Kepala PPATK: Minimnya Perampasan Aset Ironi Penegakan Hukum

Kepala PPATK Dian Ediana berharap aparat penegak hukum yang menangani tindak pidana berkaitan ekonomi turut menjerat pelaku dengan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

oleh Fachrur Rozie diperbarui 07 Apr 2021, 14:28 WIB
Diterbitkan 07 Apr 2021, 14:28 WIB
sumpah
Dian Ediana Rae membacakan sumpah jabatan sebagai Kepala Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang baru menggantikan Kiagus Ahmad Badaruddin di Istana Negara, Jakarta, Rabu (6/5/2020) pagi. (Ist)

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Pusat Analisis Transaksi dan Keuangan (PPATK) Dian Ediana berharap aparat penegak hukum yang menangani tindak pidana berkaitan ekonomi turut menjerat pelaku dengan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Menurut dia, dari ribuan analisis yang dilakukan pihaknya terkait transaksi keuangan dalam tindak pidana, hanya ratusan yang diusut oleh penegak hukum. Padahal, dari ribuan analisis tersebut telah diserahkan kepada penegak hukum.

"PPATK setidaknya telah menyerahkan sekitar 5.000 analisis kepada aparat penegak hukum, namun hanya ratusan yang ditangani," ujar dia dalam diskusi webinar Membedah Krusial Pengesahan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana melalui virtual, Rabu (7/4/2021).

Dia menyebut, setiap tindak pidana yang berkaitan dengan ekonomi seperti tindak pidana korupsi, pendanaan terorisme, narkoba, hingga ilegal loging telah dianalisis oleh pihaknya. Namun kebanyakan laporan yang dia berikan kepada penegak hukum, kebanyakan tidak ditindaklanjuti.

"Ini merupakan suatu hal yang menjadi pemikiran berat buat kami. Kami tahu, persoalan kami adalah kami sudah melakukan analisis, pemeriksaan, tapi tidak ditindaklanjuti," kata dia.

Dian mengaku kecewa akan hal itu. Pekerjaan sulit yang telah dilakukan pihaknya guna membantu penegak hukum dalam menelusuri aset hasil tindak pidana, namun laporan yang diberikan pihaknya seolah diabaikan penegak hukum.

"Bisa dikatakan aset yang seharusnya di-recovery bisa sampai Rp 100 triliun, tetapi yang diusut dan (keuangan dari hasil recovery asset) yang diterima negara hanya Rp 1-2 triliunan mungkin. Itu ironi, hukum ada tapi tidak berjalan seperti seharusnya," kata Dian.

 

Saksikan Video Pilihan di Bawah Ini:

Penjera

Menurut Dian, penerapan pasal TPPU atau perampasan aset terhadap pelaku tindak pidana ekonomi merupakan salah satu faktor penjera. Perampasan aset setidaknya membuat pelaku tak melakukan pidana serupa di kemudian hari.

"Faktor salah satu yang kita amati di PPATK tidak ada faktor penjera. Mereka kebanyakan melakukan tindak pidana kemudian pasang badan, dihukum 4 sampai 5 tahun, saat keluar asetnya masih banyak yang tersisa," kata dia.

Oleh karena itu, dia mendorong agar RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Transaski Uang dan Harta masuk dalam prolegnas 2021. Dia menyebut pembahasan RUU tersebut sudah selesai dibicarakan dengan pihak terkait, seperti Menko Polhukam Mahfud Md, Menkumham Yasonna Laoly, hingga Presiden Jokowi.

"Saya banyak sekali melakukan tour, saya berbicara kepada Menkumham bicara soal ini, ke Pak Mahfud Md, terkahir saya berbicara dengan presiden, dan beliau menyetujui agar RUU ini masuk diprolegnas tahun ini atau tahun berikutnya," kata dia.

Apalagi, saat rapat dengar pendapat dengan Komisi III DPR RI, Dian menyebut komisi yang berkaitan dengan hukum, hak asasi manusia, dan keamanan itu sepakat akan membahas RUU Perampasan Aset dan RUU Pembatasan Transaksi Uang dan Harta.

"Satu hal yang mungkin menjadi trigger perampasaan aset, karena setelah belasan tahun ini kami melihat TPPU sangat minimal. Seharusnya aparat penegak hukum yang menyidik, menuntut, harus disertai TPPU. Kenyataannya masih jauh panggang dari api," kata dia.

"Oleh karena itu recovery aset tidak menunjukan hasil yang signifikan, kami sudah gedor-gedor, kami ketemu Kapolri, Jaksa Agung, dan ketua KPK, mohon dukungan setiap kejahatan ekonomi disertai TPPU," Dian menambahkan.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya