Liputan6.com, Jakarta - Di tengah maraknya fenomena penipuan deepfake yang terjadi di Indonesia, mengakibatkan banyak kebingungan dan kerugian di kalangan masyarakat Indonesia.
Isu tersebut turut menarik perhatian petinggi Verihubs, Rick Firnando dan Jason Hartono untuk memberikan edukasi dan informasi lebih mendalam kepada masyarakat Indonesia tentang deepfake dan cara mengatasinya.
Baca Juga
Verihubs menggandeng Google Cloud dan mengadakan acara seminar bertajuk Faces of Fiction: Deepfake Awareness & Prevention pada 19 Februari 2025 lalu yang berlokasi di Google Indonesia.
Advertisement
Acara tersebut dihadiri peserta dari berbagai latar belakang industri yang aktif berpartisipasi dalam diskusi perkembangan teknologi deepfake dan langkah-langkah keamanannya dalam bisnis.
"Deepfake adalah jenis media sintetis yang dibuat menggunakan kecerdasan buatan atau yang biasa disebut artificial intelligence (AI). Deepfake dibuat menggunakan teknik deep learning dan generative adversarial networks (GANs)," ujar VP of Strategy Verihubs Jason Hartono melalui keterangan tertulis, Selasa (11/3/2025).
"Teknologi ini bekerja dengan menganalisis dan mempelajari data dalam jumlah besar. Hasil dari teknologi tersebut menciptakan rekayasa visual atau audio yang menyerupai peristiwa nyata, namun sebenarnya artifisial. Ternyata Deepfake bukanlah sebuah teknologi yang benar-benar baru dibuat," sambung dia.
Jason menjelaskan, konsep dari perkembangan teknologi deepfake sudah dimulai dari puluhan tahun lalu terutama dalam industri pembuatan film. Di era tahun 1990, dengan bantuan generative AI kegunaan yang menjadi awal teknologi deepfake ini, menghemat waktu dan biaya produksi film sampai dengan 90% dibanding dengan cara tradisional.
"Deepfake merupaka teknologi yang sudah berevolusi dari beberapa dekade lalu, bisa dilihat konsep awal teknologi deepfake sudah ada dari tahun 1990-an dimana teknologi ini digunakan untuk dunia perfilman," ucap Jason.
Â
Dampak Penipuan Deepfake di Dunia dan Indonesia
Jason menjelaskan, penipuan berbasis deepfake semakin merajalela dan memberikan dampak finansial yang signifikan di seluruh dunia. Dia mengatakan, prakiraan kerugian global akibat deepfake akan mencapai $19 juta USD pada tahun 2033, dengan $12,3 juta USD di antaranya telah terjadi hanya dalam tahun 2023 akibat teknologi GenAI.
"Bahkan, pada tahun 2027, angka ini diproyeksikan melonjak hingga $40 juta USD per tahun. Bagaimana Deepfake Meretas Sistem Keamanan dan Cara Menghadapinya? Deepfake dapat diproduksi dengan berbagai cara," terang Jason.
"Bisa diambil contohnya dalam meretas bank dengan layer keamanan yang berlapis, deepfake dapat mengambil celah masuknya dengan tiga cara ini. Cara pertama adalah menggunakan aplikasi kloning. Aplikasi ini pengguna untuk menggandakan aplikasi perbankan di smartphone mereka, dan masuk ke beberapa akun secara bersamaan," sambung dia.
Hal tersebut, lanjut Jason, mempersulit pendeteksian aktivitas penipuan secara real-time.Yang kedua adalah dengan Virtual Camera, di mana, para penipu menggunakan kamera yang dimanipulasi secara digital.
"Teknologi ini memungkinkan pengguna untuk mengalihkan apa yang dianggap aplikasi perbankan sebagai umpan kamera langsung ke umpan yang dimanipulasi secara digital menggunakan perangkat lunak atau bahkan menggunakan video dan gambar lokal yang telah disiapkan sebelumnya," ucap dia.
Â
Advertisement
Metode Selanjutnya yang Bisa Digunakan
Jason mengatakan, metode terakhir yang paling umum digunakan adalah Face Swap berbasis AI. Teknologi ini memungkinkan pelaku untuk mengganti fitur wajah seseorang dengan wajah siapa pun yang mereka unggah, sehingga dapat menipu sistem verifikasi digital dengan mudah.
Dia menilai, metode ini juga ditampilkan dalam acara Faces of Fiction, yang menunjukkan betapa mudahnya teknologi ini disalahgunakan untuk tindak penipuan.
"Dengan semakin canggihnya AI, ancaman deepfake pun menjadi semakin nyata dan dapat diakses oleh siapa saja. Risiko penipuan deepfake tentu bisa dicegah dengan berbagai cara," ucap Jason.
Menurut dia, salah satu langkah paling efektif adalah memanfaatkan teknologi canggih untuk melawan ancaman ini. Jason menjelaskan bahwa banyak orang mengira liveness detection sudah cukup untuk menghadapi deepfake, padahal kenyataannya tidak demikian.
"Liveness detection hanya dapat memastikan apakah wajah seseorang yang di depan kamera itu nyata atau bukan foto cetak, foto digital, maupun topeng, tetapi tidak bisa mendeteksi apakah wajah tersebut autentik tanpa adanya real time digital manipulation," kata Jason.
Oleh karena itu, lanjut dia, diperlukan teknologi yang lebih advanced, seperti Deepfake Detection, untuk menangkal kejahatan berbasisAI ini.
"Inilah alasan Verihubs mengembangkan Deepfake Detection, teknologi berbasis AI yang mampu mendeteksi manipulasi deepfake dengan lebih akurat," tutup Jason.
