6 Tanggapan Pro Kontra Usai Jokowi Terbitkan Perppu Cipta Kerja

Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah resmi menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada Jumat 30 Desember 2022.

oleh Devira Prastiwi diperbarui 02 Jan 2023, 19:41 WIB
Diterbitkan 02 Jan 2023, 19:41 WIB
FOTO: Unjuk Rasa Buruh Tuntut Pencabutan UU Cipta Kerja
Buruh melakukan aksi unjuk rasa di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Rabu (10/11/2021). Buruh menuntut pemerintah untuk mencabut UU Cipta Kerja dan meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk mundur. (merdeka.com/Imam Buhori)

Liputan6.com, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi telah resmi menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja pada Jumat 30 Desember 2022.

Penerbitan Perppu berpedoman pada peraturan perundangan dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 38/PUU7/2009.

Meski telah resmi diterbitkan Presiden Jokowi, Perppu Cipta Kerja menuai pro kontra. Salah satunya disampaikan Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI).

Kelompok buruh tersebut sepakat pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja). Kendati, belum mengetahui isi lengkap mengenai Perppu tersebut.

Presiden Partai Buruh Said Iqbal menuturkan sejak awal pihaknya mengusulkan dibuat Perppu untuk omnibus law UU Cipta Kerja. Bukan dibahas kembali di parlemen oleh DPR bersama Pemerintah terhadap pasal-pasal yang sama.

"Ini tahun politik. Akan terjadi politisasi jika dilakukan pembahasan ulang," ujar Said dalam keterangannya, Jumat 30 Desember 2022.

Dia memandang jika begitu tidak menutup kemungkinan akan terjadi kejar tayang dan banyak permasalahan lain seperti ketika pembahasan omnibus law di awal.

"Oleh karena itu, Perppu adalah jalan yang terbaik," tegas Said Iqbal.

Sementara itu, fraksi PKS DPR RI menilai kehadiran Perppu tersebut adalah bencana undang-undang karena sangat merugikan rakyat. Hal tersebut disampaikan Sekretaris Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) Ledia Hanifa Amaliah.

"Kehadiran Perppu nomor 2 tahun 2022 ini dapat dikatakan sebagai satu bencana Undang-Undang, karena berpotensi mengganggu, merusak serta merugikan kehidupan bernegara yang demokratis dan mencederai ketundukan pada hirarki perundang-undangan di negeri ini," ujar Ledia Hanifa dalam keterangannya, Senin (2/1/2023).

Selain itu, anggota DPR RI Fraksi Gerindra Fadli Zon menilai penerbitan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja merupakan kewenangan dan hak pemerintah.

Berikut sederet tanggapan pro kontra usai Presiden Jokowi menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dihimpun Liputan6.com:

 

1. Kelompok Buruh

FOTO: Aksi Buruh Peringati May Day di Kawasan Patung Kuda
Massa buruh yang tergabung dalam Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) dan Serikat Pekerja Nasional (SPN) demo di kawasan Patung Kuda, Jakarta, Kamis (12/5/2022). Aksi tersebut untuk memperingati May Day serta menolak Omnibuslaw UU Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 dan meminta klaster ketenagakerjaan kembali ke substansi UU Nomor 13 Tahun 2003. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Kelompok buruh dari Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sepakat pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja (Perppu Cipta Kerja). Kendati, belum mengetahui isi lengkap mengenai Perppu tersebut.

Presiden Partai Buruh Said Iqbal menuturkan sejak awal pihaknya mengusulkan dibuat Perppu untuk omnibus law UU Cipta Kerja. Bukan dibahas kembali di parlemen oleh DPR bersama Pemerintah terhadap pasal-pasal yang sama.

"Ini tahun politik. Akan terjadi politisasi jika dilakukan pembahasan ulang," kata dia dalam keterangannya, Jumat 30 Desember 2022.

Dia memandang jika begitu tidak menutup kemungkinan akan terjadi kejar tayang dan banyak permasalahan lain seperti ketika pembahasan omnibus law di awal.

"Oleh karena itu, Perppu adalah jalan yang terbaik," ucap Said Iqbal.

Terkait dengan isi Perppu, Said Iqbal mengaku belum tahu isinya. Oleh karena itu, pihaknya belum bisa menentukan sikap akan menerima atau menolak terhadap Perppu tersebut. Namun demikian, sebelum Perppu keluar, dia mengaku sempat membahas bersama tim dari pengusaha dari Kadin Indonesia.

Tujuannya untuk mengusulkan revisi terhadap klaster ketenagakerjaan untuk mendapatkan win-win solution. Bahkan bersama Presiden KSPSI Andi Gani Nena Wea sudah menghadap Presiden Joko Widodo untuk menyampaikan revisi atau perbaikan, khusunya klaster ketenagakerjaan.

Said Iqbal menyampaikan dalam pertemuan itu, telah tercapai beberapa kesepakatan. Di antaranya adalah terkait dengan upah minimum, yang intinya dikembalikan ke UU 13 Tahun 2003.

Untuk kenaikan upah minimum didasarkan pada inflansi dan pertimbuhan ekonomi, serta mempertimbangkan survey kebutuhan hidup layak. Upah minimum ditetapkan oleh Gubernur.

"Upah minimum sektoral dalam usulan kami juga masih ada. Seperti UMSP untuk provinsi dan UMSK untuk kabupaten/kota. Tetapi berbeda dengan UU 13, di mana upah minimum sektoral diputuskan di tingkat nasional. Bukan diputuskan di tingkat daerah," kata Said Iqbal.

Usulan berikutnya adalah terkait dengan outsourcing. Jika di dalam UU Cipta Kerja outsourcing dibebaskan di semua jenis pekerjaan, maka usulannya sama dengan UU 13/2023, yakni tetap harus ada pembatasan.

Sementara itu, terkait dengan pasal karyawan kontrak yang di dalam UU Cipta Kerja tidak dibatasi periode kontraknya, meski di dalam PP ada batasan paling lama 5 tahun, diusulkan harus ada batasan periode kontrak.

"Usulan kami kembali ke UU No 13 Tahun 2003, bahwa karyawan kontrak masa kontraknya maksimal 5 tahun dengan periode kontraknya dibatasi 5 kali," terang Said Iqbal.

Menurutnya, ini untuk menghindari kontrak kerja yang berulangkali tanpa adanya pengangkatan menjadi karyawan tetap.

Selain usulan tadi, pihaknya juga memberi usulan soal pemberian pesangon dengan modifikasi. Ini bagian dari usulan aturan dikembalikan ke UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Said Iqbal bertutur untuk perhitunngan pesangon tidak ada perubahan. Tetapi dasar upah yang digunakan sebagai perhitungan pesangon adalah 4 kali PTKP.

"Dengan demikian untuk mereka yang upahnya lebih besar dari 4 PTKP, maka upahnya dihitung maksimal 4 PTKP," jelasnya.

Selain itu, pengusaha boleh memilih asuransi pesangon dengan mendaftarkan buruhnya ke pengelola asuransi pesangon yang dalam hal ini bisa dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan.

Terkait dengan iurannya berapa, bisa didiskusikan lebih lanjut, tetapi harus dipastikan manfaatnya sama dengan undang-undang dan semua iuran dibayar oleh pengusaha.

Sedangkan terkait PHK, jam kerja, lembur, sanksi, dan hak upah buruh perempuan pada saat cuti haid dan melahirkan semuanya dikembalikan ke UU No 13 Tahun 2023.

"Itulah isi Perppu yang kami usulkan setelah berdiskusi dengan Tin Kadin yang membidangi ketenagakerjaan," urai Said Iqbal.

Partai Buruh berharap, persoakan petani terkait dengan bank tanah yang dikaitkan dengan reforma agraria, persoalan lingkungan hidup, serta hak asasi manusia juga diperkuat di dalam Perppu. Namun demikian, Said Iqbal mengaku apa isi Perppu yang sudah dikeluarkan belum tahu.

"Bagaimana sikap kami terhadap Perppu tersebut? Akan kami pelajari dulu, apakah akan ada aksi penolakan atau kami terima," tegasnya.

 

2. PAN

Ketika Massa Berbagai Elemen Bergabung Menolak UU Cipta Kerja
Massa dari PA 212 menuju Patung Kuda, Jakarta, untuk mengikuti aksi menolak UU Cipta Kerja, Selasa (13/10/2020). Selain PA 212, massa gabungan mahasiswa dan pelajar turut aksi mendesak Presiden Joko Widodo membatalkan UU Cipta Kerja Omnibus Law yang dinilai merugikan. (merdeka.com/Iqbal Nugroho)

Anggota Baleg DPR RI dari Fraksi PAN Guspardi Gaus menekankan, kedudukan Perppu Cipta Kerja yang di keluarkan Presiden Jokowi sudah setara dengan undang-undang.

Karena itu, tidak ada lagi pengajuan dari pemerintah untuk membahas revisi UU Ciptaker yang telah dianggap MK inkonstitusional bersyarat.

"Mengubah UU itu ada dua cara, pertama dengan melakukan revisi. Kalau direvisi tentu memakan waktu yang lama. Kedua adalah Perppu, karena mungkin dianggap ada yang krusial, dianggap penting, atau ada kekosongan hukum, artinya mendesak," kata dia dalam keterangannya, Senin (2/1/2023).

Menurutnya, alasan yang dikemukakan Pemerintah cukup logis dan wajar. Tahun 2023 diproyeksikan terjadi krisis yang melanda dunia.

Jika dilakukan revisi UU Cipta Kerja akan memakan waktu yang lama, mengingat atas limitasi waktu dua tahun yang diberikan MK. Sementara masyarakat dan dunia usaha sangat membutuhkan kepastian hukum.

"Tentu diperlukan langkah cepat dengan payung hukum yang kuat dalam mengambil kebijakan ekonomi agar dapat mengantisipasi berbagai tantangan dan melahirkan kepercayaan dunia usaha dalam pemulihan perekonomian," Jelas Guspardi.

Dia berharap, dengan keluarnya Perppu Cipta Kerja ini, mudah-mudahan masyakarat bisa memahami alasan Pemerintah, bahwa memang ada kegentingan yang memaksa.

Pemerintah diharapkan juga memberi penjelasan secara transparan, agar publik bisa memahami sehingga tidak ada lagi suara sumbing yang tidak enak didengar terkait dengan UU Cipta Kerja.

Sekalipun bisa memahami alasan Pemerintah menerbitkan Perppu Cipta Kerja, tapi sebagai eks Anggota Panja RUU Cipta Kerja, Guspadi sangat berharap DPR tidak serta merta memberikan persetujuan, kecuali atas dasar pertimbangan dan kajian yang sangat matang.

"DPR juga dapat menolak Perppu itu jika dianggap tidak substantif dan jauh dari yang direkomendasikan MK terkait UU Cipta Kerja. Intinya kita perlu lebih teliti dan hati-hati," pungkas anggota Komisi II DPR RI tersebut.

 

3. PKS

Ilustrasi PKS. (dok PKS)
Ilustrasi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). (dok PKS)

Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKS, Kurniasih Mufidayati menyebut Perppu Cipta Kerja inkonsisten dengan hasil putusan MK. Menurutnya, yang harus dilakukan pemerintah adalah memperbaiki UU No 11 Tahun 2020 yang inkonstitusional bersyarat sesuai dengan arahan Mahkamah Konstitusi.

"Bukan dengan jalan pintas menerbitkan Perppu," kata Kurniasih dalam keterangannya, Minggu 1 Januari 2023.

Dalam pertimbangan putusan MK, UU Cipta Kerja cacat formil karena tata cara pembentukan UU tersebut tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang.

Kemudian, dalam pembentukan UU Cipta Kerja, terjadi perubahan penulisan beberapa substansi pascapersetujuan bersama DPR dan Presiden.

Ia menegaskan, pembentukan UU Cipta Kerja yang dibahas dengan DPR meski Fraksi PKS tegas menolak dinyatakan cacat formil oleh MK karena prosedurnya bermasalah. Sekarang pemerintah justru mengeluarkan Perppu yang menghilangkan fungsi legislasi DPR sama sekali.

"MK berpendapat proses pembentukan UU 11/2020 adalah tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945, sehingga harus dinyatakan cacat formil. Ini malah membuat Perppu untuk menggantikan dengan menghilangkan peran DPR sama sekali," ujar Kurniasih.

Kurniasih mengingatkan, selain pada sisi subtansi, pembentukan UU Cipta Kerja juga bermasalah pada sisi prosesnya. MK juga mempertimbangkan sulitnya draf RUU Cipta Kerja diakses oleh masyarakat dan kerap berubah-ubah.

"Prosesnya bermasalah, subtansinya juga bermasalah. MK memutuskan inkonstitusional bersyarat dengan jangka dua tahun harus diperbaiki. Jika tidak maka resmi keseluruhan UU Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional. Ini mengeluarkan Perppu sama sekali tidak memperbaiki baik dari sisi proses maupun subtansi," kata dia.

Kurniasih juga mempertanyakan penerbitan Perppu Cipta Kerja dan menyebut pernerbitannya terkesan mendadak. Ia mengingatkan bahwa penerbitan sebuah Perppu harus pada kondisi kegentingan yang memaksa.

"Kegentingan apa yang sifatnya memaksa sehingga pemerintah harus mengeluarkan Perppu. Jika terkait kondisi global ada inkonsistensi. Jika soal capaian Presiden Jokowi baru saja membanggakan pertum6 ekonomi Indonesia paling tinggi diantara negara G20. Tapi jika jadi alasan penerbitan Perppu seolah-olah kondisi Indonesia darurat dan underperform," pungkasnya.

Senada, Fraksi PKS DPR menilai kehadiran Perppu tersebut adalah bencana undang-undang karena sangat merugikan rakyat.

"Kehadiran Perppu nomor 2 tahun 2022 ini dapat dikatakan sebagai satu bencana Undang-Undang, karena berpotensi mengganggu, merusak serta merugikan kehidupan bernegara yang demokratis dan mencederai ketundukan pada hirarki perundang-undangan di negeri ini," ucap Sekretaris Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (FPKS) Ledia Hanifa Amaliah dalam keterangannya, Senin (2/1/2023).

Menurut Ledia, ketika Undang-Undang Cipta Kerja No 11 Tahun 2020 dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK pada November 2021, dalam keputusannya MK memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan diucapkan.

"Jadi MK secara lugas memerintahkan kepada pembentuk Undang-Undang untuk melakukan perbaikan pada Undang-Undang Cipta Kerja ini dengan tenggat hingga November 2023. Namun, bukannya melaksanakan amanah perintah perbaikan Undang-Undang tersebut bersama DPR, Presiden Jokowi malah menerbitkan produk hukum baru berupa Perppu. Yang diamanahkan apa, yang dikerjakan apa," kata dia.

Langkah Jokowi ini menurut Ledia, menunjukkan betapa pemerintah itu malas, menggampangkan pelanggaran terhadap hirarki perundang-undangan sekaligus melecehkan DPR. Terlebih, Pemerintah masih punya waktu satu tahun untuk melaksanakan perintah MK untuk memperbaiki Undang-Undang Cipta Kerja.

"Tetapi yang dipilih secara sadar justru menerbitkan Perppu, yang berarti mengabaikan perlunya pelibatan publik, abai pada ketundukan pada hirarki perundang-undangan dan melecehkan DPR yang menurut UUD NRI 1945 pasal 20 ayat 1 dan 2 memiliki kuasa membentuk Undang-Undang bersama Presiden," kata dia.

Ledia tidak menafikan bahwa Presiden memiliki hak prerogeratif menerbitkan Perppu. Namun, syarat kehadiran Perppu No 2 Tahun 2022 ini tidak kuat dan terlalu dipaksakan.

Ia mengingatkan, satu syarat kehadiran Perppu adalah kegentingan yang memaksa dan ketidakmungkinan memunculkan Undang-Undang dengan prosedur biasa.

"Mana situasi genting yang kita hadapi? Mana ketidakmungkinan memunculkan Undang-Undang dengan prosedur biasa? Yang ada justru keputusan pemaksaan dari Presiden yang mencederai kehidupan demokratis," ungkapnya.

Alasan kegentingan pemerintah yakni ancaman resesi global, peningkatan inflasi, hingga ancaman stagflasi yang bahkan dikaitkan pula dengan perang Rusia-Ukraina menurut Ledia terlalu berlebihan.

"Pemerintah sendiri yang mengingatkan kita betapa Indonesia tetap siap menghadapi krisis ekonomi global mengingat pertumbuhan ekonomi masih berada pada angka positif, 5 persen. Sehingga penerbitan Perppu ini sekali lagi tidak memiliki cukup kuat alasan kecuali sekedar memuaskan kemauan para pengusaha," terang Ledia.

Oleh karena itu, Ledia mendorong DPR menolak Perppu ini dan meminta pemerintah taat pada perintah MK untuk memperbaiki UU Cipta Kerja.

"Buka partisipasi publik, dengarkan aspirasi berbagai pemangku kepentingan, duduk bersama DPR membahas Undang-Undang demi kepentingan rakyat, bangsa dan negara," pungkasnya.

 

4. Anggota DPR RI

20160331- Fadli Zon Sindir Jokowi-Jakarta- Johan Tallo
Fadli Zon saat diskusi "DPR Lari Kencang Capai Target Legislasi, Pemerintah: 'Slow laa', Ada Apa?", Jakarta, Kamis (31/3). Fadli mengungkapkan, dalam prolegnas prioritas 2016, terdapat belasan RUU yang diusulkan pemerintah. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Anggota DPR RI Fraksi Gerindra Fadli Zon menilai penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja merupakan kewenangan dan hak pemerintah.

"Kan Perppu itu memang hak dari presiden," kata Fadli Zon ditemui di Puncak, Bogor, Sabtu malam 31 Desember 2022.

Terkait dengan isi Perppu Cipta Kerja, mantan Wakil Ketua DPR ini mengaku belum mengetahui isinya.

"Jadi saya sendiri sih belum baca Perppu-nya," ucap Fadli.

Fadli Zon menerangkan penerbitan Perppu ini nantinya harus diajukan ke DPR saat sidang berikutnya untuk mendapat persetujuan.

"Biasanya Perppu itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar akan dibahas oleh DPR pada masa sidang berikutnya," ujarnya.

Fadli Zon menyatakan ia tidak dapat menyimpulkan apakah DPR akan menolak atau menyetujui Perppu Cipta Kerja tersebut. Namun DPR tentunya akan melihat dari beberapa aspek sebelum mengeluarkan keputusan.

"Nanti bisa dilihat sejauh mana dari sisi hukum tata negara, keputusan MK terkait UU Cipta Kerja juga bisa dibuat Perppu, nah ini yang menarik saya kira untuk kita kaji," ujarnya.

Menurutnya, DPR juga perlu mempertanyakan alasan Jokowi menerbitkan Perppu Cipta Kerja secara mendadak, sehingga menimbulkan polemik.

"Iya itu perlu dibahas sejauh mana kedaruratan atau keterdesakkannya. Saya ini bagian yang akan dibicarakan oleh DPR. Kita tidak bisa mendahului lah," pungkasnya.

 

5. Menkopolhukam

Menko Polhukam Mahfud MD
Menko Polhukam Mahfud MD. (Ist)

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud Md menyatakan penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja karena adanya kebutuhan yang mendesak. Dia menyebut penerbitan perppu sudah sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).

"Keluarnya Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tertanggal 30 Desember ini adalah karena alasan mendesak atau kebutuhan mendesak sesuai dengan putusan MK Nomor 138/PUU/7/2009 yang waktu itu saya sebagai ketua MK menandatangani," kata Mahfud di Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat 30 Desember 2022.

Dia menjelaskan ada sejumlah alasan yang membuat pemerintah mengeluarkan perppu. Misalnya, ada kebutuhan mendesak dan kegentingan memaksa untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat dengan undang-undang, namun aturan itu belum ada.

"Sehingga terjadi kekosongan hukum atau yang ada itu tidak memberi kepastian misalnya karena diberi waktu tanggal sekian lagi, tidak ada kepastian," ujarnya.

Kemudian, alasan lainnya karena ada kekosongan hukum yang tidak bisa dibahas melalui prosedur normal sebab harus melewati sejumlah tahapan. Mahfud menilai pemerintah sudah memenuhi sejumlah alasan untuk menerbitkan Perppu Cipta Kerja.

"Oleh sebab itu pemerintah memandang ada cukup alasan untuk menyatakan bahwa diundangkannya Perpu Nomor 2 Tahun 2022 ini didasarkan pada alasan mendesak," tutur Mahfud.

Dia menyampaikan alasan mendesak yang membuat Perppu Cipta Kerja diterbitkan salah satunya, dampak perang Rusia Ukraina yang mempengaruhi negara-negara lain, termasuk Indonesia. Kondisi ini membuat sejumlah negara mengalami ancaman inflasi, stagflasi, krisis multisektor suku bunga, kondisi geopolitik, serta krisis pangan.

"Sehingga pemerintah Pemerintah harus mengambil langkah-langkah strategis secepatnya," ucap Mahfud.

Lebih lanjut, kata Mahfud, apabila menunggu putusan Mahkamah Konstitusi, maka pemerintah akan terlambat mengantisipasi krisis global. Untuk itu, Perppu Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja harus segera diterbitkan.

"Nah untuk mengambil langkah strategis ini, kalau masih menunggu sampai berakhirnya tenggat yang ditentukan oleh putusan MK nomor 91 tahun 2020 maka pemerintah akan ketinggalan untuk mengantisipasi dan menyelamatkan situasi," pungkas dia.

"Oleh sebab itu, langkah strategis diperlukan dan untuk memenuhi syarat langkah strategis bisa dilakukan maka Perppu ini harus dikeluarkan lebih dulu," imbuh Mahfud.

 

6. Presiden Jokowi

[Fimela] Presiden Jokowi
Dalam pidato pembukaan Google for Indonesia, Presiden Jokowi mengutarakan pesan dan dukungannya untuk UMKM dan anak-anak muda yang berkiprah di bidang teknologi. | Google Indonesia

Presiden Joko Widodo atau Jokowi angkat bicara soal pro kontra peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Jokowi menilai pro kontra adalah hal biasa setiap pemerintah mengeluarkan kebijakan dan regulasi.

"Biasa dalam setiap kebijakan dalam setiap keluarnya sebuah regulasi ada pro dan kontra," kata Jokowi kepada wartawan usai meninjau Pasar Tanah Abang Jakarta, Senin (2/1/2023).

Adapun Perppu Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja diterbitkan Jokowi pada Jumat, 30 Desember 2022. Dia menekankan bahwa pemerintah bisa menjelaskan alasan diterbitkannya perppu tersebut.

"Tapi semua bisa kita jelaskan," ucap Jokowi.

Sebelumnya, Presiden Jokowi menjelaskan penerbitan Perppu tentang Cipta Kerja, untuk memberikan kepastian hukum kepada investor di dalam maupun luar negeri.

Pasalnya, kata dia, saat ini dunia sedang menghadapi ancaman ketidakpastiaan global. Terlebih, ekonomi Indonesia tahun 2023, akan bergantung kepada investasi dan ekspor.

"Ini sebetulnya dunia ini sedang tidak baik baik saja, ancaman ancaman risiko ketidakpastian itu yang menyebabkan kita mengeluarkan perppu (Cipta Kerja), karena itu untuk memberikan kepastian hukum, kekosongan hukum yang dalam persepsi investor baik dalam maupun luar. Itu yang paling penting," jelas Jokowi dalam konferensi pers di Istana Kepresidenan Jakarta, Jumat 30 Desember 2022.

"Karena ekonomi kita di 2023 akan sangat teergantung pada investasi dan ekspor," sambungnya.

Jokowi menekankan bahwa penerbitan Perppu Cipta Kerja tak ada kaitannya dengan pencabutan kebijakan PPKM, dimana dilakukan di hari yang sama pada Jumat, 30 Desember 2022.

Jokowi menyampaikan pencabutan PPKM berdasarkan hasil kajian dengan melihat kasus Covid-19 di Indonesia yang sudah melandai.

"Ini ada urusan kesehatan di sini, urusan ekonomi di sini. Jadi jangan dicampur aduk. Jadi pencabutan PPKM ini benar benar karena kita melihat kasus Covid-19 di tanah air," jelas Jokowi.

Infografis Jokowi Beri Sinyal Hapus PPKM di Akhir 2022. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Jokowi Beri Sinyal Hapus PPKM di Akhir 2022. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya