HEADLINE: Kisruh Status Tersangka Korupsi Kepala Basarnas, Nyali Pimpinan KPK Dipertanyakan

Kisruh penanganan perkara korupsi di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) membuka tabir betapa bobroknya kinerja pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

oleh Muhammad Radityo PriyasmoroFachrur RozieAries Setiawan diperbarui 01 Agu 2023, 00:42 WIB
Diterbitkan 01 Agu 2023, 00:27 WIB
R Agung Handoko dan Johanis Tanak
Wakil Ketua KPK Johanis Tanak dan Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) Marsekal Muda (Marsda) Agung Handoko di Gedung Merah Putih KPK, Jumat, 28 Juli 2023. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta Kisruh penanganan perkara korupsi di Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) membuka tabir betapa bobroknya kinerja pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Usai penetapan tersangka terhadap Kepala Basarnas Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi dan Koorsmin Kabasarnas Letkol Adm Afri Budi Cahyanto, ujug-ujug Wakil Ketua KPK Johanis Tanak malah meminta maaf kepada TNI.

Bukan cuma itu, Johanis Tanak terang-terangan menyalahkan anak buahnya dalam menangani kasus korupsi yang melibatkan dua perwira TNI aktif itu.

Pernyataan itu disampaikan Johanis usai didatangi Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) Marsekal Muda (Marsda) Agung Handoko dan jajarannya pada Jumat, 28 Juli 2023 di Gedung Merah Putih KPK.

Di hadapan para wartawan dan disaksikan sejumlah perwira TNI, Johanis mengambinghitamkan anak buahnya dalam penetapan Henri Alfiandi dan Afri sebagai tersangka.

Terang saja, pernyataan Johanis Tanak itu membuat panas telinga para penyelidik dan penyidik KPK yang sudah bekerja keras menguak adanya tindak pidana korupsi di tubuh Basarnas.

Bahkan, akibat pernyataan Johanis, Direktur Penyidikan (Dirdik) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Brigjen Asep Guntur, mengundurkan diri dari jabatannya.

Gelombang protes juga disampaikan para pegawai KPK. Melalui surat, mereka menyatakan kecewa dengan sikap pimpinan. Para pegawai bahkan meminta komisioner KPK untuk mundur karena tidak profesional dan mencederai kepercayaan publik, lembaga KPK, maupun pegawai.

Dalam suratnya, pegawai juga meminta kesediaan pimpinan KPK untuk beraudiensi membahas hal terkait.

Audiensi pun digelar, Senin pagi, 31 Juli 2023, di gedung KPK. Dihadiri pimpinan KPK dan jajaran Kedeputian Penindakan dan Eksekusi, audiens tertutup untuk wartawan.

Sumber Liputan6.com di internal KPK yang ikut hadir dalam pertemuan, mengungkapkan suasana di forum itu. Di hadapan para penyelidik dan penyidik, Johanis Tanak mengaku terintimidasi saat membuat pernyataan yang menyinggung jajarannya. Johanis pun meminta maaf.

Bukan simpati atau pemberian maaf yang didapat, Johanis justru disoraki. Para pegawai kecewa dan malu punya pemimpin pengecut yang memikirkan diri sendiri serta menyalahkan anak buah.

Sumber di KPK itu juga menyatakan rekan-rekannya sesama penyidik kecewa dengan sikap Johanis Tanak dan pimpinan KPK lainnya.

"Penyidik sangat merasa kecewa dengan sikap tidak kesatria Tanak dan Alex serta Ghufron. Kami tidak rela dipimpin sama pengecut," kata dia.

Sumber menyatakan, Johanis Tanak tidak mempersoalkan disoraki oleh pegawai.

"Silakan pegawai meledek kami, prinsipnya kami memikirkan bagaimana menghadapi intimidasi," kata sumber yang mengutip pernyataan Johanis Tanak.

Pimpinan KPK Tidak Paham Undang-undang

Presiden Jokowi Resmi Lantik Pimpinan KPK Periode 2019-2023
Lima pimpinan KPK periode 2019-2023 berpose usai pelantikan di Istana Negara, Jakarta, Jumat (20/12/2019). Komjen Firli Bahuri ditetapkan sebagai Ketua KPK, Alexander Marwata, Lili Pintauli Siregar, Nurul Ghufron, dan Nawawi Pomolango sebagai wakil Ketua. (Foto: Biro Pers Setpres)

Pakar hukum Feri Amsari menilai kisruh penanganan kasus dugaan korupsi di tubuh Basarnas karena ketidakpahaman pimpinan KPK dalam memahami koneksitas yang ditentukan di dalam Undang-Undang KPK.

"Di undang-undang itu sudah ditentukan pula jika ada perkara-perkara koneksitas, di Pasal 42 Undang-Undang KPK kan disebutkan bahwa KPK berwenang mengoordinir, mengoordinasi, dan mengendalikan penyelidikan-penyelidikan dan penuntutan perkara korupsi yang melibatkan beberapa orang yang berkaitan dengan militer dan sipil. Jadi KPK berwenang untuk kemudian melakukan OTT dan mentersangkakan orang. Hanya saja ini seperti tidak dipahami oleh pimpinan KPK," ujar Feri kepada Liputan6.com, Senin, 31 Juli 2023.

Peneliti senior Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas (Unan), Padang, Sumatera Barat itu menambahkan, di Pasal 89 ayat 1 Undang-Undang KUHP disebutkan bahwa jika kemudian ada perkara pidana yang melibatkan unsur sipil dan militer, maka peradilannya adalah peradilan umum. Di titik ini, kata Feri, tentu saja proses turunan di bawahnya adalah proses umum.

Baca juga: TNI Tetapkan Kepala Basarnas Henri Alfiandi Jadi Tersangka, Ditahan di Puspom AU

Bahkan dalam hal ini, ditegaskan Feri, KPK lebih berwenang karena sebagai lembaga khusus yang menangani tindak pidana khusus yakni korupsi.

"Jadi sebenarnya ada kealfaan dari pimpinan KPK memahami itu. Makanya pernyataan bahwa ada kekhilafan dari penyelidik KPK dan meminta maaf itu juga adalah pernyataan yang tidak bertanggung jawab serta tidak memahami hukum," ujar Feri.

Selain itu, lanjut Feri, di dalam ketentuan Pasal 39 ayat 2 Undang-Undang KPK disebutkan bahwa segala proses penyelidikan dan penuntutan yang dilakukan KPK adalah atas perintah pimpinan KPK dan atas nama pimpinan KPK.

"Dengan sendirinya maka seluruh hal yang itu pasti bukan karena faktor kealfaan anak buah, kekhilafan anak buah, tapi kekhilafan pimpinan. Bisa dilihat bagaimana beragamnya cara pimpinan KPK menyikapi perkara ini," kata Feri.

"Ini menunjukkan antar-pimpinan sendiri tidak komunikasi dengan baik karena pimpinan KPK itu harus kolektif kolegial, harus sepakat semua untuk seluruh kebijakan yang ada," Feri menambahkan.

 

KPK Jangan Takut Jerat Perwira TNI yang Terlibat Korupsi

Kepala Basarnas RI Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi saat diwawancara di sela-sela kunjungan kerja di Kantor Basarnas Kendari, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, Sabtu (19/3/2022) (ANTARA/Harianto)
Kepala Basarnas RI Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi saat diwawancara di sela-sela kunjungan kerja di Kantor Basarnas Kendari, Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, Sabtu (19/3/2022) (ANTARA/Harianto)

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan menilai, langkah KPK yang meminta maaf dan menyerahkan kasus dugaan korupsi Kabasarnas dan Koorsmin Kabasarnas kepada Puspom TNI merupakan langkah keliru dan dapat merusak sistem penegakan hukum pemberantasan korupsi di Indonesia.

Dalam siaran persnya yang dikutip, Sabtu, 29 Juli 2023, Koalisi Masyarakat Sipil menjelaskan, sebagai kejahatan yang tergolong tindak pidana khusus (korupsi), KPK seharusnya menggunakan Undang-Undang KPK sebagai pijakan dan landasan hukum dalam memproses militer aktif yang terlibat dalam kejahatan korupsi.

Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur, mengatakan KPK dapat mengabaikan mekanisme peradilan militer dengan dasar asas lex specialist derogat lex generalis (undang-undang yang khusus mengenyampingkan undang-undang yang umum).

"Dengan demikian KPK harusnya mengusut kasus ini hingga tuntas dan tidak perlu meminta maaf. Permintaan maaf dan penyerahan perkara kedua prajurit tersebut kepada Puspom TNI hanya akan menghalangi pengungkapan kasus tersebut secara transparan dan akuntabel. Lebih dari itu, permintaan maaf dan penyerahan proses hukum keduanya tersebut bisa menjadi jalan impunitas bagi keduanya," tuturnya.

Baca juga Top 3 News: Pegawai KPK Tuntut Pimpinan Mundur Imbas Minta Maaf ke TNI di Kasus Kepala Basarnas

Isnur menjelaskan, sebagaimana diketahui, sistem peradilan militer yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer merupakan sistem hukum eksklusif bagi prajurit militer yang terlibat dalam tindak kejahatan. Undang-undang ini, kata Isnur, seringkali menjadi sarana impunitas bagi mereka yang melakukan tindak pidana.

Padahal, disampaikan Isnur, dalam pasal 65 ayat (2) UU TNI sendiri mengatakan bahwa "Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang."

"Terkait penetapan tersangka yang dilakukan oleh KPK terhadap Kabasarnas RI dan Koorsmin Kabasarnas ini tentunya hal tersebut sudah benar karena dilakukan sebagai tindak lanjut dalam suatu operasi tangkap tangan bersama dengan masyarakat sipil lainnya sesuai ketentuan hukum yang berlaku, yaitu mentersangkakan pemberi suap dan penerima suap," kata Isnur.

Isnur menyatakan justru akan menjadi aneh jika KPK justru tidak menersangkakan Kabasarnas dan anak buahnya, padahal dalam perkara ini mereka berdua diduga sebagai penerima suap.

Mereka yang sudah menjadi tersangka tidak bisa mendalilkan bahwa penetapan tersangka terhadap mereka hanya bisa dilakukan oleh penyidik di institusi TNI karena dugaan korupsi ini tidak ada kaitannya sama sekali dengan institusi TNI dan kepentingan militer.

Firli Bahuri dkk Didesak Mundur

Ketua KPK Firli Bahuri
Ketua KPK Firli Bahuri (Liputan6.com/Johan Tallo)

Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti, Azmi Syahputra, menyatakan kisruh yang terjadi dalam penanganan korupsi Basarnas tampak sekali keterpurukan pimpinan KPK. Azmi menilai wibawa Firli Bahuri Cs sudah berada di titik nadir, bahkan di hadapan para pegawai KPK.

"Dari kasus ini tampak keterpurukan pimpinan KPK. Pegawai KPK sendiri meragukan sikap pimpinan. Semestinya semua pimpinan KPK harus bertanggung jawab. Dari kejadian ini Ketua KPK seharusnya mundur," ujar Azmi kepada Liputan6.com, Senin, 31 Juli 2023.

Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia itu berharap Presiden Joko Widodo memberikan perhatian serius pada masalah ini. Bukan saja pada perkara korupsi yang sedang ditangani, tapi secara kelembagaan Jokowi juga harus menyelamatkan KPK.

"Kini telah berkembang protes internal pegawai KPK yang bisa menjadi keadaan darurat di KPK, sehingga Presiden harus melakukan terobosan yang bersifat darurat untuk segera menunjuk plt ketua KPK, tidak memperpanjang masa jabatan komisioner KPK saat ini," tuturnya.

Desakan agar Firli Cs mundur dari lembaga antirasuah kian kencang lantaran polemik penanganan korupsi pengadaan alat pendeteksi korban reruntuhan di Basarnas.

"Pengunduran diri karena telah berlaku tidak profesional dan mencederai kepercayaan publik, lembaga KPK maupun pegawai KPK," kata pegawai KPK dalam surat terbuka.

Mantan penyidik senior KPK Herbert Nababan menyatakan Asep Guntur Rahayu tidak perlu mundur dari jabatan Direktur Penyidikan sekaligus Plt Deputi Penindakan dan Eksekusi. Sebab jika mundur, maka perkara OTT Basarnas bisa tidak berjalan sebagaimana mestinya proses penegakan hukum.

"Sebaiknya Asep Guntur tidak perlu mundur agar pemahaman pimpinan KPK yang kurang terhadap UU KPK itu sendiri tidak semakin membuat KPK seperti saat ini," kata Herbert dalam keterangan tertulis diterima, Minggu (30/7/2023).

Menurut Herbert, yang layak harus mundur adalah pimpinan KPK karena seperti sangat tidak bertanggung jawab dan menyalahkan anak buah atas apa yang pimpinan KPK perintahkan melalui tanda tangan sprinlidik dan sprindik kepada anak buahnya.

"Terlebih Firli Bahuri yang saat ini sebagai Ketua KPK yang selayaknya mundur atas kekisruhan ini," tegas Herbert.

Diketahui, saat kisruh soal OTT Basarnas terjadi, Firli Bahuri tengah berada di Manado, Sulawesi Utara. Firli saat itu menghadiri beberapa kegiatan di Manado sambil didampingi Gubernur Sulawesi Utara Olly Dondokambey. Salah satu kegiatan yang dilakukan Firli, yakni meresmikan gedung dan main badminton.

Tak adanya Ketua KPK saat polemik terjadi membuat desakan mundur terhadap pimpinan kian santer. Salah satunya muncul dari Ketua KPK periode 2011-2025 Abraham Samad. Menurut Samad, bentuk tanggung jawab yang bisa dilakukan pimpinan KPK atas polemik ini yakni dengan mengundurkan diri.

"Salah satu bentuk tanggung jawab yang dilakukan pimpinan KPK, dia harus mundur dong, bukan direktur penyidiknya, tapi pimpinan KPK yang harus mundur. Itu bentuk pertanggungjawaban dari mereka sebenarnya. Apa yang terjadi sekarang ini sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelumnya, dan ini sangat memalukan. Ini menggambarkan betapa tidak profesionalnya pimpinan KPK dalam menangani kasus-kasus," kata Samad.

Senada, mantan Komisioner KPK Bambang Widjojanto pun menyebut demikian. Menurut Bambang, polemik yang terjadi atas OTT Basarnas ini merupakan waktu yang tepat agar pimpinan KPK diberhentikan.

"Dan sangat layak diminta untuk mengundurkan diri atau diberhentikan," kata Bambang.

Sudahi Kisruh KPK Vs TNI

Menko Polhukam Mahfud MD
Menko Polhukam Mahfud MD

Presiden Joko Widodo (Jokowi) menilai kisruh antara KPK dengan TNI terkait penanganan kasus korupsi di Basarnas hanya masalah koordinasi kedua lembaga.

"Ya itu menurut saya masalah koordinasi ya, masalah koordinasi yang harus dilakukan," kata Jokowi usai meresmikan Sodetan Ciliwung Jakarta Timur, Senin (31/7/2023).

Jokowi mengatakan semua instansi memiliki kewenangan masing-masing. Menurutnya, polemik itu selesai apabila dua instansi itu mengikuti kewenangan masing-masing.

"Semua instansi sesuai dengan kewenangan masing-masing, menurut aturan, sudah. Kalau itu dilakukan, rampung," tutur dia.

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan atau Menkopolhukam Mahfud Md meminta para pihak untuk menyudahi kisruh perdebatan antara KPK dengan TNI.

"Meskipun harus disesalkan, problem yang sudah terjadi itu tak perlu lagi diperdebatkan berpanjang-panjang. Yang penting kelanjutannya yakni agar terus dilakukan penegakan hukum atas substansi masalahnya yakni korupsi," ujar Mahfud Md dalam keteranganya, Sabtu (29/7/2023).

Sebab, Mahfud menilai KPK telah mengakui kekhilafannya akibat melampaui kewenangan. Sementara, kata dia, TNI telah mendapatkan masalah pokok kasus dugaan suap pengadaan barang dan jasa di lingkungan Basarnas TA 2021-2023.

Baca juga: Puspom TNI Tegaskan Kasus Korupsi Kabasarnas Tak Akan Dihentikan Seperti Perkara Heli AW 101

"KPK sudah mengaku khilaf secara prosedural. Sedangkan di lain pihak TNI juga sudah menerima substansi masalahnya, yakni sangkaan korupsi untuk ditindaklanjuti berdasar kompetensi peradilan militer," kata Mahfud.

Sehingga, lanjut dia, substansi korupsinya yang telah diinformasikan dan dikoordinasikan kepada TNI oleh KPK, kemudian akan menjerat dua anggota TNI untuk dituntaskan melalui pengadilan militer.

"Perdebatan tentang ini di ruang publik jangan sampai menyebabkan substansi perkaranya kabur sehingga tak berujung ke pengadilan militer," beber Mahfud.

Walaupun, Mahfud menyadari kritik terhadap sistem peradilan militer, kerap sulit membawa oknum militer ke peradilan. Namun untuk kasus ini dia yakin pelaku akan diganjar dengan sanksi hukum yang tegas.

"Meskipun terkadang ada kritik bahwa sulit membawa oknum militer ke pengadilan. tetapi biasanya jika suatu kasus sudah bisa masuk ke pengadilan militer sanksinya sangat tegas dengan konstruksi hukum yang jelas," jelas Mahfud.

Infografis Kisruh Penetapan Tersangka Suap Kabasarnas oleh KPK. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)
Infografis Kisruh Penetapan Tersangka Suap Kabasarnas oleh KPK. (Liputan6.com/Gotri/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya