Kisah Relawan Pemulasaran Jenazah Corona Covid-19

Bapak satu orang anak itu mengaku tak merasa cemas selama menjalankan tugas yang penuh dengan resiko tersebut.

oleh Liputan6.com diperbarui 09 Apr 2020, 06:07 WIB
Diterbitkan 09 Apr 2020, 06:07 WIB
Negatif Corona, Satu WNA Dipulangkan dari RSPI Sulianti Saroso
Petugas menyiapkan mobil ambulans untuk membawa pasien terduga virus corona di RSPI Prof. Dr. Sulianti Saroso, Sunter, Jakarta Utara, Kamis (5/3/2020). Satu WNA terindikasi virus corona diizinkan pulang setelah hasil pemeriksaan, WNA itu negatif corona. (merdeka.com/Imam Buhori)

 

Liputan6.com, Jakarta - Dede salah seorang relawan dalam menangani virus corona Covid-19 menceritakan proses pemulasaran jenazah. Ia tergabung dalam organisasi Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) bersama sejumlah orang lainnya memberikan pertolongan terhadap masyarakat yang membutuhkan.

Namun, sebelum ia ditunjuk melakukan tugas pemulasaran, terlebih dulu melakukan kegiatan sosial seperti menyemprotkan cairan disinfektan di kawasan Kota Tua hingga Monas bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).

"Dari Baznas sendiri kita membentuk beberapa program yaitu penyemprotan disinfektan, fasilitas publik dan droping-droping logistik," kata Dede kepada merdeka.com, Jakarta, Rabu (8/4/2020).

Ia mulai ditunjuk sebagai tim pemulasaran atau pembungkusan jenazah corona Covid-19 sejak dua pekan lalu. Pemulasaran jenazah itu dilakukan di Wisma Atlet, Kemayoran, Jakarta Pusat.

"Kebetulan dua minggu yang lalu, saya dikasih kepercayaan bersama 4 orang tim dari Baznas untuk melakukan pemulasaran jenazah (Covid-19) di Wisma Atlet," ujarnya.

Selama menjalankan tugas pemulasaran jenazah, Ia lebih dulu mereka beraktivitas di kantor Baznas. Ketika dirinya mendapatkan panggilan dari Wisma Atlet, ia bersama beberapa orang lainnya langsung menuju ke lokasi.

"Paling lama kan 4 jam setelah dia (jenazah) meninggal pengurusannya, dalam waktu sejam kita sudah ada di sana, kebetulan meninggalnya di kamar isolasinya ibu-ibu usia 72 tahun. Karena Wisma Atlet itu kan masih rumah sakit darurat ya, jadi fasilitas liftnya itu belum standard yang rumah sakit yang bisa masuk dorongan yang besar untuk pasien," cerita Dede.

Dengan begitu, mereka pun melakukan pemulasaran jenazah di kamar isolasi pasien yang meninggal itu. Dengan menggunakan Alat Pelindung Diri (APD) yang lengkap, ia bersama lainnya mulai mengkafankan jenazah.

"Jadi kita melakukan pemulasarannya di kamar isolasinya, jadi kita kain kafankan, plastik, terus kantong jenazah. Jadi setiap proses itu selalu kita semprot dengan disinfektan, jadi pertama kain kafan, kemudian plastik, kemudian dimasukan kantong jenazah, dari situ baru jenazah kita bawa ke lantai 1. Karena kebetulan yang meninggal kemarin itu berada di lantai 9," ujarnya.

"Habis itu, setelah kita bungkus, kita bawa untuk dimasukkan ke dalam peti. Karena memang ruang-ruang pemulasarannya belum begitu rapi, karena rumah sakit darurat, enggak siap juga untuk menghadapi hal itu. Setelah dari atas lantai 9 ke bawah, masukkan ke dalam peti. Kalau dia muslim kita salatkan, kalau tidak ya tidak," sambungnya.

Setelah jenazah dimasukkan ke dalam peti yang sudah disiapkan, peti tersebut langsung dibungkus kembali menggunakan pelastik khusus dengan rapih, yang kemudian disemprotkan kembali dengan cairan disinfektan.

"Jadi kita lilit-lilit rapi sampai rapat, kita semprot lagi dengan disinfektan, terus masuk ke dalam ambulans, disemprot lagi disinfektan, kemudian dibawa sama ambulans. Tugas kami cukup sama dia (jenazah) masuk ke dalam mobil ambulans, selebihnya tugas dari petugas pemakaman," ucapnya.

Ternyata, dalam melakukan proses pemulasaran jenazah, dirinya tidak menyentuh jenazah secara langsung untuk dapat dikafankan. Karena, mereka menjalankan sistem yang sudah sesuai dengan Standard Operasional (SOP).

"(Jenazah dimandikan) Tidak, kita ikutin SOP yang di Indonesia SOP yang nasional. (Dikafankan) Dengan baju yang melekat. Terus kita ada sistem pemakaian kain kafannya tanpa kita menyentuh si korban, jadi ada cara gimana kita enggak menyentuh si korban," ungkapnya.

Untuk mengkafani jenazah, mereka lebih dulu menyediakan kain kafan yang bukan biasanya. Karena, kain kafan yang sudah mereka sediakan itu telah dililit pada bagian ujung bersama dengan plastik di dalam kafan tersebut.

"Jadi kain kafannya kaya dililit dulu ujung dan ujungnya, lalu dimasukan ke kepala agak ditarik. Sudah ketutup badan, baru kita bisa megang itu, dimiringin dikit, kanan-kiri dimiringin dikit, baru dibungkus. Memang kain kafannya pun enggak seperti biasa kita siapkan dan agak kita lebihkan," jelasnya.

Setelah jenazah sudah terbungkus rapi diatas kasur, barulah jenazah korban corona covid-19 tersebut langsung diangkat dan dimasukkan ke kantong jenazah. Sebelum jenazah itu dimasukan ke dalam peti.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Pakai Tiga Lapis APD

Untuk APD yang mereka pakai saat menjalankan tugas, ternyata dilapisi dengan tiga pakaian. "Untuk APD kita itu tiga lapis ya, pertama pakaian biasa kita, kemudian pakaian medis yang warna hijau, kemudian baju hazmat. Sarung tangan dua lapis," tuturnya.

Setelah mereka bersama tim selesai menjalankan tugasnya, Dede dan yang lainnya langsung masuk ke sebuah ruangan khusus. Di sana, ia langsung disemprotkan cairan disinfektan oleh petugas lainnya.

"(Masih pakai APD) Iya, ada dua mobil, khusus untuk tim itu. Jadi, enggak semua tim pemulasaran. Perawat itupun di sana, dokter yang bekerja 3 shift itu setiap ganti shift pasti langsung masuk ke ruangan itu untuk disiram, disemprot. Wajib itu," katanya.

Setelah APD yang mereka gunakan itu disiram cairan disinfektan, pakaian hazmat atau APD bagian paling luar badan langsung dibuang ke tempat khusus. Namun, untuk kacamata, sepatu boots serta pakaian lapis kesatu dan kedua hanya mereka rendam dengan cairan disinfektan yang kemudian langsung mereka cuci.

"Setelah keluar dari zona merah, kita dicek lagi segala macem cuci tangan segala macem. Terus masuk ke dalam ruangan kamar mandi, di situ sudah ada persiapan sabun dengan pakaian ganti, kita langsung mandi, abis mandi kita baru ke yang logistik lagi (zona kuning), untuk ganti baju yang normal biasa," jelasnya.

"(Baju sehari-hari) Kita cuci sendiri, di kita udah ada protapnya. Jadi sehari baju itu wajib tim kami wajib, baik tim pemulasaran jenazah ataupun penyemprotan dan logistik yang ada di dalam basecamp ini, sehari langsung dicuci. Enggak boleh keluar-keluar selain tugas," sambungnya.

Isolasi Mandiri 14 Hari

Setelah menjalankan tugas tersebut, mereka pun langsung melakukan isolasi secara mandiri di kantornya. Karena, di kantor tempat mereka bekerja sudah disiapkan ruangan untuk melakukan isolasi mandiri.

"Sebenernya kami diminta buat tidur di Wisma Atlet ya. Cuma kami mintanya sistem on call aja, soalnya kami sudah punya fasilitas untuk tim yang berhubungan dengan pasien. Jadi kebetulan pas kemarin, baru dua kali ngurus jenazah tiga orang. Jadi sampai hari ini kita belum bisa kemana-mana," ucapnya.

Meski melakukan isolasi mandiri selama 14 hari, bukan berarti mereka tak melakukan aktivitas sama sekali. Karena selama mereka menjalankan isolasi mandiri, Dede bersama dengan yang lainnya tetap memiliki kegiatan.

"(Selama isolasi mandiri) kita melakukan pelatihan pemulasaran jenazah. Jadi kemaren dari Wisma Atlet, juga meminta, kita kan sudah selesai ya, jadi Wisma Atlet memanggil beberapa tim untuk pemulasaran jenazah. Dari Wisma Atlet diminta tim kita untuk memberikan pelatihan tersebut," katanya.

Tak hanya melakukan pelatihan, mereka juga melakukan olahraga setiap pagi. Hal itu wajib mereka lakukan untuk menjaga kondisi tubuh selain meminum vitamin dan makanan yang bergizi.

"Tapi kan selama isolasi kemarin juga. Saya sempet beberapa kali keluar lapangan untuk droping logistik-logistik ke rumah sakit-rumah sakit. Isolasi mandi itu bukan berarti kita enggak berkegiatan, yang penting kita tidak berhubungana dengan orang lain gitu," tuturnya.

 

Sempat Ditolak Keluarga

Bapak satu orang anak itu mengaku tak merasa cemas selama menjalankan tugas yang penuh dengan resiko tersebut. Karena, tugas yang mereka jalankan itu dilakukan dengan hati yang senang. Terlebih, ia juga telah mendapatkan penjelasan dari dokter untuk melakukan pemulasaran.

"Iya enggak ada (cemas), karena saya pribadi pun pas ketika ditunjuk untuk menjadi tim pemulasaran jenazah, nah saya tanya-tanya ke dokter juga. Karena memang begini, virus yang berada di orang status sudah meninggal itu akan sendirinya menghilang. Karena dia (corona) lebih berbahaya di manusia yang masih hidup, makanya kita berani-berani ajalah," Dede mengaku.

Sempat Ditolak Keluarga

Ternyata, apa yang ia lakukan saat ini pernah ditolak atau tidak diizinkan oleh isteri dan orang tuanya.

"Sempet ada penolakan sih, pas coba dijelasin ya akhirnya ngerti juga. Agak berat juga sih, beratnya itu menyakinkan bahwa kita baik-baik saja gitu. Makanya saya ke isteri dan ibu saya ini saya bilang jangan terlalu banya nonton tv, karena kan kalau di tv suka ada berita-berita (corona)," ujarnya.

Ia menyebut, sudah dua bulan tak pulang ke rumah untuk berkumpul dengan keluarga. Selama itulah, ia pun memiliki rasa yang kangen dengan anak serta isterinya itu. Apalagi, anaknya itu baru berusia 1 setengah tahun.

"(Cara ngilangin kangen) Kalau video call sudah pasti, itu harus setiap hari sama anak. Paling lama itu sejam, kalau anak kan kadang-kadang enggak ngerti, jadi kita cuma liatin anak lagi ngapain, lagi lari-larian, lagi main," sebutnya.

"Saya juga belum tahu balik kapan, saya pribadi pun enggak berani. Karena kita mungkin punya imun kuat terhadap virus ini, tapi keluarga kita belum tentu (kuat imunnya)," tutupnya.

 

Reporter: Nur Habibie

Sumber: Merdeka.com

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya