ICW Duga Putusan MA Beri Karpet Merah ke Kaesang Pangarep Agar Bisa Maju di Pilgub

Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) menilai, putusan MA ini bermasalah karena melanjutkan preseden buruk dari Pemilu 2024, yakni mengotak-atik aturan terkait kandidasi yang terlalu berdekatan dengan periode pendaftaran bakal calon peserta pemilu.

oleh Delvira Hutabarat diperbarui 01 Jun 2024, 15:15 WIB
Diterbitkan 01 Jun 2024, 15:15 WIB
Jokowi
Presiden Joko Widodo kembali bertemu dengan Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep dan kadernya di Deli Serdang, Sumatera Utara. (Ist)

Liputan6.com, Jakarta Mahkamah Agung (MA) mengeluarkan ketentuan baru tentang persyaratan usia calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, yang kemudian menuai pro dan kontra.

Terkait hal tersebut, Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia (PSHK) menilai, putusan MA ini bermasalah karena melanjutkan preseden buruk dari Pemilu 2024, yakni mengotak-atik aturan terkait kandidasi yang terlalu berdekatan dengan periode pendaftaran bakal calon peserta pemilu. 

 "Terlebih, perubahan aturan tersebut diterapkan pada periode Pilkada sekarang, sehingga dapat langsung menguntungkan pihak tertentu, dalam hal ini diduga adalah anak Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, yang akan berusia genap 30 (tiga puluh) tahun pada Desember 2024," kata peneliti ICW, Seira Tamara, dalam keterangan tertulis, Sabtu (1/6/2024).

Pihaknya menilai, putusan ini juga sama-sama memberikan karpet merah untuk semakin meluasnya tentakel dinasti Presiden Jokowi.

"Melalui kandidasi Kaesang Pangarep selaku kepala daerah di akhir masa jabatannya sebagai kepala negara," kata dia.

Pihaknya mengingatkan, Tanpa secara eksplisit disebutkan penghitungan pada tahapan pemilihan pun, pembacaan UU Pemilu secara sistematis dan praktik ketatanegaraan Indonesia selama ini menunjukkan bahwa syarat usia merupakan syarat administratif di tahap pendaftaran. 

"Dengan demikian, menjadikan ketentuan mengenai syarat usia minimal calon kepala daerah dihitung sejak masa pelantikan calon terpilih adalah hal yang tidak berdasar dan mengada-ada," kata Seira.

ICW juga menyoroti bahwa perkara ini masuk ke MA pada tanggal 23 April 2024, didistribusikan kepada panel hakim yang akan memeriksa perkara pada tanggal 27 Mei 2024, untuk kemudian diputus pada tanggal 29 Mei 2024. 

"Artinya, dapat dikatakan bahwa perkara ini hanya diputus dalam kurun waktu tiga hari. Besar kemungkinan terdapat politisasi yudisial dibalik perkara ini," kata dia.

Sebab, lanjut Seira, jika dibandingkan dengan uji materi terhadap PKPU yang sebelumnya pernah dilayangkan oleh ICW bersama Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) ke MA terkait dengan adanya ketentuan yang mempermudah mantan narapidana korupsi untuk dapat mendaftarkan diri sebagai peserta pemilu secara instan pasca menyelesaikan masa tahanan, perkara tersebut baru diputus setelah menunggu 109 hari semenjak  permohonan diregistrasi di MA.

"Durasi tersebut bahkan telah jauh melampaui tenggat waktu 30 (tiga puluh) hari kerja sebagaimana diamanatkan UU Pemilu," ujarnya.

"Amar putusan MA janggal, sebab MA memaksakan untuk melakukan judicial activism dalam bentuk mengintervensi kewenangan KPU dalam membentuk regulasi namun tanpa disertai justifikasi yang memadai," pungkasnya.

Partai Solidaritas Indonesia (PSI) membantah putusan Mahkamah Agung soal batas usia calon kepala daerah tidak ada kaitannya dengan ketua umumnya, Kaesang Pangarep.

"Putusan mahkamah agung tidak ada kaitannya dengan PSI maupun Mas Kaesang," kata Wakil Ketua Umum PSI Andy Budiman, dalam video yang diunggah diakun instagram pribadinya, Sabtu, (1/6/2024).

Apalagi, kata Andi, yang mengajukan gugatan itu adalah Partai Garuda dan tak ada kaitan sama sekali dengan PSI dan Kaesang. 

"Yang mengajukan gugatan ke MA adalah Partai Garuda. Tidak ada komunikasi sama sekali dengan PSI terkait dengan masalah ini," tegas dia.

Ia pun meminta publik untuk menanyakan langsung ke Hakim Mahkamah Agung yang memutuskan hal tersebut. 

"Silahkan tanyakan kepada MA apa alasan dibalik keputusan itu semoga ini menjadi jelas dan jika masih ada pernyataan lebih lanjut silahkan tanyakan kepada kawan-kawan Partai Garuda dan MA terkait masalah ini," ujar Andy.

Kendati demikian, dia meyakini bahwa hakim MA memiliki pertimbangan tersendiri atas putusan tersebut. Sehingga, Andy meminta kepada seluruh pihak untuk menghormati keputusan MA.

"Kami berharap semua pihak bisa bersikap proposional dalam menanggapi masalah ini," imbuhnya.

KPU Dinilai Tak Bisa Patuhi Putusan MA Soal Batas Usia Calon Kepala Daerah, Mengapa?

Perludem mengkritik putusan Mahkamah Agung (MA) yang meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencabut aturan batas usia pencalonan kepala daerah.

Menurut Perludem, usaha yang dilakukan Partai Garuda untuk menguji Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU 9/2020 memiliki kemiripan dan cenderung sama dengan apa yang pernah dilakukan dalam pengujian Pasal 169 huruf q UU No. 7/2017 tentang syarat usia calon presiden dan calon wakil presiden melalui putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023.

"Pengujian ini mencoba mengotak-atik dan mencari celah peraturan perundang-undangan terkait pemilu/pilkada untuk kebutuhan kelompok tertentu. Terlebih lagi, Partai Garuda sebagai pemohon terlihat 'memaksakan' dalil-dalilnya terutama terkait cara memaknai status 'Calon Kepala Daerah'," kata Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa Nur Agustyati  melalui siaran pers diterima, Jumat (31/5/2024).

Khoirunnisa mengingatkan, di dalam Pasal 1 angka 18 dan angka 19 PKPU 1/2020 sesungguhnya sudah terang dan jelas sejak kapan terjadinya perubahan status dari Bakal Calon Kepala Daerah menjadi Calon Kepala Daerah. 

Sehingga ketentuan Pasal 7 huruf e UU 10/2016 seharusnya dimaknai sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk mendapatkan status Calon Kepala Daerah dan harus dipenuhi pada saat yang bersangkutan ditetapkan sebagai Calon Kepala Daerah.

"Perludem melihat MA telah mencampuradukkan antara syarat calon untuk menjadi kepala daerah dan syarat pelantikan calon kepala daerah. MA mencoba melandasi pertimbangannya dengan mencontohkan penerapan ketentuan persyaratan umur yang diatur terhadap jabatan-jabatan di dalam pemerintahan," kritik Khoirunnisa.

Ada Kejanggalan

Pakar Hukum Tata Negara Feri Amsari menilai ada kejanggalan dalam putusan MA Nomor 23 tersebut. Menurutnya, PKPU yang diuji telah sesuai dengan Undang-Undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016.

"PKPU itu dibatalkan kalaulah tidak berdasarkan undang-undang," tegas dia kepada Liputan6.com, Jumat (31/5/2024).

Ia menjelaskan, kalau Undang-Undang Dasar sudah eksplisit mengaturnya, tidak ada alasan lain apa pun bagi Mahkamah Agung untuk menafsir ulang isi teks yang sudah ada di undang-undang dasar tersebut.

"Jadi memang sangat-sangat janggal perkara pengujian PKPU yang dilakukan Mahkamah Agung," ucap dia.

Feri pun menduga praktik ini dilakukan sebagai karpet merah bagi putra Jokowi, Kaesang Pangarep untuk mengikuti kontestasi Pilkada Jakarta. Suami dari Erina Gudono ini lahir pada 25 Desember 1994 atau baru akan berusia 30 tahun pada Desember mendatang, dan Pilkada digelar pada 27 November 2004. Apabila Pasal 4 ayat 1 huruf d PKPU Nomor 9 tahun 2020 masih diberlakukan, Ketua Umum PSI itu tidak dapat mendaftarkan diri sebagai gubernur atau calon wakil gubernur.

"Siapa yang disasar agar kemudian dengan pembatalan ini seseorang dapat diuntungkan, desas-desusnya adalah Kaesang yang belum berumur usia 30 dan perlu kemudian mendapatkan kesempatan untuk maju di dalam kontestasi Pilkada. Hal-hal begini menurut saya akan menjadi problematika serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Kalaulah kemudian seluruh aturan mengenai praktik bernegara didasarkan kepada kesukaan seseorang terhadap sesuatu atau tidak," terang Feri.

Ia menilai, putusan ini bukan lantaran didasarkan pada ketidakpahaman para hakim Mahkamah Agung. Melainkan sebagai sebuah kesengajaan dalam rangka mengulang kisah romantik yang terjadi di Mahkamah Konstitusi.

"Di mana anak raja dapat melabrak undang-undang sehingga kemudian seluruh hal bisa diabaikan dan kemudian proses pemilu presiden berlangsung seperti yang diharapkan di sana. Dan kali ini, itu terjadi lagi. Hanya saja hemat saya, kalaupun ini politis, kenapa tidak dilakukan jauh-jauh hari. Kenapa menjelang pertandingan lagi, seolah-olah tidak berhenti-hentinya menyiksa perasaan politik publik di tengah deru kekacauan peraturan-peraturan lainnya," dia menandaskan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya