Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah melalui Kementerian Keuangan berencana menaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% ke 12%. Diketahui, PPN adalah pajak yang dikenakan pada setiap transaksi jual beli barang atau jasa yang terjadi pada wajib pajak orang pribadi atau badan usaha yang mendapat status Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Menanggapi hal itu, Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat Perhimpunan Gerakan Nusantara Raya (DPP PGNR) Lahat Oktaria Saputra mengatakan kenaikan PPN 12% akan memberi dampak negatif terhadap keberlangsungan hidup masyarakat di setiap sektor dan ruang lingkup kehidupan.
Baca Juga
“Dari berbagai kajian dari para pakar, perubahan angka PPN ini berdampak merugikan masyarakat. Kenaikan PPN 12 persen ini dapat meningkatkan jumlah pengangguran. Apabila PPN naik, otomatis beban hidup masyarakat secara umum akan naik sehingga daya beli masyarakat akan turun, sehingga konsumsi juga turun,” kata Oktaria dalam keterangan diterima, Selasa (31/12/2024).
Advertisement
Oktaria meyakini, kelesuan dalam aktivitas perekonomian akan menyebabkan terjadinya pengangguran bila melihat dampak secara umum yang dominan dalam lingkup ekonomi. Selain itu, pada sektor pertanian kenaikan PPN 12% juga bisa berdampak, misalnya semakin sulitnya pemenuhan input produksi oleh petani.
“Misalnya transaksi jual beli pupuk, petani akan mengeluarkan biaya lebih dibanding sebelumnya. Produktivitas pertanian menurun jika tidak diimbangi dengan pemupukan yang memadai. Pilihannya hanya satu, petani tetap membeli pupuk dengan standar PPN yang semakin tinggi itu,” wanti dia.
Jika terjadi demikian, Oktaria pesimis Nilai Tukar Petani (NTP) akan semakin rendah dan mengkhawatirkan, mengingat Indonesia adalah negara agraris, sedangkan nasib petani kurang diperhatikan.
Pemerintah Diminta Pikirkan Nasib Masyarakat
Pada bidang lain, Oktaria memetakan terhadap mereka yang berada pada zonasi kemiskinan tentu akan semakin parah situasinya. Hal ini dikarenakan terus mengecilnya akses terhadap hal-hal potensial yang bisa mengubah nasib kehidupan mereka.
"Sederhananya, bagaimana orang miskin mau menabung atau memikirkan tentang pendidikan, sedangkan untuk konsumsi sehari-hari saja dalam transaksinya diselipkan pajak yang memberatkan,"kritik dia.
Oleh karena, Oktaria mendesak pemerintah untuk membatalkan regulasi tersebut yang direncanakan diterapkan pada tanggal 1 Januari 2025.
"Pemerintah harus memikirkan nasib masyarakat. Jangan sampai karena fokus pada pembangunan, pemerintah terlihat seperti mengeruk sumber daya yang dimiliki oleh masyarakat yang serba terbatas itu. Padahal esensi pembangunan adalah untuk kepentingan masyarakat, namun apa gunanya pembangunan dijalankan apabila itu berangkat dari penderitaan masyarakat," dia menandasi.
Advertisement