DPR Sarankan Penyatuan UU di Sektor Pendidikan

Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Andreas Hugo Pareira mengungkapkan banyaknya regulasi pada sektor pendidikan telah menciptakan tumpang tindih aturan antara beleid yang satu dan lainnya.

oleh Liputan6.com diperbarui 04 Mar 2022, 23:01 WIB
Diterbitkan 04 Mar 2022, 01:00 WIB
Gedung DPR
Gedung DPR/MPR di Jalan Jenderal Gatot Subroto, Jakarta. (Liputan6.com/Devira Prastiwi)

Liputan6.com, Jakarta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mendukung Rancangan Undang Undang (RUU) Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang tengah disusun Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi atau Kemendikbudristek.

Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan, Andreas Hugo Pareira mengungkapkan banyaknya regulasi pada sektor pendidikan telah menciptakan tumpang tindih aturan antara beleid yang satu dan lainnya.

"Kenyataannya memang terlalu banyak UU yang berada di bawah rezim regulasi pendidikan. Ini yang seharusnya bisa disatukan. Menurut saya akan lebih baik," kata Andreas saat dihubungi wartawan, Rabu (2/3).

Ia menambahkan, dirinya masih menunggu naskah akademik dan draf usulan dari Kemendikbudristek kepada DPR. Pendapat serupa juga disampaikan Anggota DPR Komisi X, Sofyan Tan.

"Kami mendukung RUU Sisdiknas segera diajukan pemerintah kepada DPR. Kita juga lihat pada sidang mendatang, apakah diajukan pemerintah menjadi Prolegnas prioritas," ungkapnya, melalui pesan singkat.

Sebagai informasi, RUU Sisdiknas mengintegrasikan tiga undang-undang, yakni UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen serta UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Rancangan beleid ini pun masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah 2020-2024.

Pakar hukum Universitas Airlangga, M. Hadi Subhan menambahkan, integrasi ketiga undang-undang menjadi satu regulasi akan menciptakan harmonisasi dan sinkronisasi yang belum ada dalam sistem pendidikan nasional selama ini. Sebagai contoh, dalam UU Guru dan Dosen, batas umur pensiun guru besar adalah 65 tahun. Sementara UU Pendidikan Tinggi menentukan usia purna bakti pada usia 70 tahun. 

"Secara kasat mata ini tidak ada sinkronisasi. Kemudian UU Pendidikan Tinggi tidak diamanatkan pada UU Dasar 1945 dan UU Sisdiknas. Itu kurang klop sehingga kalau dijadikan satu sangat bagus," ungkap Hadi.

Harmonisasi dan Sinkronisasi

Selain menciptakan harmonisasi dan sinkronisasi, penggabungan ketiga regulasi tersebut sesuai dengan amanat konstitusi jika mengacu pada Pasal 31 Ayat 3 UUD 1945, agar pemerintah menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. Oleh sebab itu, langkah Kemendikbudristek merumuskan RUU Sisdiknas sudah tepat.

"Ini berarti harus ada undang-undang sistem pendidikan nasional. Ketiga undang-undang yang ada sekarang ini semuanya mengatur tentang sistem pendidikan sehingga kalau dijadikan satu memang sesuai amanat konstitusi," jelas Hadi.

Budi "Bukik" Setiawan dari Yayasan Guru Belajar juga mendukung RUU Sisdiknas. Sebab, adanya ketiga regulasi yang tumpang tindih tersebut memperumit sinkronisasi peraturan turunannya, sehingga perlu perubahan arah kebijakan yang bersifat strategis untuk mendorong transformasi pembelajaran.

Oleh karena itu, Bukik melanjutkan penyusunan RUU Sisdiknas perlu dipercepat demi menciptakan fleksibilitas bagi satuan pendidikan, termasuk pusat kegiatan belajar masyarakat dalam pengelolaan pendidikan. Hal ini terkait dengan penataan standar nasional pendidikan yang lebih memberdayakan dan kontekstual.

"Revisi UU Sisdiknas juga membuat sejumlah pengaturan teknis yang sebelumnya terkunci pada level UU bisa disesuaikan dengan kondisi guru," tutur Bukik.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya