MAKI Desak KPK Proses Pidana Gratifikasi MotoGP Lili Pintauli

MAKI mendesak KPK berani memproses kasus dugaan pidana gratifikasi MotoGP yang menyandung Lili Pintauli Siregar. Lili diketahui mundur dari pimpinan KPK setelah Dewas hendak menyidang kasus tersebut.

oleh Fachrur Rozie diperbarui 12 Jul 2022, 06:55 WIB
Diterbitkan 12 Jul 2022, 06:46 WIB
Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)
Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) mendesak proses pidana dugaan penerimaan gratifikasi MotoGP Lili Pintauli Siregar dilanjutkan meski sudah mengundurkan diri sebagai Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Diketahui Lili mengundurkan diri setelah kasus dugaan penerimaan fasilitas akomodasi hotel hingga tiket menonton ajang balap MotoGP Mandalika, NTB akan disidangkan oleh Dewan Pengawas KPK.

"KPK seharusnya tetap mendalami terkait dugaan pidana gratifikasi atau suap, karena keduanya merupakan hal yang terpisah," ujar Koordinator MAKI Boyamin Saiman dalam keterangannya, Senin (11/7/2022).

Boyamin mengatakan, dugaan pidana dalam gratifikasi Lili jelas berbeda dengan dugaan pelanggaran etik. Menurut Boyamin, dalam proses etik terperiksa hanya mendapatkan sanksi sosial, berbeda dengan pidana.

"Soal pengunduran diri ini terkait dengan kode etik, karena kode etik itu kalau dinyatakan pelanggaran berat, sanksi yang berat adalah pengunduran diri. Maka ia diminta untuk mengundurkan diri," kata dia.

Menurut MAKI, pengunduran diri Lili membuktikan kalau mantan Wakil Ketua LPSK itu merasa bersalah menerima fasilitas dari PT Pertamina. Atas dasar itu, seharusnya KPK menindaklanjuti dugaan adanya tindak pidana gratifikasi MotoGP yang dilakukan Lili.

Apalagi, menurut Boyamin, Lili juga pernah bermasalah yakni terbukti berkomunikasi dengan mantan Wali Kota Tanjungbalai M Syahrial. Komunikasi berkaitan dengan penyelidikan kasus dugaan suap jual beli jabatan di Pemkot Tanjungbalai.

"Jika ada dugaan hukum di pidana, maka tidak ada proses batal atau gugur karena dua hal yang terpisah. Karena baik Pasal 36 UU KPK berkaitan dengan melakukan komunikasi dengan pihak yang sedang jadi 'pasien' KPK atau ketentuan suap atau gratifikasi, itu berdiri sendiri meski pun ruhnya pelanggaran kode etik, namun hukum pidananya berdiri sendiri dan tidak batal dan bisa diproses hukum," kata dia.

 

Firli Bahuri Berani Tegas atau Nanti Akan Malu

FOTO: Ketua KPK dan Komisi III DPR Bahas RKA K/L Tahun 2023
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri saat mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR di Jakarta, Rabu (8/6/2022). Rapat yang berlangsung tertutup tersebut membahas RKA K/L Tahun 2023. (Liputan6.com/Angga Yuniar)

Boyamin meminta Firli Bahuri cs harus membuktikan bahwa KPK yang kini mereka nakhodai menjerat tanpa pandang bulu. Menurut Boyamin, KPK bisa kembali dipercaya publik jika menjerat mantan pimpinannya sendiri.

"KPK keras dengan orang lain, maka juga harus keras dengan dirinya sendiri, yaitu dengan dugaan korupsi yang dilakukan oleh orang-orang di dalam KPK, baik pimpinan maupun pegawainya," kata Boyamin.

Boyamin kemudian memberikan contoh AKP Suparman, penyidk KPK asal Polri yang tersandung kasus karena diduga mengancam atau memeras saksi.

"Maka dia juga dibawa ke proses hukum, demikian kalau di unsur pimpinan dan seluruh pegawai KPK sebelumnya," kata dia.

Boyamin menilai jika penegakan hukum di KPK hanya tegas di awal-awal, meskipun Dewan Pengawas merekomendasikan untuk dilakukan hukum pidana, namun nyatanya anggota yang dianggap mencuri atau menyalahgunakan barang bukti hanya dipecat.

Untuk itu, ia mendesak agar KPK menindak pimpinan KPK yang diduga melakukan suap dan gratifikasi. Menurut Boyamin, KPK akan malu jika kasus Lili diambil Kejaksaan Agung atau Polri.

"Tapi kan bisa malu kalau yang menangani Kejaksaan Agung atau Kepolisian, mestinya tetap kembali ke KPK untuk dilakukan hukum pidananya," tambahnya.

Proses tersebut dilakukan karena menurutnya terdapat dugaan suap atau gratifikasi dan pelanggaran Pasal 36 UU Nomor 19 tahun 2019 RUU KPK.

"Di sana menyebutkan pimpinan KPK dilarang berhubungan, baik langsung atau tidak, dengan tersangka atau orang lain yang berkaitan dengan perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani, ancaman hukumannya paling lama 5 tahun penjara," katanya.

 

Keputusan Lili Mundur Tak Hentikan Kasus Gratifikasi

Wakil Direktur PT Adonara Propertindo, Anja Runtuwene
Wakil Ketua KPK. Lili Pintauli Siregar saat rilis penahanan Anja Runtuwene tersangka dugaan korupsi pengadaan tanah program pembangunan rumah DP Rp 0,- di Munjul Pondok Ranggon, Gedung KPK, Jakarta, Rabu (2/6/2021). (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Senada, Pakar Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Muhammad Fatahillah Akbar mengatakan pengunduran diri tersebut tak menghentikan kasus gratifikasi yang diduga diterima Lili.

"Pengunduran diri menghentikan proses etik. Namun tidak menghentikan gratifikasi," kata Akbar.

Ia mengatakan bahwa KPK seharusnya bisa menjadi contoh dalam upaya pemberantasan korupsi dengan tetap menindaklanjuti dugaan gratifikasi Lili.

"Kalau ada dugaan gratifikasi harus segera ditindak baik terduga penerima dan pemberinya. Karena KPK adalah percontohan lembaga anti korupsi jadi jangan sampai kebobolan," kata Akbar.

Sebelumnya, Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) bicara unsur pidana dalam dugaan penerimaan gratifikasi MotoGP mantan Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar.

Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean menyebut pihaknya akan menyerahkan temuannya selama proses pencarian barang bukti dan keterangan dugaan penerimaan gratifikasi Lili kepada pimpinan KPK.

 

Kewenangan Ada di Tangan Firli Bahuri

Firli Bahuri
Pimpinan KPK Firli Bahuri (tengah) didampingi dua Wakil Ketua KPK, Lili Pintauli Siregar (kiri) dan Nurul Ghufron memberikan keterangan terkait ulang tahun KPK yang ke-16 di Gedung KPK, Jakarta, Senin (30/12/2019). (merdeka.com/Dwi Narwoko)

Selebihnya, menurut Tumpak, kewenangan menindaklanjuti atau tidak ada pada Komjen Pol (Purn) Firli Bahuri cs.

"Bukankah bukti (dugaan penerimaan gratifikasi) sudah dipegang? Tentunya penetapan ini akan kami sampaikan kepada pimpinan. Tentang nanti pimpinan akan menindaklanjuti, silakan tanya ke pimpinan. Itu bukan wewenang Dewas," ujar Tumpak di Gedung KPK Kavling C1, Jakarta Selatan, Senin (11/7/2022).

Menurut Tumpak, Dewas KPK hanya memiliki kewenangan menentukan ada atau tidaknya pelanggaran etik, bukan mencari adanya unsur pidana dalam pelanggaran etik Lili.

"Tapi tentunya penetapan ini, setelah ini akan kami sampaikan pada pimpinan. Apakah nantinya pimpinan menindaklanjuti dan seterusnya, itu bukan wewenang kami," kata dia.

Diketahui, Presiden Joko Widodo atau Jokowi sudah menerima surat pengunduran diri Lili Pantauli Siregar dari Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jokowi pun sudah meneken Keputusan Presiden (Keppres) tentang Pemberhentian Lili Pantauli.

"Surat pengunduran diri Lili Pintauli Siregar telah diterima oleh Presiden Jokowi. Presiden Jokowi sudah menandatangani Keppres Pemberhentian LPS," kata Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara (Stafsus Mensesneg) Faldo Maldini kepada wartawan, Senin (11/7/2022).

Dia tak menjelaskan kapan Jokowi menandatangani keppres tersebut. Faldo mengatakan penerbitan keppres tersebut merupakan bagian dadi proses administrasi.

"Penerbitan keppres tersebut merupakan prosedur administrasi yang disyaratkan dalam undang-undang KPK," ujarnya.

Infografis Dugaan Gratifikasi Nonton MotoGP Komisioner KPK Lili Pintauli. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Dugaan Gratifikasi Nonton MotoGP Komisioner KPK Lili Pintauli. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya