Menanti Putusan MA Terhadap Syafruddin Arsyad, Terdakwa Kasus BLBI

Penetapan tersangka Syafruddin setelah KPK melakukan penyelidikan hingga bertahun-tahun.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 09 Jul 2019, 08:55 WIB
Diterbitkan 09 Jul 2019, 08:55 WIB
Sidang Korupsi BLBI, Mantan Kepala BPPN Simak Keterangan Saksi Ahli
Mantan Kepala BPPN, Syafruddin Arsyad Temenggung saat menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (6/8). Sidang mendengar keterangan dua saksi ahli. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Selasa, 25 April 2017 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjerat mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Syafruddin Arsyad Temenggung sebagai tersangka kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Penetapan tersangka Syafruddin setelah KPK melakukan penyelidikan hingga bertahun-tahun. Sejak 2013, saat KPK dipimpin Abraham Samad, penyelidikan kasus BLBI sudah dimulai.

Namun di era Agus Rahardjo cs akhirnya BLBI naik ke tingkat penyidikan, hingga penuntutan.

Syafruddin diduga melakukan tindak pidana korupsi penerbitan surat keterangan lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terhadap Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) milik Sjamsul Nursalim.

Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan yang mengumumkan penetapan tersangka terhadap Syafruddin. Sekitar delapan bulan kemudian, yakni pada Kamis, 21 Desember 2019, Syafruddin pun ditahan oleh lembaga antirasuah.

Penahanan Syafruddin dilakukan di Rumah Tahanan (Rutan) KPK yang berada di belakang Gedung Merah Putih. Sejak saat itu penyidik gencar mengusut dugaan korupsi yang merugikan negara Rp 4,58 triliun.

Setidaknya ada 83 saksi dan 3 ahli yang sudah diperiksa tim penyidik lembaga antirasuah dalam melengkapi berkas penyidikan Kepala BPPN periode 2002-2004 itu.

Pada 3 Mei 2019, KPK resmi melimpahkan berkas perkara Syafruddin ke Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat. Syafruddin kemudian menjalani sidang perdana, alias mendengarkan dakwaan penuntut umum KPK pada 14 Mei 2018.

Syafruddin didakwa melakukan perbuatan melawan hukum terkait penerbitan SKL BLBI kepada Sjamsul Nursalim selaku obligor BDNI.

Dalam dakwaan disebut Syafruddin melakukan perbuatan tersebut bersama-sama dengan Dorojatun Kunjoro Jakti selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), Sjamsul Nursalim dan istrinya Itjih Nursalim.

"Terdakwa (Syafruddin) melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, yaitu memperkaya Sjamsul Nursalim sejumlah Rp 4.580.000.000.000," ujar jaksa Chaeruddin saat membacakan surat dakwaan Syafruddin di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin 14 Mei 2018.

Menurut Jaksa Chaeruddin, Syafruddin telah menghapus piutang BDNI kepada petani tambak yang dijamin PT Dipasena Citra Darmadja dan PT Wachyuni Mandira. Selain itu terdakwa Syafruddin menerbitkan Surat Pemenuhan Kewajiban Pemegang Saham kepada Sjamsul Nursalim.

Padahal, Sjamsul Nursalim belum selesaikan kewajibannya terhadap kesalahan dalam menampilkan piutang BDNI kepada petambak untuk diserahkan kepada BPPN seolah-olah sebagai piutang yang lancar (misrepresentasi).

Atas dakwaan tersebut, Syafruddin kemudian dituntut 15 tahun penjara, denda Rp 1 miliar subsider 6 bulan kurungan oleh jaksa penuntut umum pada KPK, pada 3 September 2018.

Tiga pekan berselang, yakni pada 24 September 2018, majelis hakim Pengadilan Tipikor menjatuhkan hukuman 13 tahun penjara denda Rp 700 juta subsider tiga bulan kurungan terhadap Syafruddin.

Mengetahui vonis hakim 13 tahun, Syafruddin yang didampingi kuasa hukumnya, Yusril Ihza Mahendra kemudian melakukan upaya hukum lanjutan. Syafruddin banding ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta.

Keputusan Syafruddin banding untuk mencari keadilan. Sebab, Syafruddin berdalih dirinya tak bersalah dalam penerbitan SKL BLBI kepada Sjamsul Nursalim.

"Pemberian SKL itu sudah melalui proses yang luar biasa. Saya hanya melaksanakan keputusan pemerintah," kata Syafruddin usai sidang vonis di Pengadilan Tipikor.

Pencarian keadilan di PT DKI Jakarta tak berbuah manis. Pada 2 Januari 2019, hukuman Syafruddin diperberat menjadi 15 tahun denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan. KPK sendiri menerima putusan dari PT DKI tersebut.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Nasib di Tangan MA

Upaya hukum lanjutan pun diambil oleh Syafruddin. Dia mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung (MA). KPK menghadapi kasasi Syafruddin dengan menyampaikan kontra memori kasasi ke MA pada 18 Februari 2019.

Namun hingga kini, MA belum memutuskan apakah akan menerima atau menolak kasasi yang diajukan Syafruddin.

Jika MA tak membuat keputusan hari ini, Selasa (9/7/2019) maka dengan sendirinya berdasarkan KUHPidana, Syafruddin akan bebas demi hukum. Sebab, masa penahanan Syafruddin berakhir pada hari ini.

"Kalau belum ada putusan, bisa dibebaskan atau dikeluarkan demi hukum. Kalau sudah ada putusan, tentu hal itu tentu saja tidak perlu terjadi," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah di gedung KPK, Jakarta Selatan, Senin, 8 Juli 2019, kemarin.

Masa penahanan Syafruddin sendiri sejak dia mengajukan kasasi berada di tangan MA. Hal tersebut tertuang dalam Pasal 253 ayat (4) KUHAPidana, yang berbunyi 'Wewenang untuk menentukan penahanan beralih ke Mahkamah Agung sejak diajukannya permohonan kasasi'.

Ingin agar upaya yang dilakukan selama memproses Syafruddin hingga vonis di Pengadilan Tipikor tak sia-sia, KPK pun berharap MA segera mengetuk palu. Apalagi, KPK juga kini tengah memproses kasus yang sama dengan tersangka pemegang saham pengendali BDNi Sjamsul Nursalim dan istri, Itjih Nursalim.

"Penuntut umum KPK meminta pada Majelis Hakim Kasasi dalam perkara ini untuk menolak kasasi yang diajukan oleh pihak terdakwa," kata Febri.

Febri pun meyakini MA dapat memutuskan perkara itu dengan kehati-hatian berdasarkan independensi dan imparlitas yang ada.

"Kami yakin kasus BLBI yang menjadi perhatian publik ini diproses dengan sangat hati-hati, mulai dari proses penyelidikan, penyidikan, hingga rangkaian tahapan di persidangan," kata Febri.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya