Peringatan Hari Santri 22 Oktober, Gus Jazil: Kuatkan Nilai-Nilai Persatuan Di Tengah Masyarakat

Di tengah berbagai perbedaan, Gus Jazil mengajak segenap elemat ummat islam memperkokoh nilai-nilai persatuan dan kesatuan.

oleh Gilar Ramdhani diperbarui 18 Okt 2020, 15:04 WIB
Diterbitkan 18 Okt 2020, 15:04 WIB
Peringatan Hari Santri 22 Oktober, Gus Jazil: Kuatkan Nilai-Nilai Persatuan Di Tengah Masyarakat
Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid.

Liputan6.com, Jakarta Wakil Ketua MPR Jazilul Fawaid berharap dalam peringatan Hari Santri pada 22 Oktober tahun 2020 ini, bangsa Indonesia semakin memperkuat nilai-nilai persatuan dan kesatuan. “Di tengah berbagai perbedaan, mari kita kokohkan nilai-nilai tersebut,” ujarnya, Jakarta (17/10/2020). 

Hal demikian dikatakan sebab saat melaksanakan Resolusi Jihad, 22 Oktober 1945, guna mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia dari upaya kembalinya penjajahan bangsa asing, seluruh komponen masyarakat bersatu padu berjuang bersama di medan laga. 

Ketika Resolusi Jihad diserukan oleh Rais Akbar NU Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari, seluruh ummat Islam, laki-laki, perempuan, dan anak-anak yang berada di radius 94 km dari Surabaya, wajib turun ke medan laga. Sedang ummat Islam yang berada di luar radius 94 km, hukumnya fardu kifayah. KH Hasyim Asy’ari dalam Resolusi Jihad menanamkan sikap patriotisme dan mencetuskan sikap dan pandangan bahwa cinta tanah air sebagaian dari iman, ‘hubbul wathan minal iman’. 

“Sikap inilah yang membakar semangat rakyat untuk berjuang,” ujar Jazilul Fawaid. “Beragam element ummat Islam dengan mengedepankan persatuan akhirnya mampu mempertahankan kemerdekaan Indonesia,” politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu.

Dengan belajar pada seruan Resolusi Jihad yang mampu menyatukan seluruh kelompok masyarakat untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, menurut pria yang akrab dipanggil Gus Jazil tersebut, nilai-nilai yang ada sangat relevan untuk diimplementasikan oleh bangsa Indonesia pada saat-saat ini.

Diakui, bangsa Indonesia terdiri dari beragam suku, agama, bahasa, dan budaya. Penduduk yang ada di Indonesia pun tersebar di ribuan pulau yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, dari Talaud hingga Pulau Rote. “Perbedaan yang demikian sudah diselesaikan dalam semboyan Bhinneka Tunggal Ika dan semangat ke-NKRI-an,” ujar Jazilul Fawaid.

 

Beda Sikap Politik, Tapi Persatuan Harus Terdepan

Perbedaan yang dinamis saat ini menurut alumni PMII itu adalah perbedaan sikap politik dan pilihan. Perbedaan sikap politik dan pilihan menurutnya melintasi batas suku, agama, dan bahasa. “Nah ini yang agak susah,” ujarnya sambil tersenyum. Dirinya menegaskan meski berbeda sikap politik dan pilihan namun harus tetap mengedepankan nilai-nilai persatuan. 

“Di masa menjelang dan saat mempertahankan kemerdekaan Indonesia, di antara masyarakat juga ada yang berbeda sikap politik namun tetap mengedepankan kepentingan bangsa,” tegasnya.

”Menjelang kemerdekaan antara golongan yang disebut tua dan golongan yang disebut muda pun juga tak sama namun mereka tetap satu tujuan Indonesia merdeka,” tambahnya.

Bila masyarakat tetap mengedepankan nilai-nilai persatuan maka perbedaan suku, bahasa, agama, budaya, serta sikap politik dan pilihan tidak akan menjadi ancaman disintegrasi bangsa.

“Bila tetap mengutamakan Indonesia maka tidak akan ada yang mengancam memisahkan diri,” paparnya.

Pria asal Pulau Bawean, Kabupaten Gresik, Jawa Timur, itu ingin nilai-nilai persatuan ada dalam hati dan jiwa seluruh rakyat Indonesia. “Bila ada nilai persatuan maka ada Indonesia dan bila ada Indonesia maka ada nilai persatuan,” tegasnya.

 “Moment Hari Santri waktu yang tepat untuk membangkitkan nilai-nilai tersebut,” tambahnya.

 

(*)

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya