Soal PPKM Darurat, Epidemiolog: Bukan Sanksi, Tapi Kesadaran Masyarakat

Masdalina mengatakan, penerapan sanksi tanpa adanya kesadaran masyarakat hanya akan sia-sia belaka.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 02 Jul 2021, 13:51 WIB
Diterbitkan 02 Jul 2021, 13:51 WIB
Kasus Positif Covid-19 di Zona Merah Cilangkap Bertambah Jadi 104 Warga
Suasana permukiman warga RT 003 RW 003, Kelurahan Cilangkap, Kecamatan Cipayung saat mikro lockdown, Jakarta, Selasa (25/5/2021). Jumlah warga yang tepapar Covid-19 di wilayah ini bertambah menjadi 104 orang akibat klaster silaturahmi saat Lebaran kemarin. (merdeka.com/Iqbal S Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane menyebut, sanksi tidak bisa begitu saja diterapkan pemerintah untuk membuat masyarakat patuh terhadap kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat.

Masdalina mengatakan, penerapan sanksi tanpa adanya kesadaran masyarakat hanya akan sia-sia belaka.

"Sanksi itu kan hanya bisa dibuat dengan UU dan perda yah, selama tidak ada di UU dan perda, bisa-bisa aparat dituntut, mengapa keluarkan sanksi yang tak ada di perda. Dan setiap daerah kan pasti berbeda-beda terganting daerahnya," ujar Masdalina kepada Liputan6.com dikutip Jumat (2/7/2021).

Masdalina menyontohkan, sejak virus Covid-19 masuk ke Indonesia pada Maret 2020, tidak semua masyarakat patuh dan mau mengenakan masker. Bahkan, hingga pemerintah akhirnya menelurkan kebijakan PPKM Darurat ini, masih banyak masyarakat yang tak mau menggunakan masker.

Menurut Masdalina, kewajiban menggunakan masker di masa pandemi ini tak jauh berbeda saat awal pemerintah mewajibkan penggunaan helm saat mengendarai sepeda motor roda dua. Meski mereka yang tak mengenakan helm akan dikenakan sanksi, namun masih banyak masyarakat yang melanggar.

"Dan apakah sanksi akan efektif, sama kayak dulu yah, pakai helm kucing-kucingan sama Polisi. Tapi setelah kesadaran masyarakat meningkat maka sekarang enggak perlu disuruh lagi (pakai helm), walaupun masih ada yang jarak dekat enggak pakai helm. Tapi ya begitulah regulasi, begitulah masyarakat," kata dia.

Tak hanya itu, menurut Masdalina, selain kesadaran masyarakat yang harus ditingkatkan atas bahayanya Covid-19, Masdalina juga meminta pemerintah membuat kebijakan yang mudah dimengerti dan dipahami masyarakat.

"Kami orang lapangan, jadi perintah yang gampang dimengerti itu jauh lebih dibutuhkan daripada perintah yang rumit," kata Masdalina.

 

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Kebijakan Pemerintah Membingungkan

Masdalina mengatakan, berdasarkan pemantauan di lapangan, sebagian masyarakat sudah jenuh dengan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkait penanganan pandemi Covid-19. Apalagi, menurut Masdalina, kebijakan yang diterapkan pemerintah terlihat membingungkan.

Dia mencotohkan kebijakan soal work from home (WFH) dan work from office (WFO) dalam PPKM Darurat. Kebijakan WFH/WFO itu menurut Masdalina masih belum jelas. Masyarakat masih bisa menafsirkan secara berbeda.

"Kan seharusnya kalau regulasi itu harus tegas, misalnya WFO/WFH 50 persen, kan itu saja diinterpretasi bisa beda tuh, misalnya 50 persen itu ada yang menginterpretasinya orang, ada yang menginterpretaisnya jam kerja, ada juga ruangan," kata dia.

"Misalnya yang menginterpretasi jam, itu tetap saja kita setiap hari ke kantor tapi pagi dan sore, di shift, itu kan bisa 50 persen 50 persen kan, tapi ada yang meliburkan sehari, masuk sehari, kan beda itu, jadi interpretasi gitu saja masing-masing berbeda," dia menambahkan.

Menurut Masdalina, apapun kebijakan yang diambil pemerintah, cara untuk meminimalisasi penularan Covid-19 yakni dengan cara berdiam diri di rumah.

"Tapi apa pun, secara epidemiologi, kita hanya butuh orang itu diam di rumah intinya. Selama orang tidak bisa diam di rumah, ya, jangan berharap terlalu tinggi. Tapi yang paling utama dari pengendalian itu adalah menghentikan laju transmisi, laju penularan," kata Masdalina.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya