DPR Kembali Pertanyakan Relaksasi Ganja untuk Kesehatan

Petrus menyebut, melegalkan ganja untuk kesehatan masih sangat sedikit dilakukan negara di dunia.

oleh RinaldoDelvira Hutabarat diperbarui 19 Mar 2021, 00:03 WIB
Diterbitkan 19 Mar 2021, 00:03 WIB
Ilustrasi Ganja
Ilustrasi ganja. (dok. Unsplash.com/@exxteban)

Liputan6.com, Jakarta - Anggota Komisi III DPR RI Arsul Sani menyatakan pihaknya menerima banyak masukan agar ada pelonggaran penggunaan ganja untuk kesehatan atau untuk alasan medis. Hal itu disampaikan Arsul dalam rapat kerja bersama Badan Narkotika Nasional (BNN).

"Ada banyak suara yang kami terima, bahkan non-governmental organization (NGO) dari luar negeri juga datang untuk mengadvokasi, ada relaksasi ketentuan ganja untuk kesehatan," kata Arsul di Kompleks Parlemen Senayan, Kamis (18/3/2021).

Arsul mengakui apabila isu tersebut dibahas akan menimbulkan kontroversi.

"Ini saya kira akan menjadi salah satu kontroversi dalam pembahasan Revisi UU No 35 Tahun 2009," ucapnya.

Politikus PPP itu meminta pendapat Kepala BNN terkait usulan relaksasi itu, apakah ada peluang diterapkan di Indonesia. Mengingat telah ada beberapa kasus di mana pemakai ganja untuk obat justru ditangkap polisi.

"Harus digarisbawahi ini untuk kesehatan. Dalam ketentuannya saat ini masih sempit sekali peluangnya. Kita sudah saksikan kasus seperti Fidelis di Kalbar dan kasus lain," ucapnya.

Menjawab Arsul, Kepala BNN Irjen Pol Petrus Reinhard Golose menyebut memang sudah ada beberapa negara yang melegalkan ganja, namun ia menyebut tidak banyak.

"Ganja ini memang jadi tren di dunia. Kalau kita lihat di Amerika, dari 50 negara bagian itu 48 sudah setuju, tapi untuk rekreasional dengan aturan sangat rumit," katanya.

Petrus menyebut, melegalkan ganja untuk kesehatan masih sangat sedikit dilakukan negara di dunia.

"Negara-negara dunia masih di atas 70 persen tidak melegalkan untuk rekreasional, untuk kesehatan lain lagi, tapi untuk kesehatan yang dilegalkan masih amat sangat strik, lebih cenderung tidak (legal)," jelasnya.

Wacana pelonggaran penggunaan ganja untuk kesehatan atau untuk alasan medis memang mengemuka sejak tahun lalu. Negara-negara anggota The United Nations drug agency's, Rabu 2 Desember 2020 memilih untuk menghapus ganja dari kategori obat-obatan yang paling berbahaya dalam kontrol penggunaannya di dunia medis.

Hal ini dilakukan mengikuti rekomendasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk mempermudah penelitian.

UN Office on Drugs and Crime's governing body melakukan pemilihan dengan jumlah suara 27 banding 25, demikian dikutip dari laman Channel News Asia, Jumat (4/12/2020).

Dalam pemungutan suara yang diikuti 53 negara anggota, terdapat 27 suara menyatakan dukungan dengan mengizinkan ganja untuk penggunaan medis. Sekitar 25 suara menyatakan keberatan dan satu abstain.

Pemungutan suara tersebut mengikuti rekomendasi WHO tahun 2019 bahwa "ganja dan resin ganja harus diawasi pada tingkat kontrol guna mencegah kerusakan yang disebabkan oleh penggunaan."

Pernyataan PBB pada pertemuan Komisi Narkotika di Wina tidak menyebutkan negara mana yang mendukung atau menentang perubahan tersebut.

Konvensi tersebut menyatakan bahwa salah satu pihak mengambil "langkah-langkah pengendalian khusus yang menurut pendapatnya sangat diperlukan dengan memperhatikan sifat-sifat" dari obat yang tercantum dalam daftar tersebut.

WHO merekomendasikan agar ganja tetap terdaftar di sana, dengan mencatat "tingginya tingkat masalah kesehatan masyarakat yang timbul dari penggunaan ganja".

Dikutip dari laman resmi PBB, disebutkan bahwa adanya potensi pengobatan dan terapi dari obat-obatan dengan bahan ganja yang umum digunakan tetapi sebagian besar masih bersifat ilegal.

WHO mengklasifikasikan cannabidiol (CBD) sebagai senyawa tidak memabukkan yang memiliki peran penting dalam terapi kesehatan selama beberapa tahun terakhir. Penggunaan ganja dan produk turunannya seperti cannabidiol (CBD) dan senyawa nonintozxicating untuk medis telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir.

Saat ini lebih dari 50 negara telah menggunakan ganja untuk obat seperti di Kanada, Uruguay, dan 15 negara bagian AS yang telah melegalkan untuk penggunaan rekreasi. Sementara Meksiko dan Luksemburg akan menyusul melegalkan penggunaan ganja untuk rekreasi.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Bukan Melegalkan

Ganja atau Mariyuana
Ilustrasi Foto Ganja (iStockphoto)

Kendati demikian, Badan Narkotika Nasional (BNN) menegaskan bahwa Komisi Obat dan Narkotika (CND) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak pernah melegalkan penggunaan ganja. Karena itu, dia meminta masyarakat jangan sampai salah paham terkait hasil rekomendasi dari organisasi internasional itu.

Deputi Hukum dan Kerjasama BNN Puji Sarwono mengatakan, rekomendasi PBB hanya menyetujui bahwa ganja yang sebelumnya masuk dalam Schedule IV atau sangat berbahaya bagi kesehatan dan tidak memiliki manfaat medis, berpindah ke Schedule I alias dapat memiliki manfaat medis namun ada resiko besar penyalahgunaan.

"Artinya ganja masih tetap dalam Konvensi Narkotika 1961, yang artinya masih harus berada di bawah international control regime yang sangat ketat, karena resiko penyalahgunaan yang besar. Bukan berarti menjadi substansi legal untuk digunakan bagi keperluan rekreasional," tutur Puji di Kantor BNN, Cawang, Jakarta Timur, Selasa 8 Desember 2020.

Puji menjelaskan, rekomendasi Komisi Obat dan Nakotika PBB pun mengakui kedaulatan tiap negara dan memberikan hak penuh dalam mengatur atau pun melarang penggunaannya secara domestik.

"Semoga masyarakat luas itu mengerti dan tidak tersesat dengan putusan berkaitan ganja ini. Jadi ganja sama sekali tidak dilegalkan, tapi hanya berpindah dari Schedule IV ke Schedule I," kata dia.

"Hanya berbeda dua negara saja. Itu menunjukkan tidak semua negara menyetujui perpindahan ganja dari Schedule IV ke Schedule I," imbuh Puji.

Dia menyebut, larangan penggunaan ganja merupakan keputusan dari pemikiran yang panjang. Pada 2015 lalu, Presiden Joko Widodo atau Jokowi dalam Hari Keluarga mengingatkan bahwa Indonesia memiliki anugerah demografis yang perlu dijaga.

"Berdasarkan demografi, Indonesia ini diprediksi bahwa penduduk kita sekitar 297 juta kira-kira usia produktifnya 70 persen, artinya 200 juta lebih. Kekhawatirannya apakah demografi ini akan menjadi bencana atau anugerah bagi kita. Akan menjadi bencana kalau generasi muda tidak disiapkan dengan baik, akan menjadi bencana kalau usia produktif itu tidak berkualitas," jelas dia.

Kualitas tersebut tentunya disebabkan beberapa faktor seperti pendidikan, kesehatan, hingga ketersediaan lapangan kerja. Jika salah satu faktor misalkan kesehatan tidak disikapi dengan baik, maka akan sangat merugikan.

"Apakah kita yakin sampai 2030 ini kita akan menerima anugerah dari bonus demografi ini? Dari masalah SDM, ini terkait ganja bagaimana kita mempersiapkan negara kita menjadi lebih baik kalau banyak di masyarakat kita yang berkeinginan melegalkan ganja," kata Puji.

Lebih lanjut, tanaman ganja di Indonesia berbeda kandungannya dengan yang tumbuh di mancanegara. Kandungan Cannabidiol (CBD) di dalamnya lebih rendah dibandingkan Tetrahydrocannabibol (THC) dan tentunya menyulitkan dalam peruntukan medis.

"CBD Itu zat aktif yang bisa digunakan untuk epilepsi. Tapi sekarang sudah dinyatakan tidak bisa mudah serta merta mengambil CBD. Karena akan terbawa juga THC-nya, yang psikoaktif tadi. Nah di Indonesia kandungan THC-nya jauh lebih besar, CBD-nya kecil sekali. Jadi kesulitannya itu dan tidak sama kondisi alam Indonesia dengan negara lain," Puji menandaskan.

 

 

Usulan Ekspor Ganja

Yang jelas, Arsul Sani bukanlah legislator pertama yang menyoal ganja untuk kesehatan. Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PKS, Rafli Kande setahun lalu bahkan mengusulkan kepada pemerintah untuk menjadikan tanaman ganja sebagai barang komoditas ekspor.

Hal itu menurutnya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan farmasi. Rafli mengatakan, secara agama tanaman ganja tidak haram. Menurut dia, yang haram adalah penyalahgunaannya.

"Secara hukum agama, tumbuhan ganja pada dasarnya tidak haram. Yang haram adalah penyalahgunaannya," ujar Rafli, Jumat (31/1/2020).

Karena itu pula, dia mendorong legalisasi ganja untuk kebutuhan medis.

"Legalisasi ganja Aceh itu untuk komoditi ekspor, sebagai bahan kebutuhan medis dan turunannya, bukan untuk penyalahgunaan dan bebas dipergunakan," katanya.

Lebih lanjut, legislator PKS dari Dapil 1 Aceh itu menjelaskan soal usulannya mengskpor ganja yang disampaikan saat rapat kerja bersama Menteri Perdagangan Agus Suparmanto pada Kamis 30 Januari 2020.

"Legalisasi ganja Aceh yang saya tawarkan merupakan mekanisme pemanfaatan ganja Aceh untuk bahan baku kebutuhan medis dan turunannya berkualitas ekspor ke seluruh dunia yang membutuhkan, dan akan diatur dalam regulasi dan dikawal oleh negara," kata Rafli.

Melalui perjanjian perdagangan bebas, kata dia, akan ada produk unggulan ke pasar dunia, termasuk ganja Aceh. Dia berharap usulan itu dapat disempurnakan dengan kajian ilmiah oleh pakar di bidangnya.

Rafli pun mengusulkan ada penetapan zonasi industri ganja untuk medis di Aceh. Dia juga mengusulkan membuat mekanisme tersistem agar program legalisasi ganja ini sukses.

"Penetapan zonalisasi pilot project industri ganja Aceh untuk kebutuhan medis dan turunannya, dijadikan kawasan khusus di Aceh yang selama ini ganja bisa tumbuh subur," jelasnya.

Rafli bilang, pemanfaatan ganja untuk medis telah diakui dan dilakukan oleh sejumlah negara maju. Namun, dia mengakui secara aturan hukum terbentur UU 35/2009 Pasal 8 Ayat 1 tentang narkotika golongan 1 tidak dapat digunakan untuk kebutuhan medis.

Namun, Rafli menyebut, jika pemerintah serius untuk mengelola ganja Aceh dengan bijaksana, dapat mengajak DPR dan instansi terkait untuk melakukan revisi.

"Jika pemerintah serius mau kelola dengan bijaksana, tinggal kita ajak teman DPR dan seluruh institusi terkait, kita revisi, yang terpenting kita harus menutup celah penyalahgunaan," jelasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya