Liputan6.com, Jakarta - Wacana penundaan pemilu kembali mengemuka, setelah ketua umum partai-partai politik bersuara. Sesuai konstitusi, pemilu lima tahunan harus diselenggarakan pada 2024. Pemerintah dan DPR juga telah menyepakati jadwal pemilu yang jatuh pada 24 Februari 2024.
Pro dan kontra pun bergema di tengah masyarakat menanggapi usulan agar pemilu ditunda. Temuan survei Y-Publica menunjukkan mayoritas publik berkeinginan agar pemilu tetap dilakukan sesuai jadwal pada 2024, yakni sebanyak 81,5 persen.
Baca Juga
“Lebih dari 80 persen publik yang menolak penundaan pemilu, dan menginginkan agar pemilu tetap diselenggarakan pada 2024,” kata Direktur Eksekutif Y-Publica Rudi Hartono dalam press release di Jakarta, pada Kamis (10/3/2022).
Advertisement
Usulan agar pemilu ditunda bukan kali pertama ini dilontarkan. Sebelumnya Menteri Investasi Bahlil Lahaladia mengaku adanya aspirasi dari kalangan pengusaha yang mengharapkan agar pemilu ditunda demi pemulihan ekonomi pasca-pandemi.
Menurut Rudi, desakan untuk menunda pemilu bersamaan dengan gagasan untuk mengubah masa jabatan presiden menjadi tiga periode. Presiden Jokowi pernah menolak tegas usulan tersebut, dengan menyebut para pengusulnya ingin menampar muka dan menjerumuskan dirinya.
“Pembatasan masa jabatan presiden maksimal dua periode merupakan amanat reformasi agar pengalaman otoritarianisme Orde Baru tidak terulang kembali,” tegas Rudi. Setelah diamandemen, konstitusi mengatur dengan jelas agar proses transisi kekuasaan berjalan secara demokratis.
Hasilnya, demokrasi di Indonesia berjalan semakin matang. Presiden Susilo Bambang Yudohoyono (SBY) mematuhi konstitusi setelah memerintah selama dua periode, untuk kemudian digantikan oleh Jokowi yang kini juga telah memasuki periode kedua.
Menabrak Konstitusi
Dua dasawarsa berlalu, keinginan untuk mengutak-atik konstitusi kembali muncul di kalangan elite politik. Dari mengubah batasan dua periode masa jabatan, memperpanjang periode menjadi 7-8 tahun, hingga terbaru menunda jadwal pemilu, yang jelas-jelas menabrak konstitusi yang berlaku.
“Konstitusi memang bukan kitab suci, melainkan produk hukum tertinggi yang menjadi kesepakatan bangsa, tetapi perubahan substansinya harus betul-betul mencerminkan kepentingan rakyat, bukan hasil persekongkolan elite,” tandas Rudi.
Apapun yang menjadi pilihan rakyat harus berjalan dalam koridor demokrasi, termasuk amandemen konstitusi. Dalam hasil survei, sebanyak 12,9 persen publik merasa tidak keberatan dengan pengubahan jadwal pemilu, dan sisanya 5,6 persen menyatakan tidak tahu/tidak jawab.
Survei Y-Publica dilakukan pada 24 Februari-4 Maret 2022 terhadap 1200 orang mewakili seluruh provinsi di Indonesia. Data diambil melalui wawancara tatap muka terhadap responden yang dipilih secara multistage random sampling. Margin of error ±2,89 persen, tingkat kepercayaan 95 persen.
Advertisement