Konsep KEK dan Free Trade Zone Dinilai Tidak Relevan Lagi Digunakan

Sebaran galangan kapal nasional sampai saat ini tidak merata. Dari 141 pelabuhan di Indonesia yang dikelola BUMN pelabuhan, hanya 20% di antaranya yang memiliki galangan kapal.

oleh Liputan6.com diperbarui 28 Des 2020, 22:23 WIB
Diterbitkan 28 Des 2020, 14:19 WIB
Mengintip Perbaikan Kapal Nelayan di Masa Pandemi COVID-19
Buruh melakukan perbaikan kapal nelayan di Galangan kapal, Muara Angke, Jakarta, Minggu (23/12/2020). Bengkel kapal tersebut menjadi tumpuan pendapatan para pengusaha kapal barang dan ikan. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Liputan6.com, Jakarta Direktur National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi menilai menilai konsep sentralisasi Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) ataupun Free Trade Zone sudah tidak relevan lagi ketika industri yang ada di wilayah tersebut justru berkompetisi dengan industri sejenis di dalam negeri.

Sebaran galangan kapal nasional sampai saat ini tidak merata. Dari 141 pelabuhan di Indonesia yang dikelola BUMN pelabuhan, hanya 20% di antaranya yang memiliki galangan kapal. Sebagian besar terpusat di Batam, Tanjung Priok (Jakarta), dan Surabaya.

"Bagaimana bisa relevan ketika misalnya industri kapal dan galangan yang sudah menyebar dibanyak wilayah kemudian harus menerima kenyataan harus berkompetisi dengan galangankapal di Batam yang menerima insentif tersebut,” tuturnya dalam keterangan tertulis, Senin (28/12/2020).

Dalam kajian yang dilakukan PT PAL tahun 2016 pasca diterapkannya Peraturan Pemerintah10/2012 tentang Perlakuan kepabeanan, perpajakan, dan cukai serta tata laksana pemasukandan pengeluaran barang ke dan dari serta berada di kawasan yang telah ditetapkan sebagaikawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas, jelas terlihat adanya ketidakadilan yangterjadi akibat sistem perpajakan yang diterapkan.Industri kapal dan galangan di wilayah Batam cukup membayar pajak 1,5%-3%.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Kesulitan Bergerak

Sementara pengusaha kapal dalam negeri di luar wilayah Batam, harus menanggung pajak hingga 19%-30,5%. Ini jauh lebih mahal dibandingkan impor kapal yang hanya dikenai pajak sekitar 12,5%-17,5%.

“Kondisi ini menyebabkan galangan kapal di Indonesia yang padat teknologi, modal dan tenaga kerja kesulitan bergerak sehingga menyebabkan daya serap bahan baku utama mereka yaknibaja ikut tersendat,” tuturnya.

Dalam kondisi seperti ini mestinya Pemerintah memikirkan ulang konsep Kawasan EkonomiKhusus ataupun Free Trade Zone dengan kembali pada konsep klasterisasi industri yangbertujuan mengintegrasikan industri.

“Sebagai contoh industri galangan seharusnya berdekatan dengan pelabuhan dan industri bajasebagai bahan baku. Itu idealnya, dalam kondisi saat ini semestinya diberikan insentif terhadapindustri-industri yang saling berkaitan,” paparnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya