Puan Kesal Tak Disambut, Pengamat: Gubernur Tidak Punya Kewajiban Sambut Ketua DPR

Jamiluddin menyebut Puan Maharani tidak bisa membedakan jabatan kader partai dan jabatan gubernur.

oleh Delvira Hutabarat diperbarui 12 Feb 2022, 10:15 WIB
Diterbitkan 12 Feb 2022, 10:15 WIB
Puan Berharap Vaksin untuk Anak 5-11 Tahun Bisa Normalkan Dunia Pendidikan
Ketua DPR RI Dr. (H.C) Puan Maharani. (Foto:Dok.DPR Ri)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Puan Maharani mengaku kesal dengan salah satu gubernur dari PDI Perjuangan. Penyebabnya, gubernur yang tak disebutkan namanya itu yang tak mau menyambutnya saat melakukan kunker ke daerah.

Kekesalan Puan itu ditumpahkan dalam forum Rapat Koordinasi PDI Perjuangan (Rakor PDIP) di Manado, Sulawesi Utara, Rabu (9/2/2022) lalu.

Tak hanya itu, Puan mengaku heran mengapa ada gubernur kader PDIP tidak bangga dengan dirinya. Padahal, Puan merupakan Ketua DPR ke-23 sejak 1945 dan merupakan Ketua DPR perempuan pertama.

Spekulasi bermunculan, nama Gubernur Jawa Tengah muncul dan disebut sebagai gubernur yang disindir oleh Puan Maharani.

Menanggapi hal tersebut, Pengamat Komunikasi Politik Jamiluddin Ritonga menyayangkan sikap Puan tersebut.

Menurut Jamiluddin, Gubernur tidak punya kewajiban menyambut Ketua DPR.

“Ketidaksukaan Puan itu tentu sangat disayangkan. Sebagai Ketua DPR, tentu aneh bila Puan masih berharap disambut gubernur. Gubernur sebagai eksekutif di daerah tidak punya kewajiban untuk menyambut ketua DPR (legislatif) yang berkunjung ke daerahnya,” kata dia saat dihubungi, Sabtu (12/2/2022).

Jamiluddin menyebut Puan tidak bisa membedakan jabatan kader partai dan jabatan gubernur.

“Puan tampaknya tidak bisa membedakan seseorang itu sebagai gubernur dan kader partainya. Sebagai kader partai, memang harus menyambut petinggi partainya. Namun kader tentu tidak harus menyambut seorang Ketua DPR RI,” katanya.

Pemimpin Gila Hormat Tak Layak di Negara Demokrasi

Apalagi, lanjutnya, proses menyambut tamu hanya seremonial saja. “Di era demokrasi ini, persoalan sambut menyambut seharusnya sudah diminimalkan. Pemimpin itu bukan untuk dihormati, tapi bekerja untuk kepentingan rakyatnya,” katanya.

“Karena itu, pemimpin yang gila hormat sudah tak layak di negara demokrasi. Pemimpin seperti ini hanya wah di seremonial tapi minim prestasi kerjanya. Lagi pula, pemimpin yang suka disambut umumnya di negara otoroter. Pemimpin bangga dielu-elukan. Apa ini yang memang dikehendaki Puan? Kalau itu, Puan tampaknya tak cocok menjadi pemimpin di era demokrasi,” pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya