Risiko Self Diagnosis, Siapkah Anda?

Masyarakat dilarang untuk self diagnosis mengenai gangguan kesehatan dan dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan kepada pihak profesional.

oleh Ika Defianti diperbarui 21 Mar 2023, 19:14 WIB
Diterbitkan 20 Mar 2023, 06:45 WIB
Journal: Risiko Self Diagnosis, Siapkah Anda?
Journal Risiko Self Diagnosis, Siapkah Anda?(Liputan6.com/Abdillah).

Liputan6.com, Jakarta - Keadaan keluarga kurang harmonis di masa lalu, membuat Intan yang berusia 5 tahun jadi kurang berkomunikasi dengan lingkungannya. Komunikasi dengan kedua orang tuanya pun juga sangat terbatas. Selain itu, dia juga susah bersosialisasi.

Setelah sang ayah dan ibunya memilih bercerai, dia semakin menarik diri dari lingkungannya. Sejak saat itu Intan mulai menyadari ada permasalahan dalam dirinya. Ketika menginjak bangku SMP pada tahun 2010, dia mulai bertukar pikiran dengan sahabat penanya di media sosial.

Beberapa di antaranya ada yang sedang mengalami depresi atau salah satu jenis gangguan kesehatan mental. Mulailah dia membandingkan dirinya dengan temannya tersebut. Ada beberapa kriteria yang dianggap mirip. Karena kurangnya informasi Intan mendiagnosis dirinya sendiri mengalami depresi.

Intan mengakui, saat itu edukasi mengenai gangguan kesehatan jiwa masih sangat minim. Bahkan informasi yang didapatkannya tidak detail.

"Waktu SMP itu aku pikir depresi itu kayak mood doang jelek gitu loh, bukan yang sampai penyakit atau genetik kayak aku tahu sekarang. Jadi memang dulu ada dan aku memang agak acuh sih, oh gue depresi, ya udah," kata Intan kepada Liputan6.com.

Selain berusaha tak acuh, Intan juga takut mendatangi profesional. Khawatir adanya stigma negatif dari orang-orang sekitar. Beberapa tahun kemudian ternyata gangguan kesehatan mental yang dialaminya semakin menggangu.

Atas rekomendasi orang terdekatnya pada 2016 dia mulai mendapatkan penanganan di salah satu RS kesehatan jiwa wilayah Jakarta Selatan. Sejumlah pemeriksaan dilaluinya dan beberapa gangguan kesehatan mental dideritanya.

"Diagnosisnya itu aku kena BPD, terus aku ada schizo tapi ringan dulu, sekarang udah enggak ada sama deep depresi," ucapnya.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Infografis  Apa yang Mempengaruhi Orang Mendiagnosis Sendiri Terkait Kesehatan Mental?
Apa yang Mempengaruhi Orang Mendiagnosis Sendiri Terkait Kesehatan Mental?(Liputan6.com/Abdillah).

Setelah diagnosis yang diterimanya, Intan baru menyadari jika jenis gangguan kesehatan mental itu berbeda-beda dan untuk penanganan harus dilakukan oleh pihak profesional. Wanita berusia 28 tahun itu juga menyarankan agar masyarakat tidak melakukan self diagnosis dan segera mendatangi pihak profesional.

"Padahal sekarang kalau misalnya ke psikiater, setahuku bisa pakai BPJS. Bukan berarti harus berduit atau gimana," dia menandaskan.

Berdasarkan laman milik Kementerian Kesehatan, self diagnosis merupakan suatu tindakan di mana kita mendiagnosis diri sendiri terkena suatu penyakit berdasarkan pengetahuan yang dimiliki atau setelah membaca informasi di internet yang berkaitan dengan keluhan tersebut. Misalnya orang berkecenderungan mencari tahu lebih banyak mengenai gangguan kesehatan fisik dan mental.

Misalnya yang berkaitan dengan kesehatan fisik, orang akan menuliskan kata kunci sakit yang dideritanya, batuk atau sesak nafas di internet. Kemudian search engine kerap memberikan informasi yang berkaitan dengan penyakit tersebut. Mulai dari yang terparah hingga yang ringan.


Jangan Diagnosis Diri Sendiri

Ilustrasi memahami kesehatan mental diri sendiri
Ilustrasi memahami kesehatan mental diri sendiri (dok.pexels)

Informasi mengenai gangguan kesehatan mental semakin mudah didapatkan seiring berjalannya waktu dan perkembangan zaman. Informasi tersebut juga mudah ditemukan ketika kata kunci ditulis di internet. Berbagai artikel hingga video akan segera tersaji di layar.

Berbagai ulasan atau unggahan tersebut cukup memengaruhi banyak orang yang merasa bahwa tanda dan gejala itu dirasakannya sehingga mendiagnosis dirinya sendiri. Namun tak sedikit masyarakat yang langsung mendatangi pihak profesional karena merasa mengalami gangguan kesehatan mental.

Psikolog dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia Vera Itabiliana Hadiwidjojo menyatakan biasanya fenomena mendiagnosis diri sendiri hanya berdasarkan ulasan internet hingga sumber lainnya. Berbagai ulasan tersebut biasanya hanya menjabarkan secara garis besarnya saja.

"Jadi dengan adanya lebih banyak referensi, memang mengundang orang untuk membaca terus membandingkan, mulai mungkin pertamanya membandingkan dengan orang lain dulu, terus ke diri sendiri. Jadi memang muncul kecenderungan sekarang mendiagnosa diri sendiri atau self diagnosis," kata Vera kepada Liputan6.com.

Vera menyatakan jika jenis gangguan mental pun memiliki cakupan dan turunan yang sangat luas. Hal tersebut berkaitan dengan bahaya dari self diagnosis, yaitu kesalahan diagnosis. Padahal diagnosis yang salah akan berdampak pada penanganan yang tidak tepat.

Untuk penegakan diagnosis itu hanya dapat dilakukan oleh ahlinya, yaitu psikolog hingga psikiater. Proses untuk penegakannya juga membutuhkan waktu dan metode tersendiri. Mulai dari wawancara, sejumlah tes khusus, hingga observasi terkait gangguan jiwa yang dialami.

"Dan itu ada jeda waktunya kita lihat dulu ya berapa lama, ini muncul lagi apa enggak, dan sebagainya. Jadi, butuh proses tidak semudah itu. Kalau mendiagnosa dari satu kali baca ternyata saya misalnya bipolar, oh saya OCD, enggak semudah itu," paparnya.

Lebih lanjut, dia menegaskan bahwa artikel atau bahkan video di internet bukanlah patokan untuk dapat mendiagnosis diri sendiri. Sebab informasi yang tersedia tersebut seringkali tidak dapat dipertanggungjawabkan secara medis.

Infografis Mengenal Mengenai Self Diagnosis pada Kesehatan Mental
Mengenal Mengenai Self Diagnosis pada Kesehatan Mental.(Liputan6.com/Abdillah).

Konsultasi ke Psikiater hingga Psikolog

Vera pun meminta masyarakat untuk melakukan konsultasi kepada ahlinya ketika mengalami gangguan kesehatan mental. Sebab perawatan atau penanganan yang diterima setiap pasien berbeda-beda berdasarkan permasalahan yang dialami.

"Jadi bawa ini konsultasikan ke ahlinya untuk memastikan apakah benar saya seperti ini. Contoh misalnya kemarin ramai-ramai orang bilang depresi, terus dateng ke psikolog, ditanya, dicek, dikonfirmasi apakah mengalami ini, mengalami ini, mengalami ini, ternyata enggak. Ya bukan depresi dong namanya, jadi memang belum tentu seperti yang dibaca itu diagnosanya," ujar dia.

Selain itu Vera menganjurkan agar masyarakat lebih selektif dalam membaca ulasan mengenai kesehatan mental di internet. Khususnya untuk orang yang memiliki kebiasaan memikirkan sesuatu secara berlebihan atau overthinking.

"Kalau yang kita baca itu membuat kita tambah pikiran, malah muncul hal-hal yang tidak menyenangkan, mendingan enggak usah. Jadi selektif aja dengan apa yang kita baca di media sosial," Vera menandaskan.

