Liputan6.com, Jakarta - Sidang vonis enam terdakwa kasus Obstruction of Justice atau perintangan penyidikan perkara pembunuhan Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J telah usai. Sidang vonis ini telah digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) sejak Kamis 23 Februari 2023.
Arif Rachman Arifin menjadi terdakwa pertama yang dibacakan vonisnya. Disusul Irfan Widyanto, Baiquni Wibowo dan Chuck Putranto di hari berikutnya, Jumat 24 Februari 2023. Sedangkan Hendra Kurniawan dan Agus Nurpatria menerima vonis pidananya pada Senin 27 Februari 2023.
Di antara keenam terdakwa, mantan Karo Paminal Polri Hendra Kurniawan mendapat vonis paling tinggi di antara yang lainnya dengan kurungan penjara selama 3 tahun. Dia terbukti bersalah atas kasus perintangan penyidikan perkara pembunuhan Brigadir J.
Advertisement
Pengamat Kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISSES) Bambang Rukminto menjelaskan, putusan vonis keenam terdakwa kasus Obstruction of Justice perkara pembunuhan Brigadir J sebagaimana sesuai dengan tingkat kepangkatan terdakwa masing-masing. Hal itu dapat dilihat dari vonis terberat yang diterima Hendra Kurniawan sebagai terdakwa yang memiliki tingkat kepangkatan paling tinggi.
"Vonis terhadap keenam terdakwa Obstruction of Justice perkara pembunuhan Brigadir J sesuai dengan tingkat kepangkatan mereka. Kesalahan itu terjadi karena jenjang kepangkatan," kata Bambang kepada Liputan6.com Selasa (28/2/2023).
Sebab, Bambang menilai, terdakwa lain seperti Agus, Arif, Baiquni, Chuck dan Irfan hanyalah menjalankan perintah atasan. Sehingga wajar apabila dituntut lebih ringan dari pada Hendra. Bahkan, seharusnya anak buah Sambo yang memiliki pangkat atau level di bawah tersebut juga bisa dibebaskan dari jerat pidana.
"Di level paling bawah mereka hanya sekedar menjalankan perintah akhirnya diberikan sanksi lebih ringan dibandingkan pangkat yang di atas. Bahkan, seharusnya mereka bisa lepas dari jeratan saksi pidana," ujar dia.
Sementara itu, Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Poengky Indarti, mengatakan pihaknya menghormati putusan Majelis Hakim dalam menjatuhkan vonis terhadap enam terdakwa kasus Obstruction of Justice perkara pembunuhan Brigadir J. Menurut dia, Majelis Hakim sudah memiliki pertimbangan fakta-fakta persidangan dan memperhatikan seluruh alat bukti secara komprehensif.
"Kompolnas menghormati putusan Majelis Hakim. Dalam menjatuhkan sanksi, Hakim pastilah sudah mempertimbangkan fakta persidangan dan pasti memperhatikan seluruh alat bukti secara komprehensif," kata Poengky kepada Liputan6.com, Selasa (28/2/2023).
Walaupun, kata Poenky, publik masih mempertanyakan putusan keenam terdakwa yang dianggap ringan, khususnya Hendra Kurniawan. Sehingga ada yang mengharapkan Hendra Kurniawan dapat dihukum lebih berat.
"Memang publik ada yang mempertanyakan putusan ini karena dianggap ringan, sehingga ada yg berharap Hendra dihukum maksimal dan ditambah 1/3 karena yang bersangkutan merupakan perwira tinggi dan memiliki jabatan strategis di Propam," ujarnya.
Peluang Kembali ke Polri
Pada sisi lain, Poenky menjelaskan keputusan Komisi Kode Etik Profesi Polri yang tetap mempertahankan Richard Eliezer tidak serta merta kemudian dapat dijadikan pintu masuk bagi mereka yang terlibat kasus Obstruction of Justice.
"Kompolnas menganggap keputusan Komisi Kode Etik Profesi Polri yang tetap mempertahankan Richard Eliezer tidak serta merta kemudian dapat dijadikan pintu masuk bagi mereka (para terdakwa Obstruction Of Justice)," kata Poengky dalam keterangannya, Selasa (28/2/2023).
Karena, lanjut Poengky, Majelis Sidang KKEP (Komisi Kode Etik Polri) dalam menjatuhkan sanksi kepada Bharada E telah berdasarkan beberapa pertimbangan. Sehingga Bharada E tetap dapat dipertahankan menjadi anggota Polri.
Pertimbangan tersebut juga mengacu kepada aturan-aturan hukum yang ada, yaitu PP Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Perpol Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri.
"Meski hukuman yang dijatuhkan rendah. Tetapi jabatan dan pangkat para perwira menengah dan tinggi pada saat melakukan obstruction of justice serta status mereka yang bukan merupakan penguak fakta dalam kasus obstruction of justice. Tidak dapat dibandingkan apple to apple dengan Richard Eliezer," nilai dia.
"Apalagi pertimbangan Majelis Hakim dalam kasus Richard Eliezer terkait hal-hal yang meringankan jelas-jelas tidak sama dengan pertimbangan Majelis Hakim dalam kasus Obstruction of Justice," tambah dia.
Sehingga, Poengky mengharap kepada semua pihak dapat menghormati putusan sidang KKEP Bharada E yang tetap menjadi anggota Polri meski dihukum demosi satu tahun.
"Kami optimistis Richard Eliezer akan terlahir kembali untuk bertugas dengan sebaik-baiknya di Polri," imbuhnya.
Sedangkan, Pakar Hukum Pidana Universitas Islam Indonesia (UII) Mudzakir berpandangan sidang kode etik terhadap terdakwa kasus Obstruction of Justice perkara pembunuhan Brigadir J terlalu tergesa-gesa. Ia menuturkan seharusnya sidang etik dapat dikombinasikan dengan vonis yang diterima.
"Sidang etik terlalu tergesa-gesa, seharusnya dikombinasikan dengan pembuktian perkaranya. Memang etik dengan pidana berbeda tapi etik dengan pidana ada berhubungan," kata Mudzakir kepada Liputan6.com Selasa (28/2/2023).
Untuk itu, kata Mudzakir, perlu kiranya dilakukan peninjauan kembali terkait pemecatan sejumlah terdakwa Obstruction of Justice perkara pembunuhan Brigadir J.
"Menurut saya berdasarkan putusan pengadilan itu ya diminta dimohonkan untuk ditinjau kembali (pemecatannya). Supaya ditinjau kembali para pelaku yang hubungannya dengan Obstruction of Justice jauh atau bahkan tidak ada," ujarnya.
Daftar Vonis 6 Anak Buah Sambo
Majelis hakim telah menjatuhkan vonis terhadap enam terdakwa kasus Obstruction of Justice atau perintangan penyidikan perkara kematian Nofriansyah Yoshua Hutabarat.
Keenam terdakwa yakni Hendra Kurniawan, Agus Nurpatria, Chuck Putranto, Baiquni Wibowo, Arif Rachman dan Irfan Widyanto.
Dalam amarnya, Hakim menyatakan keenam tersangka terbukti bersalah melakukan tindakan pidana dengan merusak sistem elektronik berupa CCTV terkait kematian Nofriansyah Yoshua Hutabarat alias Brigadir J. Adapun hukuman enam terdakwa kasus Obstruction of Justice berkisar antara 10 bulan hingga 3 tahun penjara.
1. Arif Rachman Arifin
Mantan Wakaden B Ropaminal Divisi Propam Polri, AKBP Arif Rachman divonis hukuman penjara 10 bulan penjara atas kasus Obstruction of Justice atau perintangan penyidikan perkara kematian Brigadir J. Ia juga disanksi hukuman Pemberhentian Tidak dengan Hormat (PTDH) dari anggota korps bhayangkara.
2. Irfan Widyanto
Mantan Kasubnit I Subdit Direktorat Tindak Pidana Bareskrim Polri, AKP Irfan Widyanto divonis hukuman penjara 10 bulan atas kasus Obstruction of Justice atau perintangan penyidikan perkara kematian Brigadir J. Irfan menjadi satu-satunya terdakwa kasus Obstruction of Justice yang belum menjalani Sidang Kode Etik Polri.
3. Baiquni Wibowo
Mantan PS Kasubbagriksa Rowabprof Divisi Propam Polri, Kompol Baiquni Wibowo divonis hukuman 1 tahun penjara atas kasus Obstruction of Justice atau perintangan penyidikan perkara kematian Brigadir J. Ia juga disanksi hukuman Pemberhentian Tidak dengan Hormat (PTDH) dari anggota korps bhayangkara.
4. Chuck Putranto
Mantan Kasubbagaudit Rowabprof Divisi Propam Polri, Kompol Chuck Putranto divonis hukuman 1 tahun penjara atas kasus Obstruction of Justice atau perintangan penyidikan perkara kematian Brigadir J. Ia disanksi hukuman Pemberhentian Tidak dengan Hormat (PTDH) dari anggota korps bhayangkara.
5. Agus Nurpatria
Mantan Kaden A Karopaminal Divisi Propam Polri, Kombes Agus Nurpatria divonis 2 tahun penjara dengan denda sebesar Rp20 juta atas kasus Obstruction of Justice atau perintangan penyidikan perkara kematian Brigadir J. Ia turut disanksi hukuman Pemberhentian Tidak dengan Hormat (PTDH) dari anggota korps bhayangkara.
6. Hendra Kurniawan
Mantan Karopaminal Divisi Propam Polri, Brigadir Jenderal Hendra Kurniawan dijatuhi vonis 3 tahun penjara dengan denda Rp27 juta atas kasus Obstruction of Justice atau perintangan penyidikan perkara kematian Brigadir J. Vonis tersebut menjadi vonis tertinggi di antara terdakwa kasus Ostruction of Justice. Ia juga disanksi hukuman Pemberhentian Tidak dengan Hormat (PTDH) dari anggota korps bhayangkara.
Advertisement
Arif Rahman dan Baiquni Wibowo Terima Vonis
Adapun AKBP Arif Rachman Arifin dan Kompol Baiquni Wibowo menyatakan telah menerima vonis Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) dalam kasus obstruction of justice penanganan perkara pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
"Arif Rahman Arifin dan Baiquni Wibowo menyatakan menerima vonis dan tak akan mengajukan banding atas Putusan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan," ujar Junaedi Saibih, tim kuasa hukum Arif Rahman dan Baiquni.
Menurut Junaedi, baik Arif Rahman dan Baiquni menyampaikan apresiasi kepada para hakim PN Jaksel yang bekerja profesional dalam mengawal kasus ini sejak awal.
"Klien Kami juga menyatakan apresiasi setinggi-tingginya kepada seluruh pilar penegak hukum yang terlibat, karena telah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada Klien Kami untuk membela diri dan mempertahankan hak hukumnya," kata dia.
Junaedi menyebut Arif Rahman dan Baiquni berharap agar jaksa penuntut umum sepakat dengan keputusan hakim PN Jaksel. Junaedi juga berharap agar Jaksa Agung tak memerintahkan jajarannya untuk mengajukan banding atas vonis Arif Rahman dan Baiquni.
"Besar harapan klien kami agar yang terhormat Jaksa Agung selaku pimpinan tertinggi Kejaksaan Republik Indonesia, atas nama keadilan dengan didasarkan pada rasa kemanusiaan dan hati nurani berkenan pula menerima dan tidak mengajukan upaya hukum banding terhadap putusan tersebut," kata Junaedi.
Dengan harapan tak ada banding dari Kejaksaan Agung, Junaedi menginginkan agar kasus ini segera inkracht alias berkekuatan hukum tetap. Selain itu, dia juga berharap agar Polri bisa kembali menerima Arif Rahman dan Baiquni seperti Polri menerima kembali Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E.
"Harapan kami begitu besar karena klien kami berkeinginan dapat dengan segera melanjutkan hidup, menata kembali nasib serta memperjuangkan kelanjutan pengabdian klien kami kepada bangsa dan negara melalui institusi Polri," kata Junaedi.
Sedangkan dengan terdakwa lain yakni Hendra Kurniawan, Agus Nurpatria, Chuck Putranto dan Irfan Widyanto menyatakan masih pikir-pikir untuk mengajukan banding atau menerima atas vonis hakim tersebut.
Richard Eliezer Tetap Anggota Polri
Sebelumnya, Polri telah menggelar sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) untuk Richard Eliezer Pudihang Lumiu alias Bharada E, Rabu 22 Februari 2023. Hasilnya, Bharada E ditetapkan masih menjadi anggota Polri.
“Sanksi administrasi mutasi bersifat demosi selama 1 tahun,” tutur Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Ahmad Ramadhan di Mabes Polri, Jakarta Selatan.
Adapun sanksi bersifat etika yaitu perilaku pelanggar dinyatakan merupakan perbuatan tercela, pelanggar berkewajiban meminta maaf segara lisan di hadapan sidang KKEP dan tertulis kepada pimpinan Polri.
”Komisi selaku pejabat berwenang berpendapat bahwa terduga pelanggar masih dapat dipertahankan untuk berada dalam dinas Polri,” jelasnya.
Dikutip dari laman Polri, Demosi artinya memindahkan anggota polisi dari hierarki yang ia tempati ke jabatan yang lebih rendah.
Sanksi demosi tercantum dalam Pasal 1 Angka 24 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Aturan tersebut berbunyi:
“Demosi adalah mutasi yang bersifat hukuman berupa pelepasan jabatan dan penurunan eselon serta pemindahtugasan ke jabatan, fungsi, atau wilayah yang berbeda.”
Kemudian hukuman demosi juga dapat dijatuhkan pada pelanggar yang memiliki jabatan struktural maupun fungsional. Hal tersebut terdapat pada Pasal 66 ayat (5) Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Pelanggaran Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Peraturan Kapolri No. 2 Tahun 2016) yang berbunyi:
“Hukuman disiplin berupa mutasi yang bersifat demosi, dapat dijatuhkan kepada Terduga pelanggar yang menduduki jabatan struktural maupun fungsional untuk dimutasikan ke jabatan dengan Eselon yang lebih rendah, termasuk tidak diberikan jabatan.”
Pasal 1 ayat (38) Peraturan Kapolri No. 2 Tahun 2016 menyatakan:
“Mutasi yang bersifat demosi adalah mutasi yang tidak bersifat promosi jabatan.”
Sementara atasan yang berhak menghukum anggota Polisi yang diberi sanksi demosi adalah atasan yang pelaksanaan sehari-hari ditugaskan kepada Provos Polri atau pengemban Fungsi Sumber Daya Manusia Polri.
Selama melaksanakan tugasnya, atasan yang berhak menghukum tersebut harus melakukan pengawasan selama anggota polri menjalani masa hukuman. Selain itu, atasan tersebut juga harus melakukan pengawasan selama enam bulan setelah menjalani hukuman.
Advertisement