Beragam Respons Terkait Mural Diduga Mirip Jokowi yang Dinilai Hina Presiden

Polisi disebut tengah mencari pembuat mural mirip wajah Presiden Jokowi yang matanya tertutup bertuliskan '404: not found'. Hal ini dikritik Demokrat.

oleh Liputan6.com diperbarui 20 Agu 2021, 21:16 WIB
Diterbitkan 20 Agu 2021, 21:09 WIB
Mural Jokowi 404: Not Found
Mural Jokowi 404: Not Found di Tangerang sudah dihapus. (Liputan6.com/Pramita Tristiawati)

Liputan6.com, Jakarta Sebuah mural yang diduga mirip sosok Presiden Joko Widodo atau Jokowi dengan tulisan "404: Not Found" sempat viral dan menjadi perbincangan warga di Jalan Pembangunan 1, Kecamatan Batuceper, Tangerang, Banten.

Gambar mural mirip Jokowi tersebut kini telah dihapus karena diduga telah menghina Presiden Jokowi.

Dihapusnya mural mirip Jokowi itu belakangan menuai beragam tanggapan dari berbagai kalangan. Menurut Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto, Presiden Joko Widodo serta Kapolri melarang pihaknya untuk bersikap responsif.

"Bapak Presiden tidak berkenan bila kita responsif terhadap hal-hal seperti itu. Demikian juga Bapak Kapolri selalu mengingatkan kita dan jajaran, terutama dalam penerapan UU ITE," tutur Agus kepada wartawan, Kamis, 19 Agustus kemarin.  

Partai Demokrat pun ikut berkomentar. Menurut partai besutan Agus Harimurti Yudhoyono tersebut, sikap pemerintah yang memburu si pembuat mural dinilai terlalu berlebihan.

Karena sedianya, gambar mural bisa mewakili kegelisahan masyarakat akan kondisi negara saat ini, terlebih di tengah pandemi. 

"Nah, kegelisahan ini harus dicari tahu akar permasalahannya, dan dicarikan solusinya. Bukan malah diredam atau ditutup-tutupi," ungkap Kepala Badan Komunikasi Strategis Demokrat Herzaky Mahendra Putra, Rabu, 18 Agustus 2021. 

Berikut beragam tanggapan kasus pembuat mural Jokowi 404: Not Found yang dihimpun  Liputan6.com:

1. Pakar Unair

Ketua Pusat Studi Industri Kreatif Pasca Sarjana Universitas Airlangga (Unair), Igak Satrya Wibawa menyatakan, mural sudah dikenal menjadi media komunikasi bagi masyarakat.

"Mural adalah salah satu bentuk street art, menjadi media komunikasi yang cukup sering digunakan masyarakat dalam menyampaikan pesan, harapan dan kritik kepada pihak yang punya privilege atau kekuasaan tertentu," ujarnya, Kamis, 19 Agustus. 

Mural berbeda dengan graffiti, walaupun sama-sama termasuk seni jalanan. Graffiti menonjolkan ekspresi pelukis secara tersurat, dan kadang sifatnya sangat personal karena hanya berupa tulisan atau simbol yang mewakili entitas tertentu.

"Sedangkan mural yang memiliki makna dan pesan lebih dalam, kebanyakan ditempatkan di ruang publik dengan tujuan dilihat banyak orang," sebut pengajar mata kuliah Visual Culture & Creative Arts di departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Unair tersebut.

Mengenai etika dan perizinan mengenai penempatan di ruang publik, Igak menanggapi bahwa hal tersebut dapat dilihat dari beberapa dimensi.

"Jika dikaitkan dengan dimensi etis, tentunya public property idealnya tidak dapat dipakai tanpa adanya izin. Namun ini menjadi paradoks bila dilihat dari dimensi perlawanan, yaitu kasusnya harus menabrak etika, karena namanya juga perlawanan," jelasnya.

Dalam dimensi seni, tambahnya, wajar bila mural dijadikan sebagai simbol perlawanan, kritik ataupun harapan, dan sah saja bila penempatannya dalam ruang publik agar didengar dan dilihat publik.

"Untuk itu agak susah bila kita menghadapkan seni dan aturan, karena dalam seni kadang harus membenturkan keduanya," ungkapnya.

Igak berpendapat mural berisi kritik sosial sama halnya dengan baliho yang berisi pesan-pesan politis, yakni sama-sama memanfaatkan ruang publik sebagai saluran penyampaian pesan.

"Hanya bedanya, mereka yang ofisial punya kuasa, wewenang dan memiliki privilege tertentu menggunakan baliho. Sedangkan masyarakat yang tidak memiliki privilege dan melihat ruang-ruang penyampaian pendapat banyak tersumbat di sana-sini, akhirnya memilih mural sebagai media yang frontal dan efektif dalam menyampaikan pesan," jelas pengajar mata kuliah Industri Kreatif tersebut.

 

2. Kabareskrim

Kabareskrim Polri Komjen Agus Andrianto angkat bicara mengenai kisruh kasus pembuat mural yang diduga mirip Jokowi dengan tulisan "404: Not Found" di wajahnya.

Agus mengatakan bahwa Presiden Jokowi tidak berkenan bila pihak kepolisian bertindak responsif terhadap kritik masyarakat terhadap pemerintah melalui mural.

Menurut Agus, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo selalu mengingatkan dengan tegas kepada jajarannya agar berhati-hati dalam menggunakan UU ITE.

"Kritis terhadap pemerintah, saya rasa nggak ada persoalan. Namun kalau fitnah, memecah belah persatuan dan kesatuan, intoleran ya pasti kita tangani," jelas dia.

Lebih lanjut, Agus menekankan bahwa Polri berpedoman pada Surat Edaran (SE) Kapolri dan SKB Pedoman Implementasi UU ITE Menkominfo, Jaksa Agung, dan Kapolri. Ke depannya, ada kemungkinan revisi UU ITE demi mengakomodir setiap hal yang ada dalam SKB itu.

"Menyerang secara individu memang mensyaratkan korbannya yang harus melapor. Khusus dalam hal ini pun, Bapak Presiden juga tidak berkenan Polri reaktif dan responsif terhadap masalah itu," Agus menandaskan.

 

3. Demokrat

Kepala Badan Komunikasi Strategis Demokrat, Herzaky Mahendra Putra menilai aksi pencarian yang dilakukan Polisi terhadap si pelaku pembuat mural, berbanding terbalik dengan apa yang disampaikan Presiden Jokowi yang mengaku mengapresiasi kritik membangun dalam pidato kenegaraannya beberapa hari lalu.

"Kenyataannya, para pelaku pembuat mural yang mengkritik dicari-cari dan dikejar-kejar. Muralnya pun dihapus. Padahal, munculnya mural, atau gambar jalanan yang bernuansa kritik kepada pemerintah Joko Widodo, seharusnya disikapi dengan bijaksana oleh pemerintah," kata Herzaky dalam keterangannya, Rabu, 18 Agustus 2021. 

Menurut dia, munculnya mural ini tanda ada kegelisahan di kalangan rakyat bawah atas situasi yang mereka hadapi di kehidupan sehari-hari akibat pandemi.

Dia menuturkan, ini seperti angka kematian terus meningkat akibat covid-19, harus dicari cara mengapa bisa meningkat drastis, dan bagaimana menurunkan jumlah rakyat yang meninggal karena covid-19. Bukan malah memainkan data, apalagi menghapusnya dari indikator penanganan covid-19.

"Begitu pula dengan aspirasi dan kegelisahan rakyat ini," tutur Herzaky.

Ini seharusnya, lanjut Herzaky, menjadi introspeksi pemerintah. Bagaimana seharusnya bisa memahami dan mengetahui kondisi sebenarnya di lapangan, sebelum mereka mengekspresikan kegundahannya melalui mural.

 

 

 

Deni Koesnaedi

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya