Liputan6.com, Jakarta - Ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat (AS) dan China telah memasuki babak baru. Bukan dengan senjata atau militer, melainkan lewat kebijakan ekonomi yang menghantam berbagai sektor strategis dunia. Salah satu bentuknya adalah penerapan tarif impor oleh AS yang kian agresif, dan disebut sebagai bagian dari perang dagang terbuka.
Pengamat hubungan internasional sekaligus Pendiri Synergy Policies Dinna Prapto Raharja melihat langkah ini bukan hanya sebagai strategi politik, tetapi sebagai serangan sistematis terhadap tatanan ekonomi global. Ia menilai, dalam kebijakan tarif tersebut, tak ada lagi garis tegas antara strategi ekonomi dan niat hegemonik.
Baca Juga
"Menurut saya, kita sedang menyaksikan perang terbuka antara Amerika dan China. Bukan perang fisik, tapi sama destruktifnya," kata Dinna saat dihubungi Liputan6.com, Jumat (11/4/2025).
Advertisement
Dinna menyebut pendekatan ini sangat tidak adil bagi negara berkembang.
"Trump dan pemerintahannya tidak membedakan negara maju dan berkembang. Dipukul rata semua," tambahnya.
Meski beberapa pihak di AS menyebut kebijakan tarif impor AS sebagai bagian dari strategi negosiasi, Dinna tidak sepakat.
"Kalau dibilang strategi negosiasi, menurut saya terlalu simplistis. Karena nggak ada bedanya perlakuan terhadap negara berkembang dan negara maju,” ucapnya.
Kebijakan tersebut, menurutnya, hanya berujung pada satu hal: tekanan. AS menyatukan semua proposal negosiasi dari berbagai negara, namun enggan membuka transparansi terkait kesepakatan apa yang bisa dicapai. Bahkan, Trump sudah menegaskan bahwa penghapusan tarif tidak akan terjadi.
"Paling-paling dikurangi, tapi tidak dihapus," katanya.
Indonesia Harus Segera Temukan Alternatif
Dengan semakin menajamnya perang tarif, Dinna menyebut Indonesia harus realistis bahwa pasar Amerika mungkin tak lagi bisa diandalkan untuk sejumlah produk unggulan.
"Kita harus ikhlas. Pasar kita ke Amerika akan berkurang. Kita perlu cari pasar alternatif sekarang juga," ujarnya.
Namun bukan hanya Indonesia yang terdampak. Banyak negara juga terjebak dalam kebijakan unilateral AS yang memaksa pergeseran arah investasi dan produksi.
"Amerika ingin memutus supply chain China, dan menarik semua uang balik ke dalam negeri," kata Dinna.
Sektor-sektor seperti otomotif, baja, dan aluminium menjadi yang paling terpukul, dan proses adaptasi diperkirakan tidak akan selesai dalam waktu dekat.
Dinna menyebut dunia sedang mengalami kekosongan sistem perdagangan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Lembaga seperti WTO dinilai tak lagi mampu menengahi konflik dagang global.
"Sistem yang ada kosong. WTO vakum. Sistem produksi terganggu total di seluruh dunia," ujarnya.
Kondisi ini mendorong munculnya blok-blok ekonomi baru. Negara-negara seperti Kanada, Uni Eropa, Rusia, hingga China mulai membangun ulang rantai pasok dan mencari mitra baru yang tidak tergantung pada sistem yang dikendalikan AS.
"Negara-negara ini mulai eksplorasi, pertemuan di mana-mana. Mereka aktif mencari arah baru," kata Dinna. Bahkan Indonesia disebut harus memikirkan ulang posisi strategisnya dalam jaringan global yang baru ini.
Namun, pembentukan blok-blok ekonomi baru ini bukan tanpa konsekuensi.
"Ini berarti bisnis hari ini jadi jauh lebih mahal. Karena setiap masuk ke pasar baru, ada pagar baru. Harus negosiasi ulang," tambahnya.
Advertisement
Kemungkinan Terburuk
Dalam analisisnya, Dinna melihat bahwa yang paling mengkhawatirkan adalah jika China mulai meniru strategi ekonomi agresif AS.
"Kalau China ikut-ikutan, bisa lebih buruk. Bisa lebih ofensif," katanya.
Dunia bisa masuk ke fase panjang tanpa adanya ruang negosiasi yang sehat.
"Menurut saya, kita sedang berada dalam era gelap ekonomi global. Bukan perang fisik, tapi dampaknya serupa,” ujarnya.
"Kita sedang dalam crossfire. Dan kita harus segera menyesuaikan strategi nasional kita ke arah yang lebih mandiri, realistis, dan terbuka terhadap mitra-mitra baru."
