HEADLINE: Desakan Penghentian PTM 100 Persen Akibat Kenaikan Kasus Covid-19, Solusinya?

PTM tidak ada alasan untuk dihentikan, kecuali bisa dikurangi kalau sekolah di wilayah PTM tersebut PPKM-nya naik ke level 3 atau 4.

oleh Delvira HutabaratMuhammad Radityo PriyasmoroFachrur Rozie diperbarui 28 Jan 2022, 00:10 WIB
Diterbitkan 28 Jan 2022, 00:03 WIB
FOTO: Disiplin Prokes saat Pembelajaran Tatap Muka Terbatas
Murid berbaris memasuki gedung sekolah saat pembelajaran tatap muka (PTM) terbatas di SDN Pisangan Baru 05 Pagi, Jakarta, Senin (8/11/2021). Orangtua dan guru diwajibkan disiplin mengedukasi protokol kesehatan secara lisan maupun melalui media sosial. (merdeka com/Iqbal S. Nugroho)

Liputan6.com, Jakarta - Kasus Covid-19 terus meningkat sejak awal Januari 2022, seiring dengan meluasnya varian Omicron. Data Kementerian Kesehatan pada Kamis (27/1/2022), kasus Covid-19 bertambah 8.077, tertinggi sejak 11 September 2021 yang menyentuh 5.001.

Bahkan, penularan Covid-19 di Tanah Air mulai didominasi varian Omicron. Di tengah merebaknya Omicron, Pembelajaran Tatap Muka (PTM) 100 persen masih berjalan. Meskipun, banyak sekolah melaporkan temuan kasus Covid-19 pada siswanya. Bahkan, di Jakarta sudah 90 sekolah yang menghentikan PTM karena ada siswa atau guru yang terpapar Covid-19.

Tak heran muncul desakan dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) yang meminta pelaksanaan PTM dihentikan dulu hingga badai Covid-19 mereda. Namun, tidak semuanya sepakat dengan penghentian total PTM.

"Kenapa kok harus dihentikan? Enggak ada yang mendesak. Kalau menurut saya PTM jalan terus saja, orang aman kok. Kenapa harus takut?" tegas Epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono kepada Liputan6.com, Kamis (27/1/2022).

Dia mengatakan, tidak ada korelasinya antara PTM dengan kenaikan kasus Covid-19. Kasus di masyarakat dan kasus di sekolah itu beda, kalau kita melakukan pemeriksaan testing atau screning berkala di sekolah ditemukan satu, dua, menurutnya itu biasa.

"Belum ada klaster sekolah, jangan ngusulin yang enggak-enggaklah, termasuk organisasi profesi itu nggak punya dasar sama sekali, nggak punya data, orang pinter tapi nggak punya akal sehat. Seharusnya main di data, kalau mau mengusulkan itu berdasarkan data," tegas Pandu.

Yang jelas, lanjut dia, PTM tidak ada alasan untuk dihentikan, kecuali bisa dikurangi kalau sekolah di wilayah PTM tersebut PPKM-nya naik ke level 3 atau 4 dengan konsekuensi dikurangi 50 persen.

"Jadi tidak bisa berdiri sendiri, tergantung level situasi di level komunitas, kalau dibilang naik, ya naik, tapi selama nggak ada yang masuk rumah sakit, nggak ada yg meninggal, ya nggak apa-apa," ujar Pandu.

Kedua, lanjut dia, sebelum PTM berjalan sudah banyak anak yang terinfeksi, jadi PTM bukan faktor risiko meningkatkan risiko. Selain itu, pemerintah bukan hanya menyuruh PTM, vaksinasi juga jalan dan terus dikejar, kemudian prokesnya ditingkatkan.

"Jadi tidak pernah dibiarkan oleh pemerintah, semua ada SOP-nya, kalau ada kasus ya disesuaikam di tempat kasus ini berada, gitu. Kalau kebijakan PTM ditutup, dasarnya apa? Padahal, sudah dua tahun nih mereka enggak sekolah, sementara kita akan berkompetisi dengan dunia," papar Pandu.

Dia menyadari, PTM yang aman 100 persen tidak akan ada, tapi risikonya bisa ditekan. Yang penting orangtua dan pemerintah bisa mengatasinya dengan vaksinasi dan melindungi anak, bukan menbiarkan begitu saja. Dan yang paling penting anak tetap bisa belajar dan bersekolah di masa pandemi.

"Jadi, nanti kalau ada pandemi lagi ketika mereka dewasa, mereka sudah tahu apa yang harus mereka lakukan. Pandemi ini bukan pandemi yang terakhir, akan ada lagi pandemi, akan lebih singkat. Dulu kan 100 tahun yang lalu, ada kemungkinan nanti akan lebih cepat, 30 tahun atau 50 tahun lagi, karena alam kita sudah rusak," tandas Pandu Riono.

Sementara itu, Anggota Komisi X DPR dari Fraksi PKS, Kurniasih Mufidayati berpendapat bahwa kaji ulang PTM memang perlu dilakukan ketika trend kasus menunjukkan peningkatan signifikan. Jika hasil kajian harus dihentikan agar tingkat penularan tidak semakin tinggi, maka kebijakan PTM 100% harus diubah.

"Ketika sekolah berada di daerah yang sudah menjadi zona merah penularan Covid-19 atau menunjunkkan peningkatan kasus harian yang signifikan, maka tinjau ulang kebijakan PTM di sekolah tersebut harus dilakukan, meskipun tidak ada kasus di sekolah tersebut," ujar anggota komisi yang membidangi pendidikan ini kepada Liputan6.com, Kamis (27/2/2022).

 

Infografis Kasus Covid-19 Naik, PTM 100 Persen Didesak Dihentikan. (Liputan6.com/Trieyasni)

Jika memang pengurangan PTM 100% ini terhambat karena adanya kebijakan pemerintah pusat, lanjut dia, pemerintah daerah harus berani menyampaikan kepada Menteri Pendidikan tentang situasi yang terjadi di Jakarta, seperti adanya kenaikan level PPKM, peningkatan kasus harian dan penyebaran varian Omicron.

"PTM bisa dievaluasi dengan beberapa indikator berbasis kasus positif Covid kewilayahan. Bisa diterapkan mikro pembatasan mobilitas, termasuk sekolah yang ada di area itu jika peta persebaran Covid-19 menunjukkan angka tinggi di wilayah tertentu," jelas Kurniasih.

Capaian vaksinasi anak via sekolah menurut dia juga harus jadi indikator PTM bisa 100 persen atau tidak. Apalagi saat ini semua sekolah sudah hampir 100 persen PTM meskipun capaian vaksinasi anak di wilayah itu belum mencapai 70 persen dan ini baru dosis pertama.

"Jika PTM 100% diteruskan, bisa saja berisiko meningkatkan penularan kasus dan penambahan kasus baru jika tidak ada Prokes. Perlu diihat beban yang akan timbul di RS jika angka positif terus naik," beber Kurniasih.

Kalaupun PTM dihentikan sementara, kata dia, para guru tentu sudah berpengalaman selama pandemi dalam melakukan PJJ. Demikian juga dengan para siswa, sehingga pembelajaran tetap dapat dilaksanakan meskipun kualitasnya tidak sebaik melalui PTM.

"Penghentian PTM merupakan opsi yang bisa dilakukan berbasis kajian. Kaji ulang PTM 100% pada daerah dengan tinggi kasus dengan opsi PTM 50% misalnya, dengan belajar bergantian dalam satu kelas," tandas Kurniasih.

Pandangan senada disampaikan Anggota Komisi X DPR lainnya dari Fraksi Gerindra, Putih Sari. Menurut dia, ada baiknya PTM ditinjau kembali atau dihentikan sementara waktu melihat adanya tren kenaikan dari kasus Covid-19 saat ini.

"Terlebih untuk anak sekolah usia 6-12 tahun yang rata-rata baru mendapatkan vaksin dosis pertama sehingga menurut ahli medis kekebalan tubuhnya terhadap virus Covid-19 belum benar-benar terbentuk," ujar dia kepada Liputan6.com, Kamis (27/1/2022).

Dia mengakui, dampak PTM jika dihentikan pasti akan mempengaruhi kualitas pendidikan, tapi itu hanya sementara waktu sampai angka positif Covid-19 menurun.

"Karena itu pemerintah harus memberikan dukungan kepada sekolah-sekolah dan masyarakat agar kembali menjalankan PJJ dengan lebih baik lagi, yakni peningkatan fasilitas praktik pembelajaran jarak jauh dengan maksimal, seperti akses internet dan jaringan yang masih terbatas di beberapa wilayah, serta orangtua yang tidak mampu membeli pulsa atau paket data," pungkas Putih Sari.

Namun, Wakil Presiden Ma'ruf Amin menegaskan untuk tak terlalu khawatir dengan berlanjutnya PTM 100 persen di tengah meroketnya angka positif Covid-19. Ma'ruf menegaskan bahwa pemerintah sudah punya aturan khusus yang akan diterapkan sesuai level di tiap-tiap daerah. Apalagi, kata dia, kenaikan angka kasus Covid-19 saat ini memang sudah terprediksikan.

"PTM itu kita memang sudah punya aturan-aturan, sehingga aturan itu sudah bisa diterapkan sesuai dengan levelnya, level satu, level dua seperti itu, ya kemudian kalau naik ke level tiga, dan kemudian jika terjadi yang terkena kalau sudah mencapai di atas 5% itu (PTM) ditutup," jelas Ma'ruf di di Great Western Resort, Tangerang, Banten, Kamis (27/1/2022).

Wapres meyakini, melonjaknya angka Covid-19 saat ini masih dapat dikendalikan dengan aturan yang sudah ditetapkan pemerintah. Namun Ma'ruf memastikan, jika nantinya laju penularan Covid-19 semakin tinggi maka kebijakan PTM akan diturunkan kapasitasnya.

"Kalau level (PPKM) sudah naik mungkin bukan 100 persen, tapi 50 persen, itu sudah otomatis, jadi sudah ada aturan sehingga semua sudah disiapkan, kalau (level PPKM) naik dia (kapasitas PTM) turun, kalau ada kenaikan di masing-masing sekolah, per sekolah itu 5% ke atas maka dilakukan penutupan. Jadi sudah ada aturannya," Ma'ruf menandasi.

 


Jangan Tunggu Anak Masuk RS

.Jakarta Gelar Pembelajaran Tatap Muka 100 persen
Siswa mengikuti Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di SDN 01 Pondok Labu, Jakarta, Senin (3/1/2022). PTM terbatas dilaksanakan setiap hari dengan jumlah peserta didik dapat 100 persen dari kapasitas ruang kelas dengan lama belajar paling banyak enam jam pelajaran per hari. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Terus meningkatnya angka positif Covid-19, khususnya di Jakarta, memunculkan desakan agar pembelajaran tatap muka (PTM) yang saat ini digelar penuh segera dihentikan untuk keseluruhan dan tidak hanya sekolah tertentu.

Adalah Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) yang mendesak Pemprov DKI Jakarta agar menghentikan sementara PTM 100 persen, menyusul ditemukannya kasus positif Covid-19 di 90 sekolah.

"Sebanyak 90 sekolah di DKI Jakarta ditutup dan dihentikan proses PTM 100 persen karena siswa dan guru positif Covid-19," kata Koordinator Nasional P2G Satriwan Salim, di Jakarta, Rabu (26/1/2022).

Menurut dia, kondisi itu membuat para guru, orangtua dan siswa merasa cemas dalam melaksanakan PTM 100 persen yang masih berjalan. PTM 100 persen dinilai tidak aman bagi guru dan siswa.

Kata Satriwan, skema PTM 100 persen Jakarta di tengah menghadapi kondisi gelombang ketiga COVID-19, secara psikologis membuat para guru dan orangtua cemas.

"Coba rasakan, bagaimana guru, siswa berinteraksi kayak sekolah normal, sebab 100 persen siswa masuk setiap hari. Sementara itu angka kasus meningkat tajam tiap hari. Ini mengganggu pikiran dan kenyamanan belajar di sekolah," kata dia.

Satriwan menambahkan, data yang dihimpun P2G menunjukkan ada beberapa sekolah di Jakarta sudah menghentikan PTM 100 persen sebanyak dua kali, hanya dalam jarak waktu dua pekan, karena berulang siswa dan gurunya positif COVID-19.

Jumlah sekolah yang menghentikan PTM 100 persen, katanya, terus bertambah tiap pekan. Semula 39 sekolah, lalu 43 sekolah, dan sekarang 90 sekolah. Padahal Jakarta belum satu bulan menggelar PTM 100 persen.

"Ada beberapa sekolah semula PTM 100 persen, lalu siswa kena Covid-19, PTM dihentikan 5×24 jam. Setelah itu PTM lagi, setelah beberapa hari PTM ada siswa positif lagi, terpaksa PTM dihentikan kembali. Ini kan tidak efektif. Sekolah buka tutup, buka tutup terus, tidak tahu sampai kapan," ujar Satriwan.

Jadi, menurut dia, pelaksanaan skema PTM 100 persen tidak sepenuhnya aman, lancar, dan efektif. Di sisi lain, P2G masih menemukan banyak pelanggaran PTM 100 persen yang terjadi, yakni jarak 1 meter dalam kelas yang sulit dilakukan karena ruang kelas relatif kecil ketimbang jumlah siswa, ruang sirkulasi udara tidak ada atau ventilasi udara tidak dibuka karena kelas menggunakan pendingin ruangan, siswa berkerumun dan nongkrong bersama sepulang sekolah, dan masih ada kantin sekolah buka secara diam-diam. Kondisi demikian akibat lemahnya pengawasan dari satgas COVID-19, termasuk dinas terkait. Kedisiplinan terhadap protokol kesehatan harus terus digaungkan, mulai dari rumah, di jalan, angkutan umum, di sekolah dan pulang sekolah.

Berdasarkan kondisi yang sudah mengkhawatirkan itu, P2G mendesak Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, termasuk kepala daerah sekitar daerah aglomerasi, menghentikan skema PTM 100 persen demi keselamatan dan kesehatan semua warga sekolah.

"Kami memohon agar Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengembalikan kepada skema PTM terbatas 50 persen. Dengan metode belajar blended learning, sebagian siswa belajar dari rumah, dan sebagian dari sekolah. Metode ini cukup efektif mencegah learning loss sekaligus life loss," pinta Satriwan.

 

Infografis Sekolah Terpapar Covid-19, Contoh Kasus di Jakarta. (Liputan6.com/Trieyasni)

Lagi pula, katanya, guru-guru dan siswa di DKI Jakarta sudah berpengalaman menggunakan skema PTM T 50 persen dengan metode hibrida tersebut.

"Para guru dan siswa rata-rata sudah memiliki gawai pintar, bahkan laptop/komputer, sinyal internet bagus, relatif tak ada kendala dari aspek infrastruktur digital. Tentu dengan catatan, ada pendampingan orang tua dari rumah selama PJJ," katanya.

Desakan juga datang dari epidemiolog Centre for Environmental and Population Health Griffith University Australia, Dicky Budiman. Dia mendorong pemerintah menghentikan sementara PTM 100 persen.

"Kalau dari sisi strategi kesehatan masyarakat, sebenarnya sudah urgent ya. Terutama di kota besar Jawa-Bali ini," katanya, Rabu (26/1/2022).

Menurut Dicky, penghentian sementara PTM 100 persen tidak perlu menunggu kasus Covid-19 melonjak lebih tajam. Pemerintah cukup melihat tren kenaikan kasus Covid-19 dalam beberapa pekan terakhir.

"Tidak menunggu sampai ada kematian di anak, jangan menunggu sampai ada kasus anak masuk rumah sakit," ujarnya.

Dokter lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran Bandung ini menjelaskan, anak yang terjangkit Omicron bisa mengalami perburukan. Kebutuhan perawatan dan fatalitas pada anak yang terpapar Omicron jaga jauh lebih besar daripada Delta.

"Karena apa? Karena anak belum terlindungi maksimal, karena anak belum divaksinasi," sambungnya.

Belum lagi, ada banyak anak yang memiliki penyakit bawaan atau komorbid, seperti obesitas. Kondisi ini menempatkan anak dengan komorbid berada pada kategori berisiko tinggi terhadap Omicron.

"Jadi ini yang harus jadi pertimbangan. Pemerintah perlu mereview itu. Kalau menunggu sampai akhirnya terjadi kasus pada anak, sudah telat. Kita gagal melindungi anak," kata dia mengakhiri.

 


Yang Bertahan dengan PTM

Antusiasme Murid Kelas 1 SD Ikuti Pembelajaran Tatap Muka
Murid kelas 1 bermain di halaman sekolah sambil menunggu orang tua usai mengikuti Pembelajaran Tatap Muka (PTM) Terbatas di SDN Malaka Jaya 07 Pagi, Klender, Jakarta, Senin (30/8/2021). Kegiatan(merdeka.com/Iqbal S. Nugroho)

Meski ada desakan agar pembelajaran tatap muka (PTM) dihentikan, pemerintah menegaskan tak akan mengambil opsi tersebut. Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mengatakan, kasus harian Covid-19 di Indonesia memang terus mengalami peningkatan. Kendati begitu, pemerintah belum berencana menghentikan PTM di sekolah.

"Jadi kita tidak ada rencana untuk menghentikan tatap muka, sekolah tatap muka," kata Luhut Binsar Pandjaitan dalam konferensi pers di Youtube Sekretariat Presiden, Senin (24/1/2022).

Dia menekankan, hingga kini PTM akan terus dilakukan sesuai aturan yang ditetapkan. Luhut membuka kemungkinan adanya perubahan kebijakan apabila situasi pandemi Covid-19 di luar kendali.

"Sampai hari ini pembelajaran, tetap dilaksanakan. Kalau ada hal-hal yang luar biasa akan diambil keputusan tersendiri," kata Luhut.

Dia menyampaikan, kasus di Jawa-Bali mendominasi kasus harian Covid-19 yang naik. Adapun kenaikan di Jawa Bali tersebut bersumber dari peningkatan pada wilayah aglomerasi Jabodetabek.

"Meski kasus meningkat, pemerintah tetap dalam kendali penuh menghadapi varian Omicron," ucap dia.

Dia menyebut, peningkatan kasus Covid-19 masih relatif terkendali. Jumlah kasus konfirmasi dan aktif harian masih lebih rendah lebih 90 persen apabila dibandingkan dengan kasus puncak varian Delta.

"Sejak varian Omicron ditemukan satu bulan yang lalu di Indonesia, hari ini belum terlihat tanda-tanda kenaikan kasus yang cukup eksponensial seperti yang terjadi di belahan negara yang lain," tutur Luhut.

Sementara itu, Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria memastikan bahwa daerahnya amat memenuhi syarat pelaksanaan PTM 100 persen di sekolah.

"PTM masih kita laksanakan karena sesuai SKB 4 Menteri, Provinsi DKI sangat memenuhi syarat," ujar Riza di Jakarta, Rabu (26/1/2022).

Menurut Riza, hal itu didukung dengan capaian vaksinasi DKI yang melampaui batas prasyarat gelaran PTM 100 persen.

"Karena PPKM masih di level 2 dan syarat vaksinnya memenuhi syarat yaitu di atas 80, bahkan 98 persen yang divaksin bagi tendik (tenaga kependidikan)" katanya.

Untuk saat ini, kata Riza, pihaknya belum berencana menurunkan persentase jumlah siswa yang melaksanakan PTM terbatas. Jika Jakarta masuk ke PPKM level 3, menurut mantan Anggota DPR RI ini baru peserta didik ditekan menjadi 50 persen.

Kandati terjadi peningkatan kasus positif terhadap anak didik, menurut Riza siasat jitu untuk membendung itu dengan menguatkan peran Satgas Covid-19 di sekolah.

"Semua menjadi pertimbangan, untuk itu kami minta Satgas di sekolah ditingkatkan, dioptimalkan, diperketat bagi orang tua harus memastikan anak-anaknya melaksanakan prokes. Di perjalanan dan sekolah hati-hati, selesai belajar kembali ke rumah masing-masing jangan main atau mampir sana-sini," jelas dia.

Diketahui, sekolah yang ditutup akibat kasus Covid-19 bertambah. Setidaknya ada 120 siswa positif Covid-19 sehingga 90 sekolah ditutup sementara.

"Total jumlah sekolah yang ditemukan kasus positif 90 sekolah," tandas Ahmad Riza.

Infografis Ragam Tanggapan Desakan Penghentian PTM 100 Persen. (Liputan6.com/Trieyasni)

 

Jakarta tak sendiri, karena Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil mengungkapkan untuk pelaksanaan PTM, hingga saat ini Pemprov Jabar masih tetap memberlakukan 100 persen. Emil, sapaannya mengatakan, dari 33 kasus terkonfirmasi positif Covid-19 varian Omicron, 31 di antaranya sudah sembuh.

"Omicron di Jabar sampai sekarang masih terkendali. Dari 33 kasus terkonfirmasi, 31-nya sudah sembuh. Sisanya dua masih dirawat di BPSDM," katanya di Gedung Sate, Kota Bandung, Selasa (25/1/2022).

"Jadi, asumsinya varian Omicron itu cepat menular dan cepat juga sembuhnya, rata-rata 3 sampai 4 hari," ucap Emil menambahkan.

Sementara, kasus harian Covid-19 di Jabar sampai kemarin tercatat bertambah 409 kasus. Emil menyatakan, 409 kasus itu adalah bukan varian Omicron.

"Jadi kasus harian yang naik di Jabar masih kami asumsikan varian non-Omicron. Artinya, masih Delta atau varian yang sebelumnya," ujarnya.

Untuk pelaksanaan PTM, hingga saat ini di Jabar masih tetap memberlakukan 100 persen. Hal itu sudah sesuai dengan kajian terukur dan akan dibarengi dengan pengetesan secara acak.

"PTM tetap dilaksanakan 100 persen karena kita mengambil keputusan sesuai dengan informasi yang terukur termasuk mengetes secara acak di sekolah yang sampai saat ini belum ditemukan kasus yang mengkhawatirkan," tutur Emil.

Adapun untuk kebijakan work from home (WFH) disesuaikan dengan level PPKM di setiap daerah. Saat ini 10 daerah di Jabar ada di PPKM level 1, sisanya 17 daerah menerapkan PPKM level 2.

"Ketika mayoritasnya level 1 tentunya tidak terlalu WFH karena situasinya kondusif, tapi kalau ada level 2 mau ke level 3, maka WFH akan diberlakukan lagi," ucap Emil.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya