Liputan6.com, Jakarta Kabar mengejutkan harus diterima warga Desa Samida, Kecamatan Selaawi, Kabupaten Garut, setelah sejumlah warganya dinyatakan positif terinfeksi virus Corona.Â
Ada 8 orang yang dinyatakan positif Covid-19 di desa itu. Tiga orang di antaranya sudah dinyatakan sembuh dan lima lainnya masih harus menjalani perawatan.
Akibatnya, 549 kepala keluarga di desa itu harus menjalani isolasi mandiri di rumah sejak Jumat 29 Mei 2020.Â
Advertisement
Ratusan warga yang dikarantina mau tak mau harus dibatasi ruang geraknya. Mereka tidak diperkenankan keluar kampung. Sejumlah petugas pun berjaga di setiap akses menuju kampung tersebut. Kebutuhan pangan mereka dan juga pakan ternak disuplai oleh pemerintah.
Menjalani karantina mandiri dan tidak melakukan aktivitas, bagi sejumlah warga bukanlah perkara mudah.Â
Pemerintah Kabupaten Garut sempat hendak memperpanjang isolasi mandiri setelah ditemukannya tiga kasus baru positif Corona di masa karantina. Namun, rupanya wacana tersebut dibatalkan karena terjadi penolakan dari sejumlah warga.
Salah seorang warga, Ode Hermawan (43) menuturkan kesehariannya selama menjalani karantina mandiri.
"Kalau yang punya kebun di sekitar kampung mah masih boleh. Tetapi di sini banyaknya yang tidak bekerja karena warga dilarang keluar kampung, kecuali sangat darurat sekali," ujar Ode, seperti dilansir dari Merdeka, Jumat (12/6/2020).
Setelah belasan hari menjalani isolasi mandiri, dia merasa sangat bosan karena tidak bisa bekerja. Sehari-harinya hanya diam di rumah dan melakukan kegiatan tidak menghasilkan secara ekonomi.
Kondisi tersebut, juga dikeluhkan warga lainnya. Itulah yang menyebabkan warga di sana menolak perpanjangan karantina mandiri karena Corona.
"Dampaknya sangat terasa. Sebetulnya yang bikin kesal itu bukan itu, tetapi kesal dengan stigma masyarakat sekitarnya sehingga warga di sini merasa sangat terganggu sekali," kata Ode.
Dia mengungkapkan, seringkali mendengar pandangan negatif dari warga sekitar kampungnya. Seakan-akan, lanjut dia, warga Desa Samida membawa sesuatu yang negatif.
Tidak jarang, saat bertemu muka, warga kampung sebelah langsung menghindar dan bahkan mencemoohnya.
"Saya juga punya anak. Kalau tahu anak saya digitukan juga sangat kesal sekali," ungkap Ode.
Â
Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:
Emosi
Hal yang sama pun dirasakan warga lainnya, Oop Hayatullah (32). Oop mengaku seringkali mendengar cemoohan warga kampung lain. Hal tersebut pun kemudian menjadikan warga kampung tempatnya tinggal menanggung beban psikologis.
"Kadang-kadang kan suka pasilingsingan (bertemu di jalan) di kebun dengan warga dari kampung sebelah. Kalau dia lagi sama rekannya pasti langsung bilang, 'Awas ada warga yang diisolasi.' Kalau dengar itu teh suka emosi, tapi saya tahan. Kalau tidak tahan mah bisa jadi malah gelut (berantem)," kata Oop.
Namun, dia menyambut baik tes swab massal ke kampungnya. Sebab, tes tersebut dapat memastikan keadaannya warga desanya. Dia yakin, swab juga bisa menekan stigma negatif dari masyarakat ke kampungnya.
Oop berharap pemerintah bisa lebih meningkatkan sosialisasi tentang Covid-19 dan virus Corona ke masyarakat. Sebab, kata dia, jika masyarakat paham, mereka tak akan berpandangan negatif.
"Pandangan itu muncul karena ketidaktahuan. Kalau sosialisasinya bagus, masyarakat paham, mungkin pandangan negatif itu tidak terjadi. Sekarang mah kan jadinya begini. Masyarakat di kampung saya saja jadinya dapat bebas psikologis," tutup Oop.
Â
Reporter: Mochammad Iqbal
Sumber: Merdeka
Advertisement