Liputan6.com, Jakarta Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (UU MK) pada Selasa (15/6/2021).
Sidang ketiga ini digelar untuk dua permohonan sekaligus, yakni Perkara Nomor 90/PUU-XVIII/2020 yang diajukan oleh Allan Fatchan G.W. yang berprofesi sebagai dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) serta Perkara Nomor 100/PUU-XVIII/2020 yang dimohonkan oleh R. Violla Reinida Hafidz (Pemohon I), M. Ihsan Mualana (Pemohon II), Rahmah Mutiara (Pemohon III), Korneles Materay (Pemohon IV), Beni Kurnia Ilahi (Pemohon V), Giri Ahmad Taufik (Pemohon VI), dan Putra Perdana Ahmad Saifulloh (Pemohon VII).
Baca Juga
Dikutip dari laman mkri.id, semula agenda sidang adalah mendengarkan keterangan DPR dan Pemerintah/Presiden. Akan tetapi, DPR berhalangan hadir karena memiliki agenda yang sama sehingga meminta penundaan waktu sidang.
Advertisement
Senada dengan hal ini, Pemerintah juga meminta penundaan sidang karena memerlukan waktu untuk berkoordinasi dengan berbagai instansi sehubungan dengan materi persidangan.
"Untuk itu sidang hari ini tidak bisa dilaksanakan sehingga ditunda hingga Selasa, 6 Juli 2021 pukul 11.00 WIB dengan agenda mendengarkan keterangan DPR dan Presiden atau Kuasa Pemerintah," ucap Ketua MK Anwar Usman dalam sidang yang digelar di Ruang Sidang Pleno MK.
Sebagaimana diketahui, Pemohon perkara Nomor 90/PUU-XVIII/2020 ini mendalilkan Pasal 15 ayat (2) huruf d, Pasal 22, Pasal 23 ayat (1) huruf d, Pasal 26 ayat (1) huruf b, dan Pasal 87 huruf b UU MK bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 24 Ayat (1), Pasal 28D Ayat (1), dan Pasal 28D Ayat (3) UUD 1945.
Pemohon berpandangan bahwa proses pembentukan UU MK secara formil telah melanggar dan bertentangan dengan ketentuan terkait tata cara pembentukan undang-undang yang diatur dalam UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU P3) sebagai undang-undang pelaksana dari ketentuan Pasal 22A UUD 1945.
Pemohon menilai ketentuan yang ada pada Pasal 15 ayat (2) huruf d terkait perubahan kriteria usia dengan menambah dari usia 47 tahun menjadi usia 55 tahun tersebut tidak memiliki urgensi yang nyata.
Bahkan menurut Pemohon, hal tersebut bertentangan dengan Putusan MK Nomor 7/PUU-XI/2013 sehingga pembentuk undang-undang justru telah melanggar hak warga negara atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum atas ketentuan norma ini.
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Tidak Memenuhi Syarat
Sementara itu, Pemohon Perkara Nomor 100/PUU-XVIII/2020 mendalilkan Pasal 15 ayat (2) huruf d dan huruf h, Pasal 18 ayat (1), Pasal 19, Pasal 20, Pasal 23 ayat (1). Pasal 59 ayat (2), dan Pasal 87 UU MK bertentangan dengan UUD 1945.
Para Pemohon mengatakan jika pembentuk undang-undang telah melakukan penyelundupan hukum dengan dalih menindaklanjuti putusan MK. Menurut para Pemohon, revisi UU MK tidak memenuhi syarat carry over karena pembentuk undang-undang melanggar asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Menurut Pemohon, revisi UU MK juga tidak dapat dipertanggungjawabkan secara akademik dan hanya merupakan formalitas belaka. Proses pembahasannya dilakukan secara tertutup dengan tidak melibatkan publik. Selain itu, Revisi UU MK berdasar hukum undang-undang yang invalid.
Sedangkan untuk pengujian materil, para Pemohon mempersoalkan limitasi latar belakang calon hakim usulan Mahkamah Agung dalam Pasal 15 ayat (2) huruf h UU MK dan kedudukan calon hakim konstitusi sebagai representasi internal lembaga pengusul.
Para Pemohon juga mendalilkan penafsiran konstitusional terhadap sistem rekrutmen hakim konstitusi dalam Pasal 19 UU MK beserta Penjelasannya dan Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU MK. Ditambah pula para Pemohon juga mempersoalkan penafsiran konstitusional usia minimal menjadi hakim konstitusi dan masa bakti hakim konstitusi.
Advertisement