 


Pencemas Cenderung Melakukan Self Diagnosis soal Gangguan Jiwa?

Banner Journal Risiko Self Diagnosis, Siapkah Anda?
Banner Risiko Self Diagnosis, Siapkah Anda?(Liputan6.com/Abdillah).

Saat ini kesadaran masyarakat mengenai permasalahan kesehatan mental semakin tumbuh. Berbagai informasi dan pembahasan sudah mulai mudah ditemui. Keterbukaan mengenai gangguan jiwa juga mulai menjadi topik pembahasan di setiap media sosial.

Bahkan terdapat beberapa pihak yang secara terbuka mengaku mengalami gangguan kesehatan mental meskipun belum melakukan pemeriksaan kepada profesional. Mereka berpatokan dengan ulasan yang ada di internet.

Psikolog klinis & Co-Founder Ohana Space Veronica Adesla menyatakan bahwa self diagnosis biasanya dilakukan oleh seorang pencemas. Sebab orang yang sangat cemas cenderung memiliki kepekaan tinggi terhadap diri sendiri.

Yakni untuk mencari tahu lebih banyak mengenai sesuatu yang sedang dialami. Termasuk perasaan emosi hingga keluhan kesehatan fisik.

"Makanya yang lebih cenderung melakukan pencarian informasi adalah orang yang pencemas. Kemudian kalau ada enggak efek dari lihat selebgram, aktor, aktris kemudian mereka mencoba untuk meng-identify diri sendiri mungkin aja," kata Veronica kepada Liputan6.com.

Lanjut dia, padahal gejala yang dibandingkan atau dicocokkan tersebut belum benar-benar terjadi. Berbagai informasi mengenai gangguan kesehatan mental yang ada di internet ataupun media belum tentu akurat dan dapat dipertanggungjawabkan secara medis.

Karena hal itu, Veronica meminta agar masyarakat tidak mendiagnosis diri sendiri berdasarkan ulasan-ulasan yang ada. Penegakan diagnosis harus dilakukan pemeriksaan oleh ahlinya dengan perangkat pendukung. Bahkan proses tersebut dapat dilakukan secara berkala.

"Kalau self diagnosis itu, berbahaya makanya kalau ditanya apa, misinformation menyebabkan misleading, misleading menyebabkan mistreatment. Nah berbahaya nih kita sampai ke mistreatment," ucap dia.

Dia menilai alasan orang melakukan self diagnosis yaitu adanya kekhawatiran stigma masyarakat. Kemudian ada pula akibat aksi yang melebih-lebihkan sesuatu atau glorifikasi tentang masalah kesehatan yang sedang tren dan kekinian.

Daripada hanya berdasarkan dugaan dan diagnosis sendiri masyarakat diminta untuk mendatangi profesional gangguan jiwa. Untuk yang mengeluhkan kesehatan fisik juga dapat langsung mendatangi dokter spesialis. Sehingga langsung mendapatkan pemahaman yang lebih jelas.

Masyarakat Harus Bijak Cari Informasi di Internet

Veronica mengajak masyarakat untuk lebih bijak dalam menyikapi media sosial dan internet sebagai sumber informasi, khususnya mengenai kesehatan. Sebab treatment atau penanganan setiap orang akan berbeda berdasarkan permasalahan yang dialami. Tidak semua pengalaman penyintas gangguan kesehatan dapat ditiru oleh sembarangan orang.

"Setiap pribadi unik dan setiap problem yang dialami pribadi itu berbeda-beda. Maka kita perlu kenalin dan perlu memberikan treatment yang pas khusus buat orang ini," ujarnya.

Veronica juga meminta masyarakat untuk memiliki batasan dalam mencari informasi di internet mengenai gangguan kesehatan yang dialami. Menurut dia, keinginan tahu yang tinggi hanya akan menimbulkan tingginya rasa cemas dan takut pada sebuah kejadian yang belum tentu terjadi.

"Mencari informasi terus-terusan enggak berhenti, itu enggak membuat kita mendapatkan jawaban, yang ada semakin cemas. Karena semakin banyak informasi yang kita dapatkan dalam suatu waktu dan enggak berhenti nyari. Jadi kita harus tahu kapan kita berhenti dan kapan kita stop. Itu penting," jelas Vero.

 


Mitos dan Fakta Mengenai Depresi

Cara Agar Karyawan Berani Berbicara Tentang Kesehatan Mental
1 dari 3 karyawan mengalami burnout atau kelelahan yang berdampak pada hasil pekerjaan yang tidak maksimal. Credits: pexels.com by Andrea Piacquadio

Ada banyak mitos yang beredar seputar depresi. Bila mitos seputar depresi dianggap kebenaran maka bisa berimbas buruk. Misalnya bisa membuat seseorang memutuskan untuk tidak mencari bantuan profesional atau melakukan self diagnosis tanpa bantuan pakar.

Dikutip dari laman Medical News Today dan jurnal National Library of Medicine, Berikut beberapa mitos tentang depresi yang kerap kita dengar beserta faktanya:

Mitos 1: Depresi Bukan Suatu Kondisi Nyata

Beberapa orang mendiskreditkan depresi sebagai pilihan yang sengaja dibuat oleh seseorang. Orang-orang melihat depresi sebagai ajang mengasihani diri sendiri, dibanding memandang sebagai sebuah kondisi kesehatan mental yang dapat diobati.

Faktanya, depresi merupakan suatu kondisi yang melibatkan gejala emosional dan fisik. Hal ini dinyatakan oleh Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5) edisi kelima.

Seseorang harus memenuhi syarat dan melalui berbagai tahapan observasi oleh tenaga profesional untuk mendapatkan diagnosis kondisi kesehatan mental tertentu, dalam hal ini depresi.

Mitos 2: Obat adalah metode pengobatan terbaik

Faktanya, menurut peneliti buku Antidepressant, Zachary M Sheffler, tidak semua jenis kesehatan mental atau depresi membutuhkan antidepresan sebagai obat.

Penggunaan antidepresan juga menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan dari pasien tersebut. Ada yang mengonsumsi selama 6 bulan, atau bahkan lebih. Namun, sangat jarang dokter yang meresepkan antidepresan untuk dikonsumsi seumur hidup oleh pasien.

Penghentian dan pengurangan dosis antidepresan ini juga tidak bisa secara mendadak. Ada tahapan dan proses tertentu untuk mengurangi penggunaan obat tersebut sampai kondisi pasien sudah membaik.

Mitos 3: Trauma Menyebabkan Depresi

Faktanya, trauma dapat menjadi faktor risiko atau pemicu potensial depresi. Namun, perlu diketahui bahwa tidak ada penyebab tunggal depresi. Kondisi keseheatan mental sering terjadi karena adanya kombinasi dari berbagai faktor.

Selain itu, tidak semua orang yang mengalami peristiwa traumatis akan mengalami depresi. Kondisi ini juga dapat berkembang ketika segala sesuatu dalam hidup seseorang tampak baik-baik saja.

Mitos 4: Depresi adalah bagian dari transisi menuju dewasa

Faktanya, remaja memang mengalami tingkat depresi yang tinggi. Menurut National Institute of Mental Health, Diperkirakan 17 persen remaja AS berusia 12–17 mengalami setidaknya satu episode depresi berat pada tahun 2020.

Tidak setiap remaja yang moody (suasana hati naik turun) pasti mengalami depresi. Lalu, depresi bukanlah suatu peralihan atau peristiwa biologis yang harus dilalui seseorang untuk mencapai kedewasaan.

Masa remaja dapat menjadi masa yang sulit secara emosional, sosial, dan fisiologis. Gejala depresi bisa mirip dengan efek masa remaja.

Hal ini mungkin membuat sebagian orang percaya bahwa depresi hanyalah bagian dari transisi seseorang menuju kedewasaan.

Infografis Salah Persepsi pada Self Diagnosis
Salah Persepsi pada Self Diagnosis.(Liputan6.com/Abdillah).
Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya