Jakarta - Total kasus positif virus corona penyebab Covid-19 di Indonesia telah menyentuh lebih dari 200 ribu. Belakangan, setiap hari terdapat 3.000-an kasus baru di Indonesia.
Tingkat kematian akibat Covid-19 di Indonesia juga sangat tinggi. Pada April lalu, persentase kematian akibat Covid-19 di Indonesia mencapai sembilan persen, lebih tinggi dari tingkat kematian di dunia.
Hingga 10 September 2020, total korban meninggal dunia akibat Covid-19 di Indonesia mencapai 8.456 jiwa. Pada hari itu juga tercatat 120 orang meninggal dalam satu hari akibat Covid-19.
Advertisement
Tapi, awal pekan ini, Ketua Komite Kebijakan Pengendalian Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional, Airlangga Hartarto, mengklaim, tingkat kematian akibat Covid-19 di Indonesia menurun sampai di angka 4,1 persen.
Namun, jumlah itu masih lebih tinggi dari tingkat kematian global yang berada di angka 3,26 persen. Melihat tingginya angka kematian akibat Covid-19 mungkin bisa menggambarkan bagaimana wajah penanganan pandemi di Tanah Air.
Apabila dibandingkan dengan negara tetangga seperti Thailand misalnya, hingga 10 September 2020 terdapat 3.446 kasus, di mana 58 orang di antaranya meninggal dunia. Sementara di Malaysia, kasus mencapai 9.559 dan menyebabkan kematian 128 orang di antaranya.
Perlu diketahui, tingkat kematian akibat Covid-19 diperoleh dengan menghitung jumlah pasien meninggal dibagi dengan kasus positif dalam sebuah negara, kemudian dikali 100 persen.
Tidak bisa dipungkiri, tingkat kematian akibat Covid-19 diyakini berkaitan dengan usia dan penyakit bawaan pasien. Usia tua dan penyakit bawaan merupakan kombinasi faktor mematikan yang dapat membawa risiko terburuk infeksi Covid-19.
Sayangnya, data pasien Covid-19 berisiko berdasarkan kelompok umur dan penyakit bawaan tidak tercatat dengan baik di Indonesia. Situs kawalcovid19.id pada April lalu sempat mencatat tren mengejutkan tentang data tingginya kelompok usia produktif di Indonesia yang menjadi korban meninggal akibat Covid-19.
Dalam penelitian berjudul "Cardiovascular risk scores in Indonesia", yang dipublikasikan pada 2019 berdasarkan data 2014, sebanyak 2/3 penduduk Indonesia berusia di atas 40 tahun memiliki risiko meninggal akibat penyakit jantung
Hal ini juga didukung data BPJS yang di 2019 membayar Rp 11,5 triliun klaim perawatan jantung dan stroke. Melihat tingginya tingkat kematian akibat penyakit penyerta di negara lain, dipadukan dengan temuan tentang tingginya prevalensi penyakit jantung di kalangan usia produktif, kedua hal ini konsisten untuk menjelaskan tren tingginya kematian akibat Covid-19 di kelompok usia produktif di Indonesia.
Kelompok usia kurang dari 30 tahun: Perempuan berpeluang meninggal 5% sedangkan laki-laki 9%. Atau, kelompok lanjut usia: Perempuan berpeluang meninggal 13% sedangkan laki-laki 21%.
Yang juga terlihat adalah bahwa mortalitas di kelompok usia muda pun ternyata tidak kecil. Temuan ini menunjukkan satu atau dua dari 20 orang berusia muda berpeluang meninggal jika terjangkit Covid-19. Tidak tampak perbedaan nyata antara 30 tahunan dengan 40 tahunanan.
Baru ketika menapak lanjut usia (50 tahunan) terlihat adanya lonjakan (tambahan 7%), di mana satu dari sepuluh pasien Covid-19 berusia 50-an berpeluang meninggal. Selain itu, proses pemulihan pasien juga dihubungkan dengan kekuatan sistem imun tubuh dalam melawan virus corona.
Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI), Hermawan Saputra, mengatakan, Indonesia memiliki angka kematian corona yang tinggi karena dua hal, yaitu kapasitas testing yang tidak maksimal dan kebijakan pengendalian yang kurang ketat.
"Kalau kita lihat Amerika, mereka memang angka penderitanya besar, itu karena kapasitas testingnya juga besar. Jadi, kemampuan testing cepat, perawatan cepat, sehingga persentase angka kematian bisa lebih rendah daripada Indonesia," jelas Hermawan Saputra saat dihubungi Liputan6.com.
"Di Indonesia, kita tidak memiliki kemampuan testing yang mumpuni, sehingga masuk bulan keenam (setelah pasien pertama), angka kita kurang lebih baru 200 ribu positif. Padahal, di lapangan bisa lebih dua kali lipat dari itu."
Sementara itu, Epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono, menilai Indonesia bahkan belum mencapai puncak dari gelombang pertama Covid-19. Padahal, beberapa negara lain sudah berhasil menekan puncak gelombang kedua dari wabah virus yang pertama kali muncul di Wuhan, Tiongkok ini.
"Kalau (negara) sudah siap, kalau ada gelombang kedua, dalam waktu seminggu bisa ditekan. Kita kan enam bulan pertama saja gelombang pertama belum selesai," ujar Pandu Riono saat dihubungi Liputan6.com.
"Nanti gelombang kedua baru datangnya jangan-jangan setahun lagi. Berapa tahun Indonesia menyelesaikan pandemi ini? Sekarang kita menekan kasus dulu deh."
Laju kecepatan penyebaran virus corona di Indonesia terus melesat, tapi jumlah tes Covid-19 per hari baru mencapai 30 ribuan orang, dan angka sebesar itu pun sesungguhnya baru dilakukan sejak 8 September 2020, setelah Presiden Jokowi meningkatkan target pemeriksaan Covid-19 dari 20 ribu menjadi 30 ribu per hari.
Menurut KawalCovid-19, idealnya Indonesia harus menaikkan kapasitas testing Covid-19 sampai 300 ribu per hari. Hal tersebut seiring dengan banyaknya penduduk Indonesia yang kini diperkirakan mencapai 275 juta orang.
Kasus Covid-19 yang terus bertambah dalam dua pekan terakhir hingga menyentuh angka 3.000-an per hari, membuat tingkat keterisian tempat tidur di rumah sakit (RS) juga meningkat. Padahal, angka 3.000-an itu bisa jadi bertambah berkali lipat jika kapasitas testing kita lebih maksimal. Menurut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Doni Monardo, kondisi itu berdampak pada peningkatan kapasitas tempat tidur di RS yang menjadi lebih dari 40 persen.
Apabila penularan virus corona semakin tidak terkendali, layanan RS terancam kolaps. Apalagi sudah banyak pula korban dari pihak tenaga kesehatan, baik dokter maupun perawat, yang meninggal dunia akibat terinfeksi Covid-19.
Data per 7 September 2020 yang dirilis Pandemictalks, kapasitas tempat tidur rumah sakit Covid-19 turun 3.423 tempat tidur di saat jumlah menembus 200 ribu lebih kasus. Standar Bed Occupancy Ratio (BOR) atau angka yang menunjukkan persentase penggunaan tempat tidur (TT) di unit rawat inap (bangsal) Indonesia 49,8 persen. Sisa tempat tidur RS di Indonesia tinggal 18.630 bed.
Saksikan Video Covid-19 Berikut Ini
Hasrat Memenangi Pertempuran Kesehatan dan Ekonomi
Presiden Joko Widodo telah menekankan agar seluruh jajarannya mengutamakan segi kesehatan dalam penanganan pandemi Covid-19. Menurut Jokowi, akan berbahaya jika aspek pemulihan ekonomi didahulukan ketimbang kesehatan.
"Yang pertama perlu saya ingatkan, sekali lagi bahwa kunci dari ekonomi kita agar baik adalah kesehatan yang baik. Kesehatan yang baik akan menjadikan ekonomi kita baik," terang Jokowi dalam rapat kabinet paripurna di Istana Negara, Jakarta, Senin (7/9/2020).
"Artinya, fokus kita nomor satu adalah kesehatan dalam penanganan Covid-19. Memang kuncinya ada di sini," tambahnya.
Pernyataan Presiden Jokowi itu bisa menjadi gerbang masuk dalam perubahan pada upaya mitigasi wabah. Terlebih status Indonesia sebagai salah satu negara yang dilarang puluhan negara untuk dikunjungi karena tingginya kasus Covid-19.
Seperti diketahui, sebanyak 59 negara menutup pintu bagi warga Indonesia. Malaysia menjadi salah satu negara yang juga menutup pintu bagi warga negara Indonesia. Selain itu ada Australia, Jepang, Brunei Darussalam, Afrika Selatan, Hungaria, dan Uni Emirat Arab.
Amerika Serikat juga melarang warganya mengunjungi Indonesia. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) telah mengeluarkan pengingatan level 3 (tertinggi) bagi warga AS yang berkunjung ke Indonesia.
Pandu Riono berharap ada evaluasi dari pemerintah Indonesia terhadap penanggulangan pandemi selama enam bulan terakhir. Sebab, evaluasi retrospektif penting untuk penanggulangan pandemi ke depannya.
"Dan kemudian tiba-tiba, baru kali ini presiden mengatakan, pandemi jadi prioritas. Ini berarti bagaimana supaya enam bulan mendatang pandemi ini menjadi prioritas. Apa yang harus dilakukan, apa yang belum dilakukan dan yang belum berhasil dilakukan atau yang belum dilakukan sama sekali, karena terkonsentrasi melakukan pemulihan ekonomi," ungkap Pandu.
"Makanya, pandemi itu jangan diabaikan. Diatasi dulu, nanti semuanya akan ikut. Pemulihan ekonomi akan berjalan, ini semua berjalan, kalau negara kita sudah aman. Sekarang saja, kita bikin pariwisata, enggak ada orang yang mau datang ke Indonesia, dilarang bahkan. Warga Indonesia juga tidak boleh masuk ke negara lain, bagaimana coba? Kita tuh harus aman dulu baru produktif."
Di sisi lain, Hermawan Saputra mengungkapkan, dari segi kebijakan, pemerintah Indonesia mencoba memenangkan dua pertempuran sekaligus, yakni kesehatan dan ekonomi. Tapi, hal itu tak bisa dilakukan secara bersamaan.
"Kalau kita lihat, negara-negara Eropa memang pertumbuhan ekonominya negatif sekarang. Tetapi, hampir semua negara seperti Jerman, Prancis, Italia dan Spanyol, mereka melakukan lockdown. Kebijakan ini terbukti mampu memutus mata rantai," ujarnya.
"Di negara tetangga di ASEAN juga sama seperti Thailand, Malaysia, dan Vietnam melakukan lockdown. Jadi, hanya kita yang tidak melakukannya, karena kita ingin memenangkan dua-duanya yaitu ekonomi dan kesehatan. Tapi, mustahil memenangkan dua-duanya di kala pandemi seperti ini."
Ke depannya, kata Hermawan, pemerintah harus mencari waktu atau momen yang tepat untuk memutus penyebaran Covid-19.
"Anggaplah sekarang relaksasi ekonomi yang dilakukan ini bagian dari upaya masyarakat dan pemerintah untuk meningkatkan daya tahan ekonomi, baik secara keluarga maupun nasional. Begitu nanti kita lihat nanti daya tahan ekonomi sudah siap, maka kita harus juga siap memperketat kembali situasi, apakah PSBB atau kebijakan lain, tetapi concern-nya memutus mata rantai Covid-19," ucap dia.
Advertisement
Tingginya Tingkat Kematian Tenaga Kesehatan
Menurut catatan Amnesty International Indonesia pada 9 September 2020, sebanyak 181 tenaga kesehatan meninggal dunia akibat Covid-19. Jumlah ini terdiri atas 112 dokter dan 69 perawat.
Terkait angka kematian dokter yang cukup tinggi, menurut Hermawan Saputra, hal itu terjadi karena adanya penumpukan pasien di rumah sakit. Harusnya upaya pengendalian Covid-19 sudah dilakukan sejak di lingkungan kecil seperti RT atau RW.
"Persoalannya kita mau tidak melakukan upaya pengendalian sejak dari komunitas. Itu yang bisa melakukan pencegahan yang optimal agar tidak tertumpuk di rumah sakit. Karena tertumpuk di rumah sakit, maka tidak terelakkan tenaga kesehatan ikut juga jadi korban," jelas dia.
Sementara itu, Pandu Riono meminta adanya audit dan perbaikan sistem agar jumlah tenaga kesehatan di Indonesia yang meninggal akibat Covid-19 tidak semakin banyak.
"Di negara lain, dokter-dokter tidak banyak yang meninggal dalam menangani Covid-19, kenapa di Indonesia banyak? Itu harus diaudit, diatasi, dan dievaluasi. Kenapa kok dokter kita banyak yang mati. Apakah APD-nya kurang? apakah ada penyebab lain. Jadi setiap kematian petugas kesehatan itu harus diaudit," ungkap Pandu.
"Sehingga kita bisa memperbaiki supaya tidak terjadi lagi. Karena enggak pernah dievaluasi, ya dibiarkan terus mati."
Padahal, jumlah tenaga kesehatan yang banyak sangat dibutuhkan. Pandu menyarankan sistem pelayanan kesehatan juga diperkuat agar para dokter dan perawat terlindungi.
Perbaikan Signifikan Mitigasi Pandemi
Dalam menghadapi situasi pandemi, peran Kementerian Kesehatan (Kemenkes) seharusnya begitu sentral. Pandu Riono menyarankan agar Kemenkes berada di garis depan penanganan Covid-19 di Indonesia.
"Kemenkes sangat penting. Jangan lagi pandemi ini direspons oleh satgas. Ini masalah kesehatan, ditangani oleh kesehatan. Jadi, kalau Menteri kesehatan ditanya selama 6 bulan ini ngapain saja, mereka bisa bilang: kan yang mengerjakan satgas. Mereka bisa berargumentasi begitu. Padahal yang punya tupoksinya, yang punya pekerjaan, bagaimana meningkatkan testing, kan Kemenkes."
Pandu juga meminta masyarakat jangan menganggap vaksin sebagai keajaiban yang bisa menyetop pandemi. Vaksin adalah hal penting, tapi itu merupakan penyelesaian jangka panjang, bukan jangka pendek.
"Jangka pendek itu adalah penguatan surveilans. Testing, pelacakan kasus, isolasi, mendorong penduduk supaya patuh menggunakan masker, menjaga jarak, cuci tangan. Itu yg paling penting. Vaksin mungkin baru ada tahun depan. Untuk memvaksinasi seluruh penduduk Indonesia butuh waktu berapa lama?"
"Di tengah pelayanan kesehatan kita sudah porak poranda seperti ini. Banyak dokter yang mati. Nanti sampai Desember (2020) jangan-jangan lebih banyak lagi dokter yang mati, karena tidak ada perbaikan sistem. Tiap hari bisa ada yang mati. Belum lagi banyak petugas kesehatan lainnya, padahal mereka itu nanti masih diperlukan untuk memvaksinasi banyak orang," paparnya.
Pola penyakit menular ini juga menuntut tindakan khusus dalam penanganannya. Sekali lagi, pemerintah perlu menegakkan pembatasan atau jaga jarak sosial serentak dan menyediakan pengaman sosial kepada yang terdampak, terutama kepada pekerja informal.
Semuanya berhak mendapat perlindungan nyata dari pemerintah. Kesadaran diri masyarakat akan bahaya Covid-19 juga perlu kembali ditumbuhkan, agar sikap abai dan ketidaktahuan mereka sebelumnya berubah menjadi lebih positif.
Selain itu, perbaikan signifikan upaya mitigasi dalam menghadapi pandemi Covid-19 sangat dibutuhkan secepatnya, sebelum layanan rumah sakit kolaps. Sebelum lebih banyak lagi jatuh korban dari tenaga kesehatan. Dan sebelum orang-orang yang kita kenal meninggal akibat Covid-19.
Setiap nyawa sedemikian berharga. Kematian bukan sekadar angka dan statistik. Bukan lagi tentang berapa banyak yang meninggal atau tingkat kematian, sebab ada makna dari setiap kematian bagi orang lain.
Advertisement