Perayaan Nyepi Jadi Ajang Refleksi dan Proyeksi Kelangsungan Bumi

Pimpinan Pusat Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (PP KMHDI) menilai, perayaan Hari Raya Nyepi tahun Saka 1945 menjadi ajang refleksi terhadap keberlangsungan bumi.

oleh Liputan6.com diperbarui 24 Mar 2023, 06:51 WIB
Diterbitkan 23 Mar 2023, 20:00 WIB
Umat Hindu Surabaya Jalani Upacara Melasti
Umat Hindu Surabaya menyambut Hari Raya Nyepi (Juni Kriswanto/AFP)

Liputan6.com, Jakarta - Pimpinan Pusat Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia (PP KMHDI) menilai, perayaan Hari Raya Nyepi tahun Saka 1945 menjadi ajang refleksi terhadap keberlangsungan bumi.

Diketahui, aktivitas perayaan Nyepi dituangkan dalam praktik Catur Brata Penyepian, meliputi Amati Karya (tidak bekerja), Amati Geni (tidak menyalakan api/cahaya), Amati Lelungan (tidak bepergian), serta Amati Lelangunan (tidak bersenang-senang) memberikan kesempatan pada bumi untuk membembersihan diri dari aktivitas yang merusak dan eksploitatif manusia.

Menurut Ketua Presidium PP KMHDI, I Putu Yoga Saputra, perayaan Nyepi bukan hanya sekadar praktik teologis yang bersumber dari sastra dan kitab suci yang harus dilaksanakan oleh umat Hindu. Namun Nyepi juga mengandung praktik dan nilai-nilai ekologis.

“Hari Suci Nyepi bukan hanya sekadar perayaan yang berdimensi agama, yakni hubungan manusia dengan Tuhan, namun perayaan Nyepi juga menyimpan nilai-nilai ekologis yang mengajari tentang pentingnya manusia untuk berhenti sejenak dan membiarkan Bumi melakukan pembersihan dari aktivitas manusia yang ekploitatif," kata Yoga seperti dikutip Kamis (23/3/2023).

Yoga menjelaskan, praktik Catur Brata Penyepian dalam kadar tertentu bisa menjadi praktik yang dapat diterapkan di tengah terancamnya keberlangsungan Bumi akibat praktik eksploitatif manusia.

"PP KMHDI mengajak umat Hindu se-Indonesia untuk menjadikan perayaan Hari Suci Nyepi sebagai ajang refleksi bersama terhadap keberlangsungan Bumi," ajak Yoga.

Ancaman Perubahan Iklim

Yoga meyakini, keberlangsungan bumi dan manusia yang menempatinya tengah terancam akibat eksploitasi besar-besaran dan praktik industrial yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim. Emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh manusia telah membuat suhu bumi semakin memanas. Akibatnya, Bumi sekarang 1,1°C lebih panas daripada di akhir tahun 1800-an. Dekade terakhir (2011-2020) adalah rekor terpanas.

"Akibatnya terjadi kekeringan hebat, kelangkaan air, kebakaran hutan, pencairan es kutub, naiknya permukaan laut, banjir, badai dahsyat, dan penurunan keanekaragaman hayati," jelas dia.

Berkaca pada kejadian-kejadian itu, Yoga memastikan, telah banyak kerugiann baik material maupun non-material ditimbulkan. Terlebih menurutnya, kerugian paling besar dirasakan oleh kelompok-kelompok yang berkategori rentan, seperti kelompok miskin, petani, nelayan, masyarakat adat, termasuk juga negara-negara berkembang.

“Akibat perubahan iklim ini kelompok-kelompok rentan akan menjadi semakin rentan lantaran mereka tidak mempunyai sumber daya berlebih untuk menanggulangi dampak krisis iklim. Seperti misalnya apabila terjadi kekeringan dan kelangkaan air para petani yang akan menjadi korban. Jika terjadi kenaikan harga pangan akibat kekeringan kelompok miskinlahh yang menjadi korban,” ujarnya.

Yoga juga menjelaskan, sebagai negara kepulauan Indonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim. Kenaikan muka air laut dan cuaca buruk berpotensi mengancam kehidupan masyarakat pesisir Indonesia.

"Perubahan iklim mengancam pekerjaan mereka yang rata-rata mayoritas bekerja sebagai nelayan," wanti dia.

Harus Hadirkan Solusi di Tengah Situasi Mendesak 

Berdasarkan segala risiko yang ditimbulkan, ancaman perubahan iklim yang kian nyata dihadapi oleh umat manusia di Bumi harus segera dicari solusinya demi kelangsungan bumi dan kehidupan manusia.

Dalam hal ini, setiap negara dan manusia harus bertanggung jawab atas apa yang tengah terjadi. Beban tidak hanya dipikul oleh segelintir negara namun harus oleh semua negara. Kendati porsi beban dan tanggung jawab masing-masing negara berbeda.

“Ini karena 100 negara dengan emisi terendah menghasilkan 3 persen dari total emisi. sementara 10 negara dengan emisi terbesar menyumbang 68 persen. Untuk itu negara yang menciptakan lebih banyak masalah seharusnya memiliki tanggung jawab yang lebih besar untuk bertindak terlebih dahulu. Kendatipun tanggung jawab terhadap kelangsungan bumi tetap dipikul bersama,” ungkap Yoga.

Diketahui, sejumlah forum-forum internasional yang membahas perubahan iklim belum menghasilkan keputusan yang terbilang memuaskan. Penyebabnya diduga, beberapa negara belum satu pemahaman soal upaya merespon perubahan iklim. Akibatnya, perdebatan forum-forum tersebut banyak diwarnai soal mekanisme pendanaan, besaran nominal, dan target waktu untuk melakukan transisi enegeri.

“Beberapa forum pertemuan seperti KTT G-20 di Bali dan Konferensi Iklim COP27 di Mesir sebetulnya telah menghasilkan sejumlah terobosan dalam merespon krisis iklim. Namun tentu mendesak untuk segera direalisasikan sebagaimana kesepakatan Paris 2015 tentang menjaga kenaikan suhu bumi tetap di bawah 2 derajat celcius,” kritik Yoga.

Krisis Ukraina dan Rusia Bisa Memperparah

Yoga juga menjelaskan bahwa tantangan untuk menjaga suhu bumi akan mendapatkan tantangan dari efek perang Ukraina dan Rusia. Menurutnya perang tersebut telah menyebabkan terjadinya krisis pangan dan energi yang membuat sejumlah negara mengalami perlambatan ekonomi.

Lebih lanjut, Yoga menjelaskan perlambatan ekonomi di sejumlah negara akan memaksa mereka untuk berproduksi lebih sering sehingga akan menghasilkan emisi yang terlempar lebih banyak ke udara dan pada akhirnya suhu bumi akan semakin panas dan memperparah krisis iklim.

"Untuk itu kita bersama harus melakukan refleksi terhadap kelangsungan bumi ke depan. Segala macam kesepakatan yang sudah dihasilkan harus dijalankan. Hari ini komitmen setiap negara dibutuhkan. Untuk itu Nyepi adalah momentum yang tepat untuk melakukan refleksi terkait keberlangsungan bumi,” dia menutup.

Infografis Nyepi di Bali tanpa Internet
Infografis Nyepi di Bali tanpa Internet
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya