Liputan6.com, Jakarta - Badan Legislasi (Baleg) DPR RI memutuskan menunda atau membatalkan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) TNI-Polri. Nantinya, pembahasan RUU tersebut bakal dilanjutkan oleh DPR pada periode berikutnya.
"Hari ini Baleg memutuskan akan menunda atau membatalkan pembahasan UU TNI Polri, ya. Dan nanti kita akan sampaikan bahwa ini nanti akan dilanjutkan untuk DPR yang berikutnya, tetapi ini melihat urgensinya nanti," kata Ketua Baleg DPR RI Wihadi Wiyanto di gedung DPR RI, Jakarta, Senin (26/8/2024).
Namun Wihadi belum menjelaskan alasan mengapa pembahasan RUU TNI-Polri tersebut dibatalkan. Dia hanya menyebut, tidak ada pembahasan RUU tersebut dalam rapat DPR periode ini.
Advertisement
"Jadi Baleg memutuskan untuk tidak membahas dulu, ya. Dan menunda atau membatalkan pembahasan TNI-Polri," sebutnya.
Meski demikian, Wihadi masih melihat urgensi pembahasan RUU tersebut untuk dibahas DPR periode berikutnya. "Nanti kita lihat urgensinya untuk dibahas di periode berikutnya. Ini kan kalau kita melihat kan nanti periode berikutnya yang akan, ini terkait dengan masalah carry over juga kan," tukasnya.
Â
Reporter:Â Muhammad Genantan Saputra
Merdeka.com
Jokowi Lempar Isu RUU TNI-Polri ke DPR
Sebelumnya, Presiden Jokowi enggan menanggapi isu terkait revisi Undang-Undang TNI dan Polri yang belakangan menjadi perhatian publik.
Dijumpai di sela kunjungan kerja di Bandung, Jawa Barat, Jumat (19/7/2024), Presiden Joko Widodo meminta wartawan menanyakan hal itu ke parlemen dan menteri terkait.
"Coba ditanyakan ke DPR, tanyakan ke Menko Polhukam," jawab Joko Widodo.
Sebelumnya (8/7/2024), Staf Khusus Presiden RI Bidang Hukum Dini Purwono mengatakan, empat Rancangan Undang-Undang (RUU) terkait TNI dan Polri, Imigrasi, dan Kementerian Negara telah sampai pada proses penyusunan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) oleh kementerian terkait.
Dini mengatakan RUU Kementerian Negara, RUU Imigrasi, RUU TNI dan RUU Polri merupakan RUU yang menjadi inisiatif DPR.
Proses penyusunan DIM, kata Dini, dilakukan oleh kementerian maupun lembaga terkait, seperti RUU TNI dan Polri oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Kemenko Polhukam). Â
Advertisement
Menuai Kritik Publik
Adapun revisi UU TNI dan Polri mendapat perhatian publik. Beberapa hal yang menjadi sorotan, misalnya terkait masa usia tugas, penempatan TNI/Polri pada jabatan sipil, penambahan kewenangan TNI/Polri hingga aturan yang memperbolehkan TNI berbisnis.
Setara Institute menilai revisi UU TNI ini semakin jauh dari niatan terhadap cita-cita reformasi. Mereka menyoroti Pasal 39 melalui penghapusan larangan berbisnis bagi prajurit TNI dan Pasal 47 yang membuka ruang perluasan bagi prajurit TNI untuk menduduki jabatan sipil tanpa melalui mekanisme pensiun dini.
"Usulan perubahan pada dua Pasal ini berpotensi memutarbalikkan arah reformasi militer dan cita-cita amanat reformasi yang selama ini terus dirawat," demikian seperti dikutip dari keterangan Setara Institute, Senin (15/7/2024).
Disebut, usulan penghapusan larangan kegiatan bisnis bagi prajurit TNI dapat menebalkan keterlibatan prajurit TNI pada bidang-bidang di luar pertahanan negara. Jika sebelumnya hanya pada bidang sosial-politik, melalui usulan ini bertambah pada bidang ekonomi.
"Usulan ini dapat menjadi pintu masuk bagi kemunduran (regresi) profesionalitas militer, sebab memberi legitimasi aktivitas komersiil bagi prajurit TNI dan potensi pemanfaatan aspek keprajuritan untuk hal-hal di luar pertahanan negara," sebutnya.
Â
Soroti Penempatan TNI di Jabatan Sipil
Selain itu, penambahan ketentuan dalam pasal 47 ayat 2, jelas meruntuhkan pembatasan jabatan pada kementerian/lembaga (K/L) yang sebelumnya disebutkan secara spesifik.
"Naskah Akademik (NA) yang disusun juga memperlihatkan kemunduran paradigma mengenai Dwifungsi TNI. Dalam NA disebutkan bahwa penempatan TNI pada K/L dalam praktiknya tidak sebatas yang tercantum pada K/L di Pasal 47 ayat (2) UU TNI saja. Sebab terdapat perkembangkan kebutuhan SDM pada bidang-bidang tertentu, sehingga prajurit TNI dapat diperbantukan pada K/L yang memerlukan keahliannya," demikian.
Disadari, meskipun tidak berkaitan dengan politik praktis secara langsung, tetapi perluasan jabatan sipil bagi prajurit TNI dapat membuka ruang terjadinya politik akomodasi bagi militer.
"Dampak jangka panjangnya menimbulkan hutang budi politik karena semua ruang-ruang K/L tersebut dibuka berdasarkan kebijakan Presiden, yang notabene merupakan produk politik hasil kontestasi dalam Pemilihan Umum," jelasnya.Â
Advertisement