Menkeu: Vaksinasi di Negara Miskin Baru 6 Persen, Negara Maju Sudah Boosting

Kesenjangan vaksinasi antara negara miskin dan negara maju menjadi tantangan tersendiri pemulihan ekonomi global akibat pandemi Covid-19.

oleh Lizsa Egeham diperbarui 31 Okt 2021, 07:39 WIB
Diterbitkan 31 Okt 2021, 07:35 WIB
FOTO: Program Vaksinasi COVID-19 Jadi Optimisme Pertumbuhan Ekonomi 2021
Petugas menyuntikkan vaksin COVID-19 kepada pedagang di Pasar Tanah Abang Blok A, Jakarta, Kamis (25/2/2021). Menkeu Sri Mulyani optimis pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini ada pada 4,5-5,3 persen karena adanya dukungan program vaksinasi COVID-19 sebagai penentu. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menyebut, akses vaksin Covid-19 yang tidak merata di seluruh dunia menjadi tantangan pemulihan ekonomi global. Dia mengungkap kesenjangan vaksinasi antara negara miskin dengan negara maju.

Menurut dia, vaksinasi Covid-19 di negara-negara miskin saat ini baru mencapai 6 persen dari jumlah penduduk, bahkan di Afrika tak sampai 3 persen. Sementara itu, capaian vaksinasi di negara-negara maju sudah hampir 100 persen.

"Ada negara-negara yang sampai hari ini bahkan jumlah vaksinasinya dari penduduknya kurang dari 3 persen, di negara-negara Afrika," kata Sri Mulyani dalam keterangannya usai mendampingi Presiden Jokowi dalam KTT G20 di La Nuvola Roma Italia, Sabtu 30 Oktober 2021.

"Rata-rata yang di negara-negara miskin baru 6 persen dari penduduknya, sementara negara-negara maju sudah melakukan vaksinasi di atas 70 persen atau bahkan mendekati 100 persen dan mereka sudah melakukan boosting," sambungnya.

Selain akses vaksin yang tidak merata, pemulihan ekonomi dunia juga terancam oleh dua hal lain, yaitu terjadinya inflasi kenaikan energi dan disrupsi dari suplai. Sri Mulyani mengatakan hal tersebut terjadi di seluruh negara yang pemulihan ekonominya sangat cepat namun mengalami komplikasi dalam bentuk kenaikan harga energi dan disrupsi suplai.

"Artinya apa? Waktu permintaan pulih dengan cepat dan kuat, ternyata suplainya tidak mengikuti," ucapnya.

Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa kenaikan energi yang terjadi sangat cepat karena investasi di bidang energi, terutama yang non-renewable itu sudah merosot tajam dihadapkan pada permintaan energi yang melonjak akibat pemulihan ekonomi. Hal tersebut yang kemudian mendorong inflasi yang tinggi di berbagai negara.

"Ini menjadi ancaman pemulihan ekonomi global. Indonesia perlu juga tetap waspada terhadap kemungkinan terjadinya rembesan hal tersebut," ungkap Sri Mulyani.

Pencegahan Pandemi

Sri menuturkan Covid-19 merupakan ancaman nyata terhadap perekonomian dunia. Untuk itu, di dalam pembahasan antara menteri keuangan dengan menteri kesehatan negara-negara G20 disepakati untuk membangun sebuah mekanisme yang disebut pencegahan pandemi atau pandemic preparedness.

"Hari ini dunia tidak siap menghadapi pandemi. Nyatanya (pandemi) telah menyebabkan biaya sampai USD12 triliun, 5 juta orang meninggal, dan lebih dari 250 juta orang yang terkena pandemi ini, maka dunia harus menyiapkan lebih baik," jelas Sri.

Dalam KTT G20 kali ini disepakati akan ada joint finance health task force atau satuan kerja antara menteri keuangan dan menteri kesehatan di bawah G20. Tujuannya, untuk menyiapkan prevention, preparedness, dan response atau PPR dari pandemi.

Adapun satuan kerja ini dipimpin oleh Menteri Keuangan Indonesia dan Italia. Indonesia sebagai tuan rumah atau Presidensi KTT G20 mulai Desember dan Italia yang saat ini menjadi presidensi.

"Tentu peran Indonesia menjadi penting karena Indonesia adalah negara yang besar dan kita juga punya komitmen terhadap vaksinasi kita," tutur Sri Mulyani.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya