Guru Besar Sebut Banyak Kejanggalan dalam Proses Revisi PP Statuta UI

Dia menyebut permohonan perubahan Statuta UI itu berbasis hasil telaah Senat Akademik UI, bukan terhadap PP Nomor 68 Tahun 2013.

oleh Lizsa Egeham diperbarui 24 Jul 2021, 19:07 WIB
Diterbitkan 24 Jul 2021, 19:07 WIB
Ratusan Mahasiswa Deklarasikan Gerakan Antikorupsi
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Ikatan Alumni (ILUNI) Universitas Indonesia (UI) lintas almamater mengelar Rapat Akbar Gerakan Anti Korupsi (GAK) Nasional di kampus UI Salemba, Jakarta, Jumat (20/3/2015). (Liputan6.com/Yoppy Renato)

Liputan6.com, Jakarta Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (UI) Manneke Budimana mengatakan ada sejumlah kejanggalan dalam proses revisi Statuta UI melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2021. Awalnya, kata dia, Rektor UI mengajukan revisi Statuta ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 7 Januari 2020.

Dia menyebut permohonan perubahan Statuta UI itu berbasis hasil telaah Senat Akademik UI, bukan terhadap PP Nomor 68 Tahun 2013. Bahkan, Manneke mengungkap bahwa surat permohonan untuk merevisi PP Nomor 68 tak ditembuskan ke organ lain.

"Padahal, perubahan PP itu adalah gawenya orang se-UI, tak hanya wewenangnya eksekutif. Ini luar biasa aneh, tapi direstui banyak pihak," jelas Manneke dalam sebuah diskusi, Sabtu (24/7/2021).

Kemudian, kata dia, organ UI yakni Majelis Wali Amanat (MAW), Dewan Guru Besar (DGB), Senat Akademik, mendapat undangan dari eksekutif universitas pada 5 Februari 2020. Dalam undangan itu, dijelaskan bahwa kementerian meminta UI merevisi Statuta untuk dijadikan model bagi perguruan tinggi lain.

"Ini jelas bertentangan klaim bahwa permintaan datang dari UI," ucapnnya.

Manneke menuturkan DGB dan SA kemudian melakukan rapat dimana masing-masing membuat draf usulan sesuai kewenangannya. Hingga Juni 2021, hanya Dewan Guru Besar dan Senat Akademik yang mengajukan draf.

Selain itu, dia menuturkan SK Rektor UI untuk tim revisi statuta baru keluar pada 27 Maret 2020 dan berlaku hanya sampai 29 Mei 2021. Dalam periode itu, Manneke mengungkap tim berada di bawah tekanan karena harus menyelesaikan draf revisi sesegera mungkin.

Selanjutnya, rancangan PP muncul pada 26 Juni 2020 namun masih perlu dibahas agar dapat disepakati di kementerian. Kala itu, kata Manneke, SK tim revisi sudah habis dan dibuat baru yang berlaku satu bulan dengan komposisi anggota berubah.

Pada 11 September 2020, Rektor UI menerina surat dari MWA yang mengusulkan perubahab Statuta. Padahal, usulan tersebit tak pernah ditembuskan kepada 2 organ lain yang berada di tim revisi.

Selanjutnya, pada 30 September 2020, MWA tiba-tiba mengajukan usulan yang tidak pernah dibahas bersama tim revisi. Usulan MWA itu termasuk revisi pasal tentang rangkap jabatan rektor, yang membolehkan menjabat selain direksi.

"Itulah pasal yang kemudian gembar-gembor dan rektor undur diri dari (Komisaris) BRI," kata Manneke.

Menurut dia, terjadi rapat lanjutan yang diagendakan Kemendikbud pada 7, 14, dan 21 Oktober 2021 karena terjadi perdebatan dan adanya pasal tambahan. Namun, semua agenda rapat tersebut dibatalkan.

"Namun ternyata tetap terjadi rapat di Kemdikbud yang dihadiri oleh eksekutif, MWA, dan saya dengar ada Sekjen Kemdikbud, tapi tak ada lagi perwakilan resmi dari dewan guru besar, senat akademik yang bisa dikonfirmasi," tuturnya.

 

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Statuta UI Resmi Terbit

Pada 2 Juli 2021, PP Nomor 75 Tahun 2021 tentang Statuta UI akhirnya resmi terbit. Manneke mengatakan Dewan Guru Besar baru mengetahui adanya PP tersebut pada 19 Juli.

Dia menilai hal ini memperlihatkan bahwa sejak awal memang telah ada itikad dan agenda tak baik yang mencemari proses revisi PP. Manneke menyampaikan adanya indikasi MWA dan eksekutif secara sengaja mengelabui dewan guru besar dan Senat Akademik.

"Fakta PP diterbitkan secara tergesa-gesa. Bahkan format legal yang berlaku untuk perubahan PP pun diabaikan. PP itu dimuluskan jalannya oleh instansi-instansi terkait, UI-Kemdikbud, Kemkumham, Setneg, sampai kemudian ditandatangani Presiden," ujar dia.

"Sehingga prosesnya luar biasa cepat. Akibatnya terjadi catat prosedur, cacat substansi, dan cacat format," tegas Manneke.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya