah, berarti pihak kementerian yang perlu dipertanyakan," kata Lik.

Permasalahan sampah impor juga ditemukan di Mojokerto, Jawa Timur. Limbah sampah kertas yang diimpor dari luar negeri ternyata tidak semua bebas material plastik. Akibatnya, sampah plastik tersebut menumpuk.

Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa meminta kepada pabrik kertas di Mojokerto supaya material sampah kertas (waste paper) yang digunakan sebagai bahan baku harus bebas plastik.

"Katakan bahan waste paper yang dipakai mencapai 1.500 ton. Jika dalam 1.000 ton saja, 300-nya adalah unsur ikutan yakni plastik, tentunya mengkhawatirkan. Sebab kita sendiri gencar memerangi sampah plastik," kata Khofifah seperti dilansir Antara pada Rabu 19 Juni 2019.

Gubernur ingin industri kertas tetap menjaga tatanan lingkungan yang sehat. Jika ada ikutan sampah plastik namun sudah terlanjur, KLHK akan memberi restriksi pada material tersebut.

"Kami punya catatan industri-industri di Jawa Timur yang mengimpor bahan baku dari luar. Jika terdeteksi plastik, bisa dikembalikan dan segera tindaklanjuti. Karena kita juga sadar, jika industri kertas menggunakan bahan pulp, eksistensi hutan juga terancam," kata Khofifah.

Khofifah mempersilakan impor waste paper pada industri kertas namun dengan catatan tidak ada ikutan plastik, maupun B3, serta pastikan betul dari mana asalnya. Dirinya juga menyebut bahwa bahan baku waste paper yang mengandung plastik, boleh dikembalikan ke negara asal.

Di Kabupaten Mojokerto terdapat beberapa industri kertas yang menggunakan waste paper impor, antara lain PT Pakerin, PT Mega Surya Eratama, PT Sun Paper Source, dan PT Mekabox International.

Wakil Bupati Mojokerto, Pungkasiadi mengatakan, jumlah plastik di wilayahnya mencapai 40-50 truk per hari dengan kisaran 75 ton per hari. Sebanyak 60 persen sampah plastik yang tidak bisa didaur ulang dijual ke industri tahu, kerupuk, dan batu bata sebagai bahan bakar. Hal ini tentu menimbulkan pencemaran udara yang membentuk senyawa karsinogenik.

Untuk itu, kata dia, perlu adanya kebijakan impor waste paper di industri kertas serta tanggung jawab pengelolaan lingkungan oleh perusahaan.

"Perusahaan harus mengolah lagi sampai pada residu akhir yang tidak dapat dimanfaatkan lagi. Ini untuk menjaga lingkungan tetap baik," ucapnya.

Perang Lawan Sampah Impor

Malaysia Kembalikan Limbah Plastik ke Negara Asal
Kontainer berisi sampah plastik dari Australia siap dikirim kembali ke negara asal di Port Klang, sebelah barat Kuala Lumpur, Malaysia, Selasa (28/5/2019). Malaysia menjadi tujuan alternatif utama untuk sampah plastik setelah China melarang impor limbah tersebut. (Mohd RASFAN/AFP)

Presiden Filipina Rodrigo Duterte geram gara-gara sampah. Pemimpin yang dikenal temperamental itu mengancam akan "berperang" melawan Kanada, jika pihak Ottawa tidak mengambil kembali limbahnya yang dikirim ke Manila beberapa tahun lalu.

"Saya akan memberi peringatan kepada Kanada, mungkin pekan depan, bahwa mereka sebaiknya menarik (sampah) itu keluar," kata Duterte pada hari Selasa.

"Kami akan mendeklarasikan perang melawan mereka, toh kita bisa menanganinya," lanjutnya mengancam, sebagaimana dikutip dari CNN pada Kamis (25/4/2019).

Duterte bahkan menyatakan ingin menyewa perusahaan pelayaran swasta guna mengirim 69 kontainer sampah ke Kanada dan meninggalkannya di perairan negara itu. 

"Filipina sebagai negara berdaulat yang merdeka, tidak boleh diperlakukan sebagai sampah oleh negara asing lainnya," kata juru bicara kepresidenan Salvador Panelo pada Kamis, 17 Mei 2019 lalu.

CNN melaporkan bahwa sebanyak 103 kontainer yang menampung 2.450 ton sampah, telah dikirim dari Kanada ke Filipina pada 2013 dan 2014 lalu.

Ratusan kontainer itu diberi label plastik untuk didaur ulang, tetapi pengawas di Filipina menemukan bahwa sampah tersebut justru tidak dapat didaur ulang.

Sampah dinyatakan ilegal oleh otoritas Filipina, karena perusahaan swasta Kanada yang bertanggung jawab atas pengiriman tersebut tidak memiliki izin impor.

Filipina telah mengirimkan kembali berton-ton sampah ke Kanada pada Jumat, 31 Mei 2019 setelah pertikaian diplomatik. 

Sampah-sampah itu dikirim kembali dengan 69 kontainer, dimuat dalam kapal kargo di Subic Bay, bekas pangkalan angkatan laut AS dan pelabuhan pengiriman di barat laut Manila.

Dalam sebuah twit, Menteri Luar Negeri Filipina Teodoro Locsin mengekspresikan rasa syukur dengan kepergian sampah berjumlah ekstrem tersebut.

"Baaaaaaaaa bye...," cuit Locsin yang turut menyertakan gambar kapal yang pergi.

Di sisi lain, Menteri Lingkungan Hidup Kanada Catherine McKenna menyambut baik berita tentang sampah yang dikembalikan tersebut. "Kami berkomitmen dengan Filipina dan kami bekerja sama dengan mereka," katanya.

Pengembalian sampah yang dilakukan Filipina memakan waktu yang tak singkat. Protes Filipina kepada Kanada untuk mengambil sampahnya telah berlangsung sejak pengadilan pada 2016 memutuskan bahwa sampah harus dikembalikan.

Kiriman limbah itu diberi label sampah plastik daur ulang, tetapi ketika sampai di Filipina, kontainer terkait justru turut memuat popok bekas, koran, dan kemasan plastik.

Malaysia juga melakukan hal serupa. Menendang balik sampah impor.

Beberapa hari lalu, Negeri Jiran mengumumkan akan mengirim 450 ton limbah plastik impor ke asalnya, termasuk Australia, Bangladesh, Kanada, China, Jepang, Arab Saudi, dan Amerika Serikat.

Malaysia tahun lalu menjadi tujuan alternatif utama untuk sampah plastik setelah China melarang impor limbah tersebut yang mengganggu aliran lebih dari 7 juta ton limbah plastik per tahun.

Sejak itu, Australia mengekspor bahan limbah ke Vietnam, Malaysia, dan Indonesia, demikian seperti dikutip dari ABC Indonesia, Kamis (23/5/2019).

Menteri Energi dan Lingkungan Malaysia Yeo Bee Yin menyatakan, Malaysia sudah mulai mengirim kembali limbah ke negara asalnya.

"Negara-negara maju harus bertanggung jawab atas apa yang mereka kirim," kata Yeo.

Dia mengatakan beberapa potongan plastik yang dikirim ke Malaysia melanggar Konvensi Basel, perjanjian PBB tentang perdagangan limbah plastik dan pembuangannya.

Menteri Yeo bulan lalu mengancam akan mengirim limbah kembali dengan mengatakan, "Malaysia tidak akan menjadi tempat pembuangan dunia."

Dia mengunggah gambar plastik ilegal kiriman di halaman Facebook-nya bersama dengan peraturan internasional tentang limbah plastik.

Sekarang prosesnya sedang berlangsung, dengan lima kontainer pertama sampah plastik yang terkontaminasi yang diselundupkan ke negara itu dikirim kembali ke Spanyol, kata Yeo.

Negara-negara pengimpor sampah menghadapi kesulitan dalam mengelola limbah. Polandia, pada Mei tahun lalu mengumumkan peraturan yang lebih tegas setelah banyak kebakaran di tempat pembuangan sampah. Mereka juga mengaitkan kenaikan impor sampah ilegal dengan adanya larangan China.

Thailand, untuk sementara waktu, melarang impor limbah plastik dan mengatakan akan menerapkan larangan penuh pada tahun 2021. Sedangkan Malaysia telah mencabut izin impor dan telah menekan pabrik pengolahan ilegal.

Vietnam tidak lagi mengeluarkan lisensi baru dan akan melarang semua impor barang plastik pada tahun 2025.

Pada Oktober nanti, Taiwan mengatakan hanya akan mengimpor limbah plastik dari sumber tunggal. Dan India memperluas larangan impor limbah plastik padat pada bulan Maret ini.

Global Alliance for Incinerator Alternatives (Gaia) mengatakan pada 2016, volume sampah plastik adalah 235 juta ton per tahun -- yang setara dengan isi kolam renang Olimpiade, yakni 4,8 juta.

Gaia memperkirakan, sampah-sampah ini akan mencapai 417 juta ton per tahun pada 2030.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